Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSIM kemarau enam tahun silam menjadi saat yang tak terlupakan bagi Rahman Yusuf, 47 tahun. Ketika itu buruh tani Desa Resun, Kecamatan Lingga, Riau ini tak me-nyangka akan dikunjungi seorang peng-usaha asal Johor, Wan Moh. Abdullah. Wan datang bersama rekan-rekannya dari Malaysia untuk melihat reruntuhan Kerajaan Riau-Lingga yang diyakini sebagai daerah leluhur mereka.
Desa Resun berada di sepotong jalan menuju Daik, be-kas pusat Kerajaan Riau-Lingga. Rute lain yang bi-sa ditempuh adalah mengarungi Sungai Daik dengan ka-pal motor. Namun, jika kemarau berkepanjangan se-perti tahun 2000 itu, air sungai menyusut drastis se-hingga sulit dilalui. Akibatnya, jalan darat hanya sa-tusatunya pilihan. Dalam perjalanan itulah Wan re-hat- sejenak di rumah sederhana milik Rahman.
Tak dinyana, pandangan sang tamu tertumbuk pada sebuah Al-Quran lapuk. Kitab suci yang bebe-rapa halamannya sudah rompal dimakan rayap itu di-bolak-baliknya dengan antusias. ”Dia bertanya mau saya jual dengan harga berapa,” Rahman mengulang pertanyaan Wan. Kaget oleh kejadian yang tak pernah dibayangkan itu, ayah tiga anak ini hanya diam. Tapi Wan mengejar terus. Akhirnya mufakat tercipta. ”Dia membayar dengan ringgit senilai sekitar Rp 5 juta,” ujar Rahman.
Selain Al-Quran warisan keluarga, juga segepok per-kamen mengenai tasawuf yang sudah menguning, sebilah keris, serta ikat pinggang perak dengan motif Melayu abad ke-19 yang berpindah tangan. Petang itu kekayaan Rahman bertambah Rp 15 juta. Rahman berhenti dari pekerjaannya sebagai buruh tani dan memilih menjadi tukang ojek dengan motor baru miliknya sendiri. Sisa uang yang masih ada dijadikan modal untuk warung istrinya.
Kisah Rahman yang mendapat rezeki nomplok dari per-kamen klasik adalah hal jamak dari obrol-an kese-ha-rian masyarakat Riau. Naskah-naskah itu diper-jual-belikan layaknya komoditas hasil bumi b-ia-sa, bukan barang berharga yang layak diperta-han-kan-. T-e-ngoklah pengalaman Al Azhar, pakar linguis-tik da-ri Univer-sitas Leiden. Di Tanjung Pinang, di s-e-buah ke-da-i kopi, sebuah perkamen kuno se-tebal 500 halaman- di-bandrol dengan harga Rp 3 juta. Ka-rena tak mem-bawa- uang tunai, Azhar kembali esok-nya. Apa mau di-ka-ta- ke-tika dia datang naskah itu sudah dibeli orang Ma-lay-sia (-lihat Naskah Kuno di Kedai Kopi).
Mengapa orang Malaysia begitu gandrung membeli naskah klasik Melayu?
Pertama, penting diketahui bahwa yang dimaksud- nas-kah atau perkamen klasik Melayu tak melulu kar-ya- literer yang ditulis pujangga kerajaan. ”Naskah k-lasik ini bisa berupa catatan sosial tentang kondisi- pa-da a-bad ke-17/18, gurindam dan pantun, hingga catatan per-jalanan biasa,” kata Nindya Noegraha, Kepala Bi-dang- Layanan Koleksi Khusus Perpustakaan Nasio-nal-, Jakarta. Simpul temu seluruh naskah ini adalah bah-wa semua teks ditulis dalam huruf bahasa Arab gun-dul.
Kedua, masih menurut Nindya, garis keturunan dan kemiripan kultural yang bersumber dari satu leluhur ratusan tahun silam itu membuat masyarakat Riau kerap merasa lebih aman ”menitipkan” waris-an keluarga itu di negeri jiran ketimbang di Jakarta. Persoalannya jauh lebih luas dari sekadar masalah kepercayaan, karena sudah menyentuh hal yang le-bih emosional: akar tradisi.
Direktur Yayasan Warisan Johor, Ungku M. Z-aman Tahir, termasuk yang berpandangan seperti itu, de-ngan menunjukkan fakta historis bahwa sebelum tahun 1824, kerajaan Johor dan Riau masih berada dalam satu pemerintahan tunggal. Artinya? ”B-ukan hanya naskah Melayu Riau yang menarik perhatian kami, melainkan juga naskah-naskah buah pikir ma-syarakat Johor yang masih tersebar di Riau yang kami cari,” katanya.
Di luar berbagai klaim kultural itu, Undang-Undang No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya jelas-jelas melarang transaksi artefak sejarah. Pasal 15 ayat 2 menyebutkan bahwa tanpa izin pemerintah setiap orang dilarang membawa benda cagar budaya ke luar wilayah Republik Indonesia. Jika larangan itu dilanggar, seperti disebutkan pasal 26, sang pelaku akan dipidana penjara selama-selamanya 10 tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp 100 juta.
Pertanyaannya sekarang, adakah pemahaman tentang undang-undang ini membuat ”sang penjahat” dalam jual-beli naskah menjadi lebih mudah teridentifikasi. Lalu, siapa yang harus dicokok aparat, penjual atau pembeli, jika hukum harus tegak?
Tak begitu mudah menjawab pertanyaan sederha-na di atas. ”Salah satu pangkal kusutnya adalah tafsir atas UU No. 5/1992 sendiri,” kata Nindya. Berdasarkan pengamatannya di lapangan, pengertian benda cagar budaya dipahami petugas hanya sebagai artefak, seperti halnya patung dan bekas reruntuhan situs. ”Naskah klasik dalam prakteknya sering tidak dilihat sebagai benda cagar budaya,” ujarnya.
Padahal, tertera dalam undang-undang, yang dimaksudkan benda cagar budaya adalah benda buat-an manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun serta dianggap memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Pengabaian definisi yang sudah jelas itu karenanya menjadi hal yang menghe-rankan Amien Sweeney, profesor peradaban Melayu di Universitas California, Berkeley, yang pernah 20 tahun memberikan kuliah di Universiti Kebangsaan Malaya. Ia yakin, ribuan naskah Melayu sudah hijrah dari suhu panas Riau ke rak-rak buku berpendingin udara di perpustakaan Malaysia. Hampir semuanya diabadikan dalam mikrofilm. ”Indonesia memang surga naskah Melayu yang mudah dipetik,” ujar pe-nulis buku Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi ini kepada Tempo.
Dalam telisik Al Azhar, terbangnya berbundel-bun-del naskah klasik yang semakin kasat mata itu terlihat menggencar sejak 1973, ketika Malaysia menggelindingkan niat menjadi pusat kebudayaan Melayu. Impian ini dikejar dengan membentuk Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), sebuah pusat penelitian dan pengkajian di bawah payung Universiti Kebangsaan Malaysia. Sejarah kebudayaan Melayu itu diyakini terekam dalam perkamen klasik yang tersebar di berbagai tempat di Riau, terutama di Pulau Penyengat, yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga, selain di Daik yang menjadi pusat kerajaan. Modusnya lewat para peneliti ATMA yang terjun langsung ke lokasi atau lewat makelar naskah seperti Khairullah.
Tapi, sebelum lebih jauh melihat bagaimana urutan naskah berpindah tangan, marilah sejenak kita susuri waktu ke awal abad ke-19. Raja yang memerintah di kepulauan ini, mulai dari Sultan Abdurakhman Syah (1812-1832), Sultan Muhamad Syah (1832-1841), Sultan Mahmud Muzafar Syah (1841-1857), Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II (1857-1883), serta Sultan Abdurrakhman Muazzam Syah (1883-1911), diketahui memiliki minat yang tinggi pada kegiatan literasi, dan mengembuskan atmosfer yang hangat sampai ke luar dinding kerajaan. Akibatnya, terjadi banjir naskah dengan beragam topik. Tonggaknya semasa Raja Ali Haji (1803-1873) menerbitkan buku-buku termasyhur. Sebut saja Tuhfat al-Nafis tentang sejarah raja Melayu, Kitab Pengetahuan Bahasa, serta catatan-catatan perjalanan Raja Ali Haji ke seantero negeri.
Penelusuran Tempo ke Pulau Penyengat, pulau mu-ngil seluas 3,9 kilometer persegi yang ditempuh 20 menit perjalanan laut dari Tanjung Pinang, membuktikan sama sekali tidak sulit membeli naskah seperti ini jika berdompet tebal. Tak mengherankan jika Raja Malik, Direktur Pusat Maklumat dan Kebuda-yaan Melayu Riau yang menyimpan sekitar 300-an naskah, menyebutkan bahwa sampai paruh pertama tahun ini sedikitnya sudah 50 naskah yang berpindah tangan. ”Koleksi saya pernah ditawar calon pembeli dari Brunei yang bersedia membayar berapa pun,” ujar keturunan Raja Ali Haji itu masygul.
Selain dari Malaysia dan Brunei, pemburu naskah pun berdatangan dari Singa-pura, yang dilihat Al Azhar sebagai bagian dari pem-bentukan kembali citra Singapura. ”Mereka i-ngin membuktikan bisa berubah dari kumpulan binatang ekonomi menjadi masyarakat yang berbudaya,” kata Al Azhar. Ia menunjukkan bukti Istana Kampung Gelam—Istana Sultan Singapura di Jalan Arab—yang baru selesai direnovasi sebagai simbol t-itik ba-lik keinginan negeri kota itu untuk berkompetisi dengan Malaysia sebagai ikon Melayu. ”Padahal 75 persen koleksi yang mereka pajang itu berasal dari khazanah Melayu Riau,” kata Azhar lagi.
Namun jelas tak arif jika tudingan hanya diarahkan ke ketiga negeri jiran. Bukan hanya karena pemilik naskah merasa lebih mendapatkan manfaat ekonomis dari warisan turun-temurun itu ketimbang terus-menerus mereka simpan. Kondisi naskahnya pun memprihatinkan, karena sejatinya juga tak pernah diurus pemerintah seperti diamanatkan UU No. 5/1992. Al Azhar menunjuk Balai Kajian Sejarah dan Tradisional (BKST) di Tanjung Pinang sebagai contoh. Awalnya lembaga bergedung megah ini di-maksudkan sebagai penyelamat kekayaan tradisional. ”Namun, jangankan mau memproteksi, untuk menginventarisasi pun sudah mandul,” tutur Al Azhar.
Seolah sepakat dengan pernyataan itu, pene-liti senior ATMA Prof Dr Noriah Mohamed, yang sudah melihat ratusan naskah di Lingga, menyatakan kondisi perkamen-perkamen usang itu sudah sangat memilukan. ”Jika tidak dikelola dengan baik, naskah itu akan segera hancur oleh suhu pantai,” ka-tanya. ”Karena itu, banyak dari kami yang membeli lantar-an kondisi yang mengenaskan itu.” Sedangkan Direktur ATMA Prof Dr Dato’ Shamsul Amri Baharud-din menegaskan, yang mereka inginkan terutama adalah isi naskah, bukan fisiknya. ”Yang dilakukan adalah digitalisasi naskah sebelum kami sebarkan me-lalui portal web kami,” katanya.
Terhadap kecaman Al Azhar, Ketua BKST Nismawati Tarigan menunjuk keterbatasan dana seba-gai biang keladi. ”Jangankan untuk inventarisasi naskah, untuk operasional sehari-hari pun dana yang dimi-liki sangat terbatas,” katanya gundah. Dana Rp 2 miliar setahun dirasakan Nismawati sangat tidak memadai untuk lingkup kerja yang begitu luas. Sebab, dia dan stafnya tak hanya memantau Riau Kepulauan tapi juga mencakup Jambi dan Bangka Belitung. Akibatnya, sosialisasi undang-undang terhambat, sehingga masyarakat melihat naskah itu sebagai warisan turun-temurun yang bisa diperlakukan menurut keinginan, termasuk dijual. ”Idealnya, dana operasional BKST sekitar Rp 8 miliar setahun,” kata Nismawati.
Bagi Jan van der Putten, transaksi naskah lama ini sulit diberantas. Selama permintaan masih deras, aktivitas ilegal ini akan terus berlangsung. ”Malaysia, Singapura, dan Brunei sedang berlomba menebalkan eksistensinya sebagai negara Melayu,” ujar Profesor Linguistik Melayu di Universitas Nasional Singapura ini.
Ditambah dengan ompongnya UU No. 5/1992, boleh jadi sepuluh tahun lagi berlangsung kisah sedih yang diajarkan di seluruh penjuru dunia: bahwa pusat kebudayaan Melayu adalah di Johor, atau Singapura, atau Brunei Darussalam....
Ciri-ciri Naskah Asli:
Kertas Kertas-kertas yang digunakan pada naskah klasik Melayu yang secara populer disebut ”kertas Eropa” pada abad ke-17/18 biasanya lebih tebal dibandingkan dengan kertas-kertas abad ke-20 yang semakin tipis.
Jenis tulisan Huruf Jawi (Arab gundul) yang ada pada naskah klasik Melayu menunjukkan ciri khat (gaya kaligrafi) yang berbeda dengan gaya penulis Al-Quran.
Simbol Ada simbol-simbol tertentu, biasanya dengan logo sederhana, pada kertas abad ke 17-18 yang digunakan sebagai bahan naskah. Beberapa perkamen tiruan dari naskah Melayu kuno yang diduga dibuat di Patani, Thailand, menggunakan logo (watermark) yang lebih cerah dengan warna-warna yang belum ada pada masanya.
Uji Karbon: Uji karbon (radiocarbon detecting) adalah metode yang umum digunakan para arkeolog untuk menentukan umur sebuah naskah. Teknik ini ditemukan oleh Profesor Willard Frank Libby dkk dari Universitas Chicago pada 1949. Karbon mempunyai 2 isotop non-radioaktif, yakni karbon-12 dan karbon-13, selain sejumlah kecil isotop karbon-14 yang bersifat tidak stabil. Uji penentuan umur naskah (radiometric dating) dilakukan dengan menggunakan isotop karbon-14 yang bisa memperkirakan umur naskah sampai 60 ribu tahun silam. Atas temuannya ini Libby dianugerahi Hadiah Nobel Kimia pada 1960.
Alur Penjualan Naskah:
Penjual Mata rantai pertama dari alur penjualan naskah adalah masyarakat yang mewarisi naskah itu secara turun-temurun. Setiap bundel naskah biasanya dilego dengan harga sekitar Rp 3–5 juta kepada makelar.
Makelar Makelar adalah para pemburu naskah yang bergerak sendiri atau dengan dukungan keuangan dari tauke. Jika bergerak sendiri, seorang makelar bisa menjual sebuah naskah tiga kali lipat dari harga yang dibayarkannya kepada penjual. Jika ia bekerja kepada tauke, harga penjualannya lebih rendah karena semua pengeluaran ditanggung oleh tauke.
Tauke Mata rantai ketiga adalah tauke, yang pihak yang mencarikan pembeli dan biasanya sudah memiliki hubungan yang bagus dengan pihak luar negeri. Harga yang ditawarkan kepada pembeli bervariasi antara 30 dan 200 persen dari harga yang dibayarkan kepada makelar. Semakin banyak biaya yang dikeluarkan seorang tauke untuk mendanai seorang makelar, semakin tinggi margin keuntungan yang dimasukkannya ke dalam harga jual.
Pembeli Dalam mata rantai yang sempurna, pembeli berada pada posisi keempat. Namun, dalam prakteknya, ada juga pembeli yang langsung berhubungan dengan penjual tanpa melalui makelar dan tauke.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo