Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JUAL-beli naskah Melayu di Riau berlangsung terang-terangan: di kedai kopi, rumah penduduk, lobi hotel, perpustakaan daerah. Bahkan tak jarang transaksi ini berlangsung di depan hidung aparat. Ribuan naskah sejarah kerajaan Riau-Lingga terbang ke Malaysia, Singapura, bahkan Brunei. ”Bangsa ini tidak peduli akan sejarahnya,” kata Al-Azhar, 44 tahun, Ketua Yayasan Bandar Seni Raja Ali Haji-Pa-kanbaru kepada Cahyo Junaedy dari Tempo yang menemuinya di Pekanbaru dan Tanjung Pinang, awal Juli lalu.
Sejak kapan praktek jual-beli naskah Melayu di Riau ini terjadi?
Perdagangan naskah Melayu di Riau, khususnya Riau Kepulauan, sudah berlangsung 20 tahun. Ini akibat rekayasa kebudayaan dari lembaga-lembaga kebudayaan yang tumbuh subur di Malaysia, Singapura, dan Brunei.
Maksud Anda?
Singapura dan Ma-laysia memang sedang bergiat. Para penguasa Malaysia, terutama para keturunan sultan yang berlomba menggali kembali jati diri mereka. Misalnya, Sultan Johor membangun Yayasan Wa-ris-an Johor yang bertugas mengkaji kebesaran kerajaan Johor pada masa silam. Pemerintah Malaysia berkeinginan menjadi ikon Melayu. Negara itu sejak 30 tahun silam ingin menjadi center of excellent-nya Melayu.
Yayasan Warisan Johor adalah pemain utama?
Dalam sejarahnya, Kesultanan Johor mendapatkan kewibawaannya dari Pulau Penyengat. Wajar-lah, kesultanan ini menjadi salah satu kesultanan di Malaysia yang paling giat memburu naskah Melayu di Riau. Untuk itu, Kerajaan Johor menggunakan Yayasan Warisan Johor.
Kesultanan Malaka bahkan berani menyebut sebagai Bandar bersejarah. Ada keinginan penguasa Malaka memulihkan kejayaan Malaka sebelum dikalahkan Portugis pada 1511. Untuk itu mereka memerlukan bukti-bukti. Bukti yang paling mudah dan langsung dapat digunakan adalah lewat naskah-naskah Melayu, yang kebetulan banyak terserak di Kepulauan Riau.
Bagaimana dengan Singapura?
Singapura juga mirip. Negara ini seperti s-edang melakukan remaking of Singapore. Caranya me-reka secara legal mereka masuk ke Indonesia, mengobok-obok pemilik naskah Melayu lewat i-ming-iming uang dan semangat persaudaraan. Tidak dapat dinafikan orang Melayu di Singapura, Johor, Sela-ngor, itu memiliki hubungan kekeluargaan dengan orang-orang Melayu di Kepulauan Riau.
Sejauh ini bagaimana jual-beli naskah itu di-cegah?
Kita tidak bisa menggunakan pikiran Ja-karta untuk melihat hubungan Singapura, Malaysia, dan Riau, karena bagi mereka (hubungan mereka) seperti menyeberang parit saja. Ini yang membuat lalu lintas naskah ini menjadi cepat dan mudah. Penjualan naskah Melayu ini bukan me-lulu kesalahan pembeli saja. Pemilik naskah itu juga tidak mendapatkan keuntungan apa pun sebagai pemilik naskah. Kalau ada yang i-ngin membeli naskah de-ngan harga menggiurkan, naskah itu akan terbang dengan sendirinya.
Mestinya, pemerintah pu-sat punya aparat untuk men-cegah praktek ini?
Sebenarnya di Tanjung Pi-nang ada Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional yang dimaksudkan sebagai pengawal budaya dan penyelamatan kekayaan tradisional, tapi kenyataannya inventarisasi naskah saja mandul, apalagi mau memproteksi naskah.
UU No. 5/1999 tentang Cagar Budaya yang melarang penjualan naskah kuno tidak digubris?
Transaksi lalu lintas naskah ini sangat memprihatinkan. Kondisi ini tidak dapat dibendung ha-nya dengan mengandalkan Undang-Undang Cagar Budaya yang memang tidak melindungi para pemilik naskah.
Bagaimana peran pemerintah pusat?
Nihil. Misalkan Raja Malik (Ketua Balai Maklu-mat Kebudayaan Melayu Riau, organisasi yang aktif mengumpulkan naskah Melayu di Pulau Penyengat—Red.) sudah mengirim surat minta bantuan untuk penyelamatan naskah-naskah ini, tapi pemerintah pusat atau daerah bergeming. Jika kami kirim SMS ke Malaysia, mereka langsung meluncur datang membantu.
Solusinya?
Yang perlu diingat, harta serta kekayaan khazanah yang ada di Kepulauan Riau jangan sampai terbang ke luar negeri. Karena itu, kita perkuat i-nstitusi-institusi kebudayaan yang ada di Kepulauan Riau. Pemda kan punya dana taktis. Bagi saya, ini sudah bencana kebudayaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo