Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anda, perlukah pemerintah mengevaluasi standar sekolah yang pelajarnya sering tawuran?
(22-28 September 2011) |
||
Ya | ||
94,47% | (356) | |
Tidak | ||
4,47% | (17) | |
Tidak Tahu | ||
1,06% | (4) | |
Total | (100%) | 377 |
STATUS sekolah berstandar internasional di Jakarta sedang riuh diperbincangkan. Kali ini bukan lantaran biayanya yang selangit, melainkan karena siswanya suka tawuran. Hampir semua pembaca Tempo Interaktif setuju predikat sekolah bertaraf internasional yang muridnya malah getol berkelahi di jalanan dievaluasi.
Sentimen negatif publik pada sekolah-sekolah elite ini tentu berangkat dari keprihatinan. Banyak yang kaget mendengar perkelahian antara siswa SMA Negeri 6 Jakarta dan puluhan jurnalis pada Senin dua pekan lalu. Kekerasan itu dipicu aksi sejumlah wartawan menuntut pertanggungjawaban pihak sekolah setelah terjadi insiden perampasan kaset milik seorang juru kamera dari stasiun televisi Trans 7 dua hari sebelumnya.
Bukannya menyelesaikan persoalan, aksi para jurnalis ini justru memancing persoalan lebih besar. Berawal dari saling ejek dan saling ledek, jurnalis dan pelajar baku pukul. Sedikitnya empat jurnalis luka-luka. Peralatan kerja mereka pun banyak yang berantakan.
Pascatawuran, kedua pihak melapor ke polisi dan Dewan Pers. Media massa pun terus-menerus menyoroti insiden memalukan ini. Jumat dua pekan lalu, perjanjian damai disepakati di Dewan Pers. Pihak sekolah dan pelajar tidak akan mempersoalkan kerusakan fisik dan jatuhnya korban di pihak mereka. Pihak pers berjanji akan melakukan hal senada. Semua bersalaman.
Selesai? Tidak juga. Insiden tawuran ini membuat Kementerian Pendidikan Nasional berencana mengevaluasi status sekolah berstandar internasional yang murid-muridnya liar dan suka terlibat perkelahian jalanan. Tak kurang dari 94 persen pembaca mendukung rencana pemerintah ini.
Indikator Pekan Ini KITA masih terguncang oleh bom di pelataran Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton, Solo, Jawa Tengah, Ahad dua pekan lalu. Pelakunya diduga terkait dengan serangan serupa ke Masjid Az-Zikra di Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon lima bulan lalu. Teror memang selalu menebar ketakutan. Berdasarkan penyidikan polisi, pelaku bom bunuh diri di Solo, Ahmad Yosepa Hayat, masih memiliki kaitan dengan pengebom di Cirebon, Muhammad Syarif. Yosepalah yang mengantar Syarif saat akan beraksi menjelang salat Jumat, April lalu. Kedekatan itu dan fakta bahwa Yosepa sebenarnya sudah diikuti aparat menjelang peledakan bom dua pekan lalu menimbulkan kecurigaan banyak orang. Tak sedikit yang menuduh polisi dan intelijen aparat keamanan kecolongan. Apalagi peristiwa ini terjadi bersamaan dengan rencana pengesahan Undang-Undang Intelijen di Dewan Perwakilan Rakyat. Sudah lama Badan Intelijen Negara ingin mendapat kewenangan menangkap dan menyadap orang. Permintaan ini ditolak banyak pegiat hak asasi manusia. Menurut Anda, perlukah Badan Intelijen Negara diberi kewenangan menahan orang untuk mencegah terulangnya aksi teror? Kami tunggu jawaban Anda di www.tempointeraktif.com. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo