KHUN Sa, si raja opium dari kawasan segi tiga emas, hari-hari ini hidupnya agak suruk. Sejak akhir tahun lalu, tiga divisi militer Myanmar mengepung daerah operasinya, di Negara Bagian Shan, tak jauh dari perbatasan Thailand dan Laos. Pada pertengahan Desember, dua kamp yang dimilikinya, Mong Hta dan Mong Htaw, diserang. Khun Sa sendiri lolos dari serbuan itu. Para penguasa di Yangon tahun ini tampaknya bertekad mengakhiri kekuatan Khun Sa, baik sebagai pemasok opium dan heroin terbesar di dunia maupun sebagai pemimpin kelompok gerilya. Dari sekian banyak gerakan pemberontak yang merongrong stabilitas Myanmar sejak negeri itu merdeka dari Inggris tahun 1947, adalah kelompok Khun Sa yang paling sulit dipatahkan. Maklum, dari penghasilannya yang diduga bermiliar dolar setiap tahun, mestinya ia tak sulit memelihara kurang lebih 15.000 orang pasukan gerilya bersenjata. Sukses Myanmar menaklukkan para pemberontak adalah berkat bantuan persenjataan mutakhir seharga US$ 2 miliar dari Cina dua tahun silam. Terbukti, kelompok-kelompok suku Kachin, Wa, Pa-O, dan sisa-sisa Partai Komunis Burma kini setuju mengadakan gencatan senjata, sebagai langkah pertama menuju perdamaian. Dalam situasi inilah tentara Myanmar rupanya merasa siap melawan Khun Sa, pemberontak terkuat. Yang menarik, di belakang penggalakan operasi anti pemberontakan pemerintah Myanmar itu, tampaknya ada tujuan besar. Yakni mempercepat perkembangan ekonomi negara yang pendapatan per kepalanya US$ 140 setahun ini -- negara yang termasuk termiskin. Sebenarnya, pada tahun 1989 pemerintah Yangon telah menjalankan beberapa pembaruan ekonomi untuk mengatasi kelesuan akibat sistem sosialis yang dijalankan Jenderal Ne Win selama ia berkuasa hampir 30 tahun. Keterbukaan itu memang mendatangkan pengusaha dan investor asing ke Myanmar, yang sebelumnya tertutup rapat terhadap pengaruh apa pun dari luar negeri. Namun, kelancaran program ekonomi Myanmar itu terhambat oleh peristiwa berdarah tahun 1988, sewaktu puluhan mahasiswa demonstran terbunuh oleh tentara. Lalu, tidak diakuinya kemenangan Liga Nasional Demokrasi (LND), partai oposisi terbesar, oleh penguasa tentara dalam pemilu tahun 1990, menghentikan semua bantuan ekonomi luar negeri, termasuk dari lembaga-lembaga seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Suasana itu lebih merugikan pemerintah Myanmar ketika Aung San Suu Kyi, ketua LND, ditahan tanpa diadili. Blokade ekonomi internasional itu berdampak sekali pada rencana pembangunan ekonomi Myanmar. Selama lima tahun ini, program perbaikan sarana untuk menunjang program industrialisasi dan sektor lainnya macet. Jika prioritas Myanmar adalah mengamankan penyebab unsur- unsur kelabilan ekonomi dan politik, serangan terhadap pemberontak seperti Khun Sa akan mendapat pujian masyarakat internasional. Sengaja atau tidak, serbuan pertama terhadap kubu-kubu Khun Sa itu terjadi ketika rombongan 15 senator Amerika berkunjung di Yangon. "Jelas, akan memperoleh simpati Washington, sebab Khun Sa itu dianggap musuh nomor satu oleh Amerika," kata seorang diplomat ASEAN di Bangkok, yang memantau situasi di Myanmar. Namun, ada masalah politik lainnya yang merupakan hambatan besar bagi Ya- ngon. Yakni, hak asasi manusia dan penahanan tokoh-tokoh oposisi seperti Aung San Suu Kyi, pemenang hadiah Nobel Perdamaian dua tahun silam. Masalah itu pun secara perlahan-lahan sudah mulai ditanggapi. Sejak bulan Oktober lalu, menurut Amnesti Internasional, pemerintah Myanmar telah membebaskan 1.700 tahanan politik. Adalah nasib tokoh oposisi Aung San Suu Kyi yang kini belum menentu. Menurut undang-undang sementara, batas masa penahanan seseorang tanpa pengadilan adalah lima tahun. Bagi Suu Kyi, batas waktu itu kelak bulan Juli nanti. Tapi para pengemat menduga, tipis kemungkinan Suu Kyi dibebaskan. Pemerintah Yangon telah mengatakan, ia hanya dibebaskan jika berjanji meninggalkan Myanmar untuk selamanya. Syarat yang sudah berkali-kali ditolak Suu Kyi. Mungkin penyelesaian masalah politik di Myanmar baru bisa terjadi setelah diberlakukannya konstitusi baru yang kini tengah dirumuskan oleh suatu majelis yang terdiri dari 700 wakil rakyat. Salah satu pasal yang sedang diperdebatkan, atas usul pihak militer, adalah persyaratan calon presiden. Diharuskan calon itu setidaknya selama 20 tahun berturut-turut tinggal di dalam negeri. Tak sulit ditebak, sasaran pasal ini adalah Suu Kyi, yang memang jarang tinggal di Myanmar. Jika pasal itu disepakati, Suu Kyi mungkin tak lagi dianggap sebagai ancaman oleh para penguasa di Yangon. Dan ketika itu ia akan dibebaskan.Yuli Ismartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini