Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Penggantian APD bagi pekerja kerap terlambat.
Pekerja di smelter KIBA sering diminta melakukan tugas berbahaya tanpa pengamanan memadai.
Penampungan limbah smelter berdekatan dengan permukiman.
KECELAKAAN kerja menjadi persoalan penting di smelter yang beroperasi di Kawasan Industri Bantaeng (Kiba), Sulawesi Selatan. Situasi ini mirip masalah yang terjadi di pelbagai smelter di daerah lain. Pekerja mengeluhkan minimnya penegakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di pabrik peleburan bijih nikel itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Salah satu keluhan pekerja adalah ketidakdisiplinan perusahaan dalam mengganti alat pelindung diri (APD). Hal ini diungkapkan Donny, 27 tahun, pekerja di bagian tungku di salah satu perusahaan Huadi Group di Kiba.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pria yang meminta identitasnya disamarkan itu menjelaskan, ihwal penggantian APD rutin sebetulnya ada dalam kontrak kerja. “Saat pertama kali masuk kerja, kami mendapat arahan soal penggantian APD,” ujarnya saat ditemui Tempo di Bantaeng, 10 Februari 2025.
Dalam perjanjian kerja itu, Donny menjelaskan, perusahaan menyatakan akan mendistribusikan APD baru, seperti masker, sepatu, dan sarung tangan, bagi semua pekerja setiap enam bulan sekali. Adapun penggantian APD khusus bagi pekerja di bagian yang berhubungan dengan panas, seperti tungku pembakaran, akan dilakukan per tiga bulan.
Pada kenyataanya, ketentuan itu tak pernah dijalankan secara tertib. Per Februari 2025, misalnya, sudah hampir sembilan bulan APD untuk pekerja umum tak diganti. Sedangkan penggantian APD bagi pekerja di bagian tungku sudah molor sebulan. “Buat kami yang bekerja di bagian tungku, APD cepat rusak karena sering terkena percikan api atau bara. Memang harus sering diganti.”
Jalur truk pengangkut material nikel di Kawasan Industri Bantaeng, Sulawesi Selatan, 9 Februari 2025. Tempo/Praga Utama
Bukan cuma soal penggantian APD yang kerap terlambat, standar berbagai alat penting itu juga kerap diabaikan. Contohnya masker penutup hidung dan wajah. Semestinya, para pekerja di industri berat itu minimum menggunakan respirator jenis N95 untuk menyaring debu dan partikel halus di tempat mereka bekerja. “Yang ada, kami malah menggunakan masker medis seperti yang biasa dipakai perawat di rumah sakit,” ujar Donny.
Para pekerja bukannya tak memprotes kondisi kerja yang tidak layak ini, tapi suara mereka kerap tak diacuhkan manajemen. Padahal di perusahaan ada petugas khusus pengawas K3. Namun Donny merasa keberadaan petugas pengawas itu sekadar formalitas. Sebab, setiap kali pekerja mengeluhkan kondisi kerja, pengawas malah menyuruh mereka menerima saja penugasan yang diberikan. Hal inilah yang kemudian dianggap kerap memicu kecelakaan kerja.
Selama hampir empat tahun bekerja di Kiba, Donny beberapa kali mendapat penugasan berbahaya. Misalnya, ia diminta membetulkan alat yang macet saat dioperasikan, tapi dengan kondisi mesin hidup. Tak mau mengambil risiko dan melanggar prosedur, Donny menolak penugasan itu. Namun ia justru mendapat teguran dari atasannya. Saat mengadukan masalah ini kepada pengawas K3, Donny juga malah dinasihati untuk mengikuti perintah bos.
Kondisi kerja yang tak layak itulah yang memicu banyaknya kecelakaan kerja di Kiba. Balang Institute—lembaga nonpemerintah asal Bantaeng yang banyak mengadvokasi warga dan pekerja di Kiba—mencatat, pada 2020-2022, setidaknya ada delapan kasus kecelakaan kerja. Kasus-kasus ini menelan tiga korban jiwa yang terdiri atas seorang pekerja lokal dan dua pekerja asal Cina. Ada juga sejumlah korban luka akibat APD yang tak layak. Setahun kemudian, pada 2023, insiden kecelakaan kerja kembali terjadi, bahkan jumlahnya bertambah.
Catatan Koalisi Advokasi Kiba yang dimuat di laporan Jaringan Advokasi Tambang menyebutkan, pada 2023 terjadi 13 kali insiden kecelakaan kerja. Jumlah korban juga bertambah: lima orang tewas dan beberapa pekerja luka-luka. Laporan itu menyebutkan, pada masa awal operasinya, PT Huadi Nickel Alloy Indonesia tak memperhatikan keselamatan dan keamanan pekerja: tak ada sepatu, helm, dan sarung tangan khusus. Bahkan ada pekerja yang bersentuhan langsung dengan feronikel tanpa memakai APD lengkap.
Tumpukan slag atau limbah padat hasil pengolahan nikel di Kawasan Industri Bantaeng, Sulawesi Selatan, yang bersisian langsung dengan jalan poros Bantaeng-Bulukumba, 9 Februari 2025. Tempo/Praga Utama
Di luar masalah K3 bagi pekerja, perusahaan mengabaikan keselamatan dan kesehatan warga sekitar. Hal ini terlihat jelas dari tumpukan slag atau limbah padat sisa peleburan bijih nikel yang menggunung di banyak titik di area pabrik. Bukit-bukit slag ini bahkan terlihat jelas dari desa sekitar dan jalan poros Bantaeng-Bulukumba. Area penampungan slag hanya dibatasi tembok beton setinggi sekitar 2 meter.
“Selain dari cerobong asap dan aktivitas pabrik, tumpukan slag inilah yang menjadi sumber pencemaran debu di desa-desa sekitar,” kata Qalbi Qadrianto, staf Balang Institute yang beberapa kali terlibat dalam riset mengenai dampak smelter nikel di Bantaeng. Balang Institute merupakan organisasi masyarakat sipil yang bergerak untuk memastikan akses warga terhadap pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan.
Menurut dia, pada dua tahun lalu, perusahaan bahkan pernah membuka area penampungan slag dan membolehkan warga mengambil material itu cuma-cuma untuk campuran batu bata atau material konstruksi. Tempat penampungan slag itu pun kerap menjadi tempat bermain anak-anak. “Padahal slag pernah dikategorikan sebagai limbah bahan beracun berbahaya (B3).” Pada 2021, pemerintah mengeluarkan slag nikel dari daftar B3 lewat Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021.
Debu slag dan polusi udara itulah yang diduga menjadi penyebab Ani, 23 tahun, kerap sakit-sakitan. Rumah Ani di Desa Borong Loe hanya berjarak sekitar 100 meter dari salah satu area penampungan slag Kiba. “Sejak ada pabrik ini, saya mudah sekali batuk dan pilek,” ucap ibu rumah tangga yang membuka warung di rumahnya ini.
Pada Desember 2024, Ani pernah mengalami flu berat sampai sesak napas. Ia lalu berobat ke klinik swasta yang biasa menjadi rujukan warga di sekitar smelter. “Tapi dokter bilang saya cuma kelelahan. Saya hanya diberi obat flu dan vitamin,” ujar Ani. Ia tak mendapat penjelasan lengkap tentang penyebab sesak napasnya. “Warga di sini sudah biasa sakit begini.”
Untuk mengonfirmasi hal ini Tempo menghubungi General Affair and External Relation Manager PT Huadi Lily Dewi Candinegara. Ia baru membalas pesan pada 5 Maret 2025 dan berjanji akan mengirim jawaban tertulis. Namun jawaban tersebut belum dikirimkan saat liputan ini terbit pada 6 Maret 2025. ●