Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Bagaimana Bisa Tes Covid-19 Negatif Tapi Hasilnya Positif

Sejumlah merek alat tes Covid-19 bermasalah tak hanya di Indonesia. Deteksi negatif hasilnya positif.

13 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
RT-PCR swab test kits Sansure Biotech asal Cina saat tiba di Filipina, Oktober 2020.. https://twitter.com/philredcross

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • ICW dan audit BPKP menemukan kit merek Sansure paling banyak dikembalikan ke BNPB.

  • Kit serupa pernah bermasalah di sejumlah negara.

  • Beberapa penelitian mengungkap angka deteksi yang rendah.

SATU bulan sebelum pemerintah Indonesia menunjuk delapan perusahaan mendatangkan alat tes Covid-19 atau virus corona pada April 2020, Wakil Menteri Kesehatan Filipina Maria Rosario Vergeire mengumumkan penarikan alat deteksi merek Sansure. Dalam jumpa pers pada 28 Maret 2020, Vergeire menyatakan alat deteksi buatan perusahaan Tiongkok itu kurang akurat. “Akurasinya hanya 40 persen sehingga kami tak memakainya,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Vergeire mengaku tak menyangka alat itu punya tingkat akurasi rendah karena ada dalam rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan mengantongi lisensi China Food and Drug Administration. Dengan dalih itu pula Kedutaan Besar Cina di Manila mengeluarkan pernyataan resmi yang membantah pernyataan Vergeire.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah muncul sanggahan itu, Vergeire menarik pernyataannya. Masalah baru muncul, Presiden Rodrigo Duterte menduga harga Sansure terlalu mahal. “Harga wajarnya 1,75 juta peso (sekitar Rp 518 juta), tapi pemerintah harus mengeluarkan ongkos sebesar 4 juta peso per unit,” tuturnya seperti dikutip CNN Philippines.

Dua bulan seusai pengumuman Vergeire, merek yang sama tiba di Indonesia. Distributornya PT Mastindo Mulia, perusahaan batu bara milik taipan Prajogo Pangestu. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjuk perusahaan ini mendatangkan 500 ribu unit Sansure senilai Rp 172,5 miliar. Karena semua rumah sakit menjerit kekurangan alat deteksi Covid-19, BNPB segera mendistribusikannya.

Milton Lum Siew Wah. https://www.perdanauniversity.edu.my

Salah satu yang menerima adalah Dinas Kesehatan Papua sebanyak 12.997 unit. Tapi, baru menguji sampelnya, laboratorium Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Papua mengonfirmasi apa yang diumumkan Filipina. “False negative begitu tinggi,” ucap Kepala Balai Antonius Oktavian.

Pembuktian Oktavian dikuatkan Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Oktavian mendapat hasil uji coba Sansure yang menyatakan alat tersebut terlalu sensitif sehingga pembuktian perlu dilakukan berulang kali. Sebanyak 16 unit sampel spesimen gagal mendeteksi virus. “Sehingga sesungguhnya positif terbaca negatif,” ujar Oktavian.

Karena ragu, Oktavian mengembalikan alat deteksi itu ke BNPB pada 21 Agustus 2020. Ia memilih memakai alat polymerase chain reaction (PCR) merek Biosensor yang diproduksi SD Biosensor asal Korea Selatan karena lebih akurat. Akibatnya, dari 500 ribu barang impor tersebut, sebanyak 473.984 unit dikembalikan, yang menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp 24 miliar.

Alat deteksi yang bermasalah bukan hanya Sansure. Dari pengadaan April hingga Desember 2020, sejumlah merek yang tiba di Indonesia, tidak mendapat rekomendasi WHO. Merek tersebut antara lain Alphagen, Beaver, Cellpro, Citoswab, Wizprep, dan Torax. 

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sepanjang April-September 2020, sebanyak 78 laboratorium di 29 provinsi mengembalikan 498.644 unit alat tes Covid-19. Nilai pembelian unit sebanyak itu Rp 169 miliar. Sansure paling banyak, 483.819 unit, sehingga alat ini hanya terpakai 16.181 unit.

Kepala BNPB Doni Monardo mengatakan pada Maret-April 2020 terjadi kepanikan karena, dalam keadaan darurat, alat deteksi virus tidak ada. Semua rumah sakit mengajukan permintaan alat deteksi seiring dengan banyaknya pemeriksaan pasien untuk mendeteksi keberadaan virus corona. “Di awal semua bingung,” kata Doni. Walhasil, alih-alih mengecek sebelum membeli, pemerintah menerima merek apa saja yang dipasok distributor. 

Menurut peneliti ICW, Wana Alamsyah, semestinya, meskipun dalam keadaan darurat, ada uji teknis dan validasi alat deteksi virus sebelum pengumuman pengadaan. Setidaknya laboratorium dan rumah sakit diminta mengirimkan informasi spesifikasi alat PCR yang sesuai dengan alat yang mereka miliki. Sebelum pandemi Covid-19 merebak, alat PCR dipakai untuk mendeteksi virus apa saja dalam darah. “Apalagi beberapa negara sudah mengumumkan penarikan Sansure,” tuturnya.

Malaysia menambah panjang daftar negara yang menarik Sansure dari laboratorium dan rumah sakit. Sebelumnya, Direktur Jenderal Kesehatan Malaysia Noor Hisham Abdullah menyatakan akan mengganti alat uji yang diimpor dari Cina dengan alat yang didatangkan dari Korea Selatan dan Singapura. “Akurasinya tidak sesuai dengan harapan,” ucapnya. Seorang sumber dari Kementerian Kesehatan Malaysia mengkonfirmasi alat tersebut adalah Sansure.

Milton Lum Siew Wah dari Malaysian Medical Council mengaku skeptis alat-alat deteksi Covid-19 yang datang ke negaranya melalui uji coba. Sebab, dia menjelaskan, standar akurasi minimal yang harus dipertahankan sebuah alat uji berada di angka 80 persen. “Jika hanya 40 persen, kamu akan kehilangan 60 persen,” ujarnya.

Pengujian akurasi Sansure sesungguhnya sudah dimulai pada awal Maret 2020 oleh beberapa universitas. Namun, karena dimuat di jurnal, laporannya baru terbit pada Juli 2020. Misalnya penelitian Bingqi Wang dari Central South University, Cina. Ia mempublikasikan hasil penelitian di jurnal Jerman De Gruyter dengan menyebutkan tingkat akurasi Sansure untuk mendeteksi N-Gene dalam virus corona hanya 28,31 persen.

Bingqi juga membandingkan Sansure dengan enam kit komersial lain, yaitu BGI Biotech, Outdo Biotech, Perkin Elmer, Daan Gene, Jiangsu Bioperfectus, dan Fosun. Menurut dia, hanya Perkin Elmer yang sesuai dengan standar Chinese Center for Disease Control and Prevention.

Reagen kit yang menumpuk di Gudang H BGR Kelapa Gading, Jakarta. Tempo

Penelitian lain dilakukan oleh tim Mengmeng Wang, yang mengomparasi lima kit komersial. Salah satunya Liferiver. Ia menyebutkan level deteksi merek ini di bawah Daan Gene dan BioGerm dalam empat kali uji pelarutan alias di bawah 100 persen. Liferiver adalah salah satu kit yang masuk ke Indonesia lewat PT Trimitra Wisesa Abadi dan dikembalikan ke BNPB sebanyak 2.825 unit.

Adapun Intron, Wizprep, Liferiver, Kogene juga bermasalah karena beberapa unitnya dikembalikan ke BNPB. Merek-merek itu masuk ke Indonesia lewat Trimitra, PT Makmur Berkah Sehat, dan PT Next Level Medical. Dari merek tersebut, Wizprep tidak mendapat rekomendasi WHO. 

Doni mengatakan unit alat deteksi yang dikembalikan didistribusikan ulang ke laboratorium yang cocok. Jika masih berlebih, kelebihannya dikembalikan ke perusahaan pemasok dengan membayarnya kembali. “Perusahaan bertanggung jawab dalam proses penarikan dan redistribusinya,” katanya. 

Namun, berdasarkan penelusuran, dus-dus unit kit merek Sansure terlihat menumpuk di gudang penyimpanan milik BNPB yang berada di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Saat dimintai konfirmasi, Kamis, 11 Maret lalu, BNPB tak dapat menunjukkan redistribusi telah dilaksanakan sesuai dengan rekomendasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

Sedangkan PT Mastindo, yang mendatangkan Sansure, menyatakan tak mengetahui informasi tentang banyak negara yang melaporkan penarikan alat tes ini karena tingkat akurasinya rendah. “Kami mendatangkan alat ini berdasarkan penunjukan BNPB,” ucap Djoko Suyanto, perwakilan sementara manajemen PT Mastindo. “Pemahaman kami, BNPB sudah mengecek dan mengetes alat PCR tersebut.” Kami sudah mengubungi Sansure Biotech untuk meminta konfirmasi, namun perusahaan yang berbasis di Hunan, Cina, ini tak merespons. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Agung Sedayu dan Erwan Hermawan berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bermasalah di Mana-mana". Liputan ini hasil kolaborasi dengan Klub Jurnalis dan ICW.

Dini Pramita

Dini Pramita

Dini Pramita saat ini adalah reporter investigasi. Fokus pada isu sosial, kemanusiaan, dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus