Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPALA Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto sedang puasa bicara. Dua pekan lalu, alih-alih menanggapi permintaan wawancara Tempo, ia memilih berujar pendek, ”Banyak yang salah kaprah. Pendapat saya jangan diadu-adu.” Selebihnya, ia ngeloyor pergi.
Yang membuat Joyo memplester mulut adalah soal rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membagi-bagikan tanah kepada penduduk miskin. Disampaikan pada masa kampanye dulu, janji itu diulang lagi pada pidato Presiden akhir Januari lalu.
Program itu akan dijalankan mulai tahun ini hingga 2014 nanti. Mereka yang akan mendapat tanah gratis adalah petani penggarap atau petani minus—petani yang tiap panen tak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Formulasinya sudah didapat sejak pertengahan tahun lalu, setelah Joyo Winoto beberapa kali melakukan pertemuan dengan menteri di Jakarta. Kata Joyo, pemerintah akan membagikan 8,15 juta hektare tanah di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Sekitar 2,5 juta hektare akan diberikan kepada pengusaha untuk membuka perkebunan sawit dan tebu yang akan mendukung para petani itu.
Tanah yang diredistribusikan adalah tanah negara yang tergolong kritis. Juga hutan produksi konversi yang hak guna usahanya sudah habis atau tanah telantar. Semuanya harus bebas sengketa. Sesuai dengan rencana, akhir April nanti beberapa lahan sudah siap dibagikan.
Semulus itu? Tidak juga. Mari kita lihat dua tempat yang sudah disebut-sebut dua bulan lagi bakal dibagikan: Luwu Timur di Sulawesi Selatan dan Mesuji di Lampung.
Di Luwu Timur, 660 kilometer sebelah utara Makassar, lahan yang katanya sudah siap masih centang-perenang. Tak terlihat gergaji mesin sibuk memotong pohon atau tukang kayu mengepas kusen. Jalan tanah becek bila hujan turun sebentar saja. Di sini, katanya, pemerintah akan membuka 1.200 hektare hutan untuk dijadikan perumahan dan perkebunan.
Mesuji, Tulang Bawang, Lampung, idem dito. Di tempat ini rencananya
pemerintah menyiapkan 106 ribu hektare lahan dan akan dibangun kota terpadu mandiri. Lalu ada pula 1.800 hektare perkebunan sawit rakyat dan tiga dermaga. Diapit Sungai Mesuji di selatan dan Sungai Buaya di utara, kawasan ini tergolong lahan basah yang pengairannya mengandalkan air pasang sungai.
Meski sejak 1983 lahan itu ditempati transmigran, keadaan di sana tidak banyak berubah. ”Semua serba susah,” kata Maryanto, penduduk setempat. Jalan masuk dari kota terdekat ke Mesuji rusak berat. Jalan 40 kilometer itu harus ditempuh tiga setengah jam dengan kendaraan roda empat. Kondisi jalan yang remuk membuat kebanyakan warga memilih transportasi air.
Kekhawatiran bahwa janji bagi-bagi tanah oleh pemerintah hanya akan jadi ”madu di bibir” diperkuat Direktur Utama Perusahaan Umum Perhutani Transtoto Handadhari. Ia dengan tegas menolak membagikan tanah yang masuk wilayah Perhutani. Sebelumnya, Menteri Kehutanan M.S. Kaban sempat menyebut 1,5 juta hektare tanah Perhutani di Jawa siap dimanfaatkan petani.
Kata Transtoto, hutan di Jawa tergolong kritis: saat ini hanya tersisa 22 persen. Padahal idealnya 30 persen. ”Mestinya kita menambah, bukan mengurangi hutan,” ujarnya. Apalagi, dari 2,24 juta hektare hutan yang dikelola Perhutani, terdapat 1,48 juta hektare yang dikelola bersama masyarakat, tanpa mengalihkan kepemilikan. ”Kami ingin redistribusi pendapatan, bukan tanah,” katanya.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Usep Setiawan menimpali. Ia meminta pemerintah meredistribusikan tanah yang dikuasai beberapa perkebunan swasta, bukan hanya tanah negara. Tanpa itu, kata dia, kepemilikan tanah tetap akan timpang. Usep mengingatkan agar petani yang dikirim ke daerah baru tidak cuma menjadi buruh perkebunan dan menelantarkan tanah mereka. ”Ujung-ujungnya, pengusaha yang menjadi tuan tanah, dan petani tetap jadi penggarap,” ujarnya.
Nah, soal silang sengkarut itulah yang bikin Joyo Winoto sakit gigi. Reformasi agraria yang digadang-gadang pemerintah tampaknya masih jauh panggang dari api.
I G.G. Maha Adi, Irmawati (Makassar), Nurochman A. (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo