Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Naskah Kuno di Kedai Kopi

Dari ahli sejarah hingga pemandu wisata. Dari pedagang barang antik hingga wisatawan. Semua terlibat dalam penjualan naskah Melayu di Riau.

17 Juli 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALAN aspal yang telah gripis itu membelah kebun sagu. Hujan yang jatuh semalaman membuat kolam-kolam kecil di tengah lintasan. Pe-ngendara ojek motor hafal betul rute "maut" ini: mereka lincah bergerak menghindari lubang. Setengah jam menumpang ojek, Daik, ibu kota Kabupaten Lingga, segera tampak.

Tak sulit mengunjungi tempat itu. Jaraknya dari Tanjungpinang, ibu kota Kabupaten Bintan, Riau, "hanya" tiga jam perjalanan-menumpang kapal feri jurusan Tanjungpinang-Dabo Singkep. Dari Dabo, perlu setengah jam lagi dengan kapal ke utara menuju Pelabuhan Tanjung Buton. Dari situ, baru naik ojek ke Daik.

Kabupaten Lingga, berdiri Mei 2004, terdiri dari tiga gugusan pulau: Senayang di utara, Lingga di te-ngah, dan Singkep di selatan. Tapi, melihat sejarah-nya, Daik bukanlah kota anyar. Di sini, 100 tahun lebih Kerajaan Riau-Lingga berpusat. Di tempat ini tersimpan bangunan bersejarah, benda pusaka, dan naskah Melayu Lama-sesuatu yang diburu makelar barang kuno.

Salah satunya Khairullah, 45 tahun, warga Pulau Penyengat yang telah berpuluh kali bolak-balik Tanjungpinang-Daik. Menurut Syahrul-begitu ia biasa disapa-hampir seluruh rumah di Daik menyimpan benda pusaka khazanah Melayu, terutama naskah-naskah lama-buku, kumpulan syair, jurnal, hingga surat-surat kedinasan tempo dulu.

Pada 1787, Daik dipilih oleh Sultan Melayu menjadi ibu kota Kerajaan Melayu Riau-Lingga. Sedang-kan Pulau Penyengat ditetapkan sebagai ibu kota peme-rintahan. Karenanya, Penyengat juga menjadi sumber naskah lama, meski jumlahnya tak sebanyak di Daik. Tempat lain yang juga menyimpan ribuan nas-kah lama-terutama Al-Quran tulisan tangan-adalah Pulau Bintan.

Di kawasan kepulauan inilah Syahrul berkelana: mendatangi rumah-rumah pemilik, membujuk de-ngan pelbagai kata-kata manis, lalu memboyong harta karun itu pergi. "Kadang naskah Melayu itu tidak berarti buat pemiliknya," katanya.

l l l

SEMUANYA berawal dari buku kecil seukuran kartu nama: kusam, sampulnya hitam pupus, dan ker-tas di dalamnya beberapa telah rontok. Tapi dari buku kucel itulah aktivitas Syahrul berasal. Setiap hari, ke mana pun ia pergi, buku itu selalu ada di saku celana.

Di dalamnya tersimpan daftar pemilik naskah yang terserak di seantero Provinsi Kepulauan Riau: Lingga, Singkep, Senayang, Pulau Tujuh-pulaupulau kecil di sekitar Natuna. "Dompet saya boleh hilang, tapi jangan catatan ini," kata Syahrul. Barisan nama itu adalah hasil survei selama 20 tahun yang ia lakukan saat mencari benda-benda sejarah. "Kalau ada uang, saya tinggal membuka catatan ini," kata ayah tiga putra ini.

Uang? Berburu naskah Melayu memang perlu duit yang tak sedikit. Dalam satu perjalanan-biasa-nya sekitar 40 hari-Syahrul membawa sedikitnya Rp 30 juta. Itu uang dari koceknya sendiri. Selain un-tuk membeli naskah kuno, uang itu banyak habis un-tuk biaya perjalanan.

Lokasi naskah yang tersebar di pulau-pulau meng-akibatkan Syahrul harus menghabiskan 1-2 hari perjalanan dengan kapal motor. Terkadang, lokasi itu tak terjamah kapal penumpang. "Kalau sudah be-gitu, saya harus sewa kapal dan itu mahal," katanya.

Jika sedang kempis kantong, ia dimodali tauke-bandar pengumpul benda-benda antik-di Tanjungpinang. Di sinilah peran buku kumalnya menjadi penting. Syahrul dapat menceritakan kepada tauke ada benda-benda antik yang bakal dilego. Dari jualan informasi ini, Syahrul mendapatkan 10 persen dari penjual dan 10 persen dari pembeli. Dia jadi, "Semacam calo," katanya.

Dengan pekerjaannya itu, Syahrul menghidupi i-s-tri dan ketiga anaknya. Rumahnya di Kampung La-di, Pulau Penyengat, paling mentereng di antara ru-mah lain: bangunannya tinggi menjulang disepuh cat warna terang. Kata Syahrul, menjadi perantara perdagangan benda kuno adalah pekerjaan warisan orang tuanya. Ketika bocah, dia kerap diajak ibunya mencari benda antik dari kampung ke kampung.

Modal utama yang dimiliki Syahrul adalah "tebu di bibir". Ia memang pandai bicara. Berbincangnya ibarat bersampan di laut yang tenang. Suaranya pelan, teratur, dengan gerak tangan dan mimik yang ekspresif.

Pagi itu, Tempo menyaksikan kepiawaian Syahrul bersilat lidah. Kali ini Abdullah Ghani, 60 tahun, warga Pulau Singkep, yang menjadi korban. Ghani adalah nelayan sederhana yang memiliki sejumlah naskah lama, termasuk Al-Quran tulis tangan abad ke-19. Buyut Ghani adalah salah satu utusan Kerajaan Riau-Lingga untuk wilayah Singkep.

Lewat tutur halus berdialek Melayu kental, Syahrul menghidupkan obrolan. Dengan fasih ia mendedah latar belakang keluarganya-terutama darah Bugis yang mengalir dari ayahnya. Ternyata Ghani juga keturunan Bugis. Merasa seperantauan, Ghani kesengsem.

"Anda punya benda lama kok dibiarkan be-gitu sa-ja," kata Syahrul. "Daripada disimpan, lebih baik dijual. Belikan susu, beras, makan kenyang-k-enyang." Mendengar pernyataan Syahrul, tawa Ghani pecah. Di akhir obrolan, Syahrul berbisik. "Sebagai sesama Bugis, kita saling bantulah."

Tak berapa lama, Ghani menyerahkan naskah itu. Kitab setebal 200-an halaman itu berisi resep obat-obatan Melayu. Syahrul menyerahkan uang Rp 2 juta. Transaksi hari itu ditutup dengan jabat tangan hangat.

Tidak selamanya Syahrul mulus mendapatkan n-askah lama. Ada kalanya ia harus tiap hari mendatangi calon korbannya dengan berbagai oleh-oleh sebagai "mahar"-biasanya beras, kopi, gula, dan lauk-pauk. Pernah suatu ketika ia membayar Al-Quran tulis tangan abad ke-19 dengan pasir dan puluhan sak semen untuk membangun surau milik si korban. Setelah bayaran dianggap cukup, Al-Quran itu baru boleh berpindah tangan.

Tak semua pemilik naskah menjual barang ber-sejarah itu. Kepada pendatang asal Malaysia, naskah mereka kerap dihibahkan begitu saja. Salah satunya adalah Mohammad Farid, 35 tahun, warga Lingga. Farid adalah cucu Haji Ja'afar bin Encik Abu Bakar, cendekiawan Riau yang menguasai ekonomi dan h-ukum ketatanegaraan Kerajaan Riau-Lingga.

Pada 1999, seorang peneliti asal Malaysia menda-tangi rumahnya. Ia mengaku telah menelusuri a-rsip-arsip yang berhubungan dengan Haji Ja'afar bin Encik Abu Bakar untuk sebuah penelitian. Dalam pertemuan itu, ia menanyakan soal naskah-naskah lama karya Haji Ja'afar.

Tanpa dikomando, ibu Farid langsung menyerahkan seluruh naskah milik Haji Ja'afar. Di antaranya, arsip yang memuat penunjukan Haji Ja'afar sebagai Sekretaris Rusydiyah Klub (1880)-perkumpulan cerdik-pandai yang bergerak di bidang politik dan kebudayaan di Penyengat (lihat, Naskah Dikuras, Situs Merana). Naskah tentang pengalamannya bekerja di Trengganu dan sejumlah surat dinas dari Kerajaan Riau-Lingga turut ia hibahkan. "Seluruh naskah milik Haji Ja'afar kami serahkan," kata Farid. Se-jumlah peneliti asal negeri Jiran memang secara re-guler mengunjungi Daik-Lingga. Mereka menyebut kawasan ini sebagai "Bunda Tanah Melayu".

l l l

PERTEMUAN itu digelar di kedai kopi yang terle-tak- di jalan Bintan-Tanjungpinang. Ini kawasan pa-dat-. Deretan bangunan tumbuh berdesakan di sam-ping- kedai. Aroma bubuk kopi meruap di ruang kedai yang dipenuhi meja kayu bujur sangkar dan kursi plas-tik.

Belum lagi menemukan tempat duduk, telepon geng-gam Syahrul berdering. Dari ujung telepon, terdengar suara bertanya. Syahrul menjawab, "Saya sudah di kedai, nih." Setengah jam berlalu, orang yang dinanti muncul: seorang pendek berkulit putih dan lelaki tinggi berkulit gelap.

Tanpa mengeluarkan buku catatannya, Syahrul me-maparkan seluruh informasi dengan runtut. Ke-dua koleganya mendengarkan. Syahrul menunjukkan setumpuk foto benda-benda bersejarah dan naskah Melayu yang ia bicarakan tadi. "Foto-foto ini saya dapat dari pemiliknya," katanya pelan.

Seluruh pemilikan benda-benda khazanah Melayu itu memang sudah dikuasakan kepada Syahrul untuk dilego. Tapi, lantaran ia tidak punya uang cukup, benda itu ia tawarkan ke koleganya, seorang "tauke" benda antik dan seorang lagi pembeli barang antik asal Malaysia. Komisi 20 persen menunggu Syahrul.

Syahrul mengaku, dirinya kerap menjual naskah dan benda antik lainnya ke pasar lokal lewat tauke asal Tanjungpinang ini. Tapi, tak jarang Syahrul berhubungan langsung dengan pembeli asal Malaysia. "Banyak orang Malaysia yang langsung datang ke rumah saya."

Pembeli asal Malaysia ini, kata Syahrul, dari berbagai profesi dan lapisan: kolektor biasa, pedagang naskah, peneliti, hingga keluarga Kesultanan Johor. Soal penjualan yang melibatkan keluarga sultan ini, Syahrul punya cerita.

Pada 2000 silam, seorang pengusaha asal Malaysia bernama Lucas menemuinya di Penyengat. Dari pembicaraan itu diketahui, Kesultanan Johor ber-keinginan membeli naskah Melayu asal Riau, terutama yang menyangkut kebesaran Kerajaan Johor. Lucas meminta Syahrul mengumpulkan naskah yang dimaksud sambil memberi iming-iming uang 40 ribu ringgit Malaysia. "Tapi, setelah saya kumpulkan, pem-bayaran tidak sebesar janjinya," kata Syahrul ber-sungut.

Namun, meski begitu, Syahrul tidak kapok men-jual naskah kepada pembeli Malaysia dan Singapura, lantaran jika datang ke Riau mereka membawa setumpuk uang. "Orang seberang, kalau melihat barang-nya bagus, harga tak ditengok," katanya beralasan.

Penjualan naskah Melayu di Riau juga kerap melalui tangan-tangan pemandu wisata. Pulau Penye-ngat dan Daik-Lingga kerap didatangi pelancong Malaysia dan Singapura yang rajin membeli suvenir. Nama Syahrul dikenal oleh pemilik toko cendera mata. Barkah, sopir motor becak di Penyengat, ke-rap membawa tamunya langsung ke rumah Syahrul. "Lumayan tipsnya banyak," kata Barkah.

Di Tanjungpinang dan sejumlah kawasan di Kepulauan Riau, penjualan naskah-naskah tua ini terjadi di depan mata dan melibatkan siapa saja. "Seperti menjual komik saja," kata Al-Azhar, budayawan dan Ketua Yayasan Bandar Seni Raja Ali Haji-Riau.

Azhar lalu bercerita. Pada 2002 lalu, saat berada di kedai kopi, matanya tertumbuk pada sebuah naskah dalam lemari kedai. Saat dilihat, ternyata itu sebuah naskah Melayu setebal 500 halaman. Saat di-tanyakan pada pemilik kedai, naskah itu dijual Rp 3 juta. Lantaran tidak memiliki uang, Azhar kembali esok harinya. Tapi naskah itu telah raib. "Sudah dibeli orang Johor," kata pemilik kedai, enteng.

Terkurasnya naskah Melayu diakui Abdul Kadir Ibrahim, Kepala Bidang Sejarah dan Purbakala Kota Madya Tanjungpinang. Ia berujar enteng, "Naskah Melayu memang menjadi sebuah komoditas meng-giurkan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus