Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Borobudur tidak pernah sepi. Jarum jam baru menunjukkan pukul 06.00 ketika rombongan pelancong menyerbu pelataran candi yang terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu. Mereka bersama sejumlah pedagang asongan terlihat tidak sabar menunggu petugas membuka pintu gerbang candi.
Puncak keramaian akan terlihat saat perayaan hari raya Waisak. Pada saat itu, ratusan ribu manusia memadati kompleks candi seluas 2.500 meter persegi itu. Tampaknya kesempatan inilah yang ingin dimanfaatkan Siti Hartati Murdaya, Ketua Umum Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi), dengan menanam investasi membangun padepokan dan penyediaan sarana peribadatan bagi para peziarah, di dekat Hotel Manuhara yang berada di zona dua candi.
Kepada Tempo, Rabu pekan lalu, Hartati yang juga seorang pengusaha mengakui rencana investasi ini sudah ada sejak 1992. Saat itu, kata Hartati, Departemen Pariwisata menawarinya membuat sarana ziarah bernapaskan agama untuk mendukung program trail of civilization atau jejak-jejak peradaban yang digagas Indonesia bersama Thailand, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam. Namun rencana ini timbul-tenggelam, sampai akhirnya hidup kembali akhir-akhir ini.
Hartati mengatakan telah mengantongi izin dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Bahkan mendapat dukungan dari pemerintah daerah dan sejumlah asosiasi untuk mewujudkan rencana besarnya itu. Tapi rupanya dukungan itu tidak benar. Arkeolog yang juga pemerhati Borobudur, Mundarjito, menegaskan bahwa pembuatan pendapa atau bangunan baru di zona dua melanggar peraturan pemerintah dan badan dunia UNESCO, yang telah ditetapkan dalam pertemuan internasional pada 2003 di Borobudur.
Pembuatan bangunan baru berupa tempat belanja, jalan, tempat parkir dan bangunan lainnya di zona dua dilarang, untuk menjaga kelestarian candi Borobudur sebagai warisan budaya dunia yang telah ditetapkan UNESCO pada November 1991. Yang dimaksud zona dua adalah kawasan di sekeliling kompleks candi atau zona satu. Areal seluas 42,3 ha itu diperuntukkan bagi pembangunan taman wisata sebagai tempat kegiatan kepariwisataan, penelitian, kebudayaan, dan pelestarian.
Menurut Mundarjito, jika Hartati ataupun Walubi dibiarkan membangun pendapa, tidak mungkin tidak kelompok masyarakat lainnya akan mengikuti jejaknya, sehingga nuansa pedesaan Borobudur akan hilang. ”Setting awalnya, yaitu pedesaan dan plantation (pepohonan), akan hilang,” kata Oti, panggilan akrab Mundarjito.
Penolakan ternyata tidak hanya dari Oti, tapi juga datang dari pengelola Borobudur (PT Taman Wisata Borobudur Prambanan) dan bahkan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sendiri. Direktur Peninggalan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Suroso mengatakan, ”Borobudur adalah warisan dunia, tidak boleh dijadikan sebagai sesuatu yang eksklusif.”
Hartati rupanya paham bagaimana ”melindungi” candi. Dia hanya berencana membuat pendapa yang nantinya berfungsi sebagai tempat kegiatan ritual, meditasi, ceramah, pameran, atau tempat berteduh para peziarah, menyerupai rumah joglo, dan tingginya tidak melebihi pepohonan. Dia juga akan bekerja sama dengan bupati, memintanya menjelaskan rencana ini kepada warga dan lembaga swadaya masyarakat setempat.
Namun, ketika dikonfirmasi, Bupati Magelang Singgih Sanyoto mengatakan belum mendengar rencana itu. ”Sejauh ini saya belum tahu ada rencana itu. Bagaimanapun kewenangannya ada di tangan menteri, dan harusnya diputuskan setelah ada masukan dari warga dan pemerhati Borobudur,” ujar Singgih.
Walaupun Hartati menyatakan telah siap dari segi dana dan berniat segera mewujudkan rencana tersebut, keinginannya itu sulit berjalan mulus. Selain tersendat oleh peraturan yang dibuat pemerintah dan UNESCO, juga karena Kementerian BUMN sebagai pemilik saham PT Taman Wisata Borobudur Prambanan, pengelola zona dua candi, juga belum memberikan persetujuan. Dan Hartati sepertinya mengetahui hal ini. Ia pun pasrah. ”Ya, kalau diizinkan dibangun, kalau tidak ya tidak jadi,” katanya.
Sunariah, Heru C.N. (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo