Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Kisruh Pengadaan Alat Tes Covid-19 di BNPB

Potensi kerugian pembelian reagen mencapai Rp 170 miliar. Perusahaan kolega Kepala BNPB Doni Monardo mendapat porsi terbesar.

13 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Reagen kit merk Sansure Biotech yang dikembalikan oleh pihak rumah sakit menumpuk di Gudang H BGR Kelapa Gading, Jakarta. TEMPO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pengadaan alat tes Covid-19 oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana serampangan.

  • Puluhan rumah sakit mengembalikan ratusan ribu alat tes Covid-19 bantuan BNPB sepanjang Agustus-September 2020.

  • Rekan dekat Kepala BNPB Doni Monardo mendapat proyek pengadaan bernilai ratusan miliar rupiah.

KEGEMBIRAAN Antonius Oktavian hanya berlangsung sesaat. Pada pertengahan Agustus 2020, Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Papua ini menerima 12.997 unit alat deteksi virus corona. Kedatangan reagen itu, bagi Oktavian, seolah-olah pucuk dicita ulam tiba: ia kehabisan reagen sementara jumlah pasien Covid-19 di Papua terus menanjak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun kegembiraannya sirna begitu ia menguji sampelnya ke spesimen positif Covid-19. Reagen Sansure buatan Cina itu malah menginformasikan hasilnya negatif. Bahan kimia itu juga menunjukkan hasil sebaliknya dari spesimen-spesimen yang mengandung virus pneumonia ini. “Kan, ajaib,” kata Oktavian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Daripada ragu dan khawatir salah diagnosis, Oktavian mengembalikan semua alat deteksi itu ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang mengirimkannya. Oktavian dan stafnya kebingungan menangani pasien dengan gejala Covid yang membeludak dan keinginan menelusuri penularan dengan menetapkan sebanyak mungkin tes.

Menunggu reagen pengganti akan makan waktu. Maka Provinsi Papua memutuskan membeli sendiri reagen ke Singapura. Mereknya Fortitude karena spesifikasinya cocok dengan alat-alat uji kimia laboratorium dinas kesehatan. “Tapi pengadaan juga butuh waktu,” ucap Oktavian. “Kami sempat kehabisan reagen sehingga disorot banyak orang. Kami dianggap tak peduli kondisi Papua.”

Petugas memasukkan sampel swab atau usap nasofaring ke dalam wadah di Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Dok II Jayapura, Papua, Senin (1/2/2021). ANTARA FOTO/Indrayadi TH

Di tengah kelimpungan itu, seorang pasien yang diduga terinfeksi virus corona meninggal. Sampel dahaknya belum diuji karena masih menunggu reagen Singapura. Karena takut menularkan virus, pasien itu dikubur dengan protokol Covid. Begitu reagen datang dan spesimen pasien itu diuji, ternyata hasilnya negatif. “Keluarga protes dan minta makam dibongkar,” ujar Oktavian.

Rupanya, kekisruhan tak hanya terjadi di Jayapura. Dari ratusan dokumen yang diterima Tempo, setidaknya ada 78 laboratorium dan rumah sakit di 29 provinsi yang mengembalikan alat deteksi virus ke BNPB. Reagen polymerase chain reaction (PCR), ribonucleic acid (RNA), ataupun viral transport medium (VTM) tak bisa dipakai.

Sepanjang Juli-September 2020, ada 498.644 peralatan tes virus yang kembali ke BNPB. Dari jumlah tersebut, sebanyak 483.819 unit adalah reagen merek Sansure seperti yang diterima Papua. Sisanya merek Alphagen, Liferiver, Intron, Wizprep, dan Kogene. Dari enam merek ini, hanya dua merek pertama yang direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam surat edaran mereka pada 20 April 2020.

Tempo mengecek sejumlah rumah sakit yang tercatat mengembalikan reagen. Laboratorium Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, salah satunya. Pengelola laboratorium mengembalikan 12.624 reagen RNA Sansure. “Reagen itu tidak sesuai dengan mesin yang kami punya,” tutur Kepala Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran USU Lia Kesumawati.

Menurut Lia, BNPB tak pernah bertanya spesifikasi mesin laboratorium USU sebelum mengirimkan reagen. Sebab, reagen Sansure, kata Lia, tergolong close kit atau harus dipakai dengan pasangannya. Sementara itu, mesin laboratorium USU tak didesain kompatibel dengan Sansure.

Antonius Oktavian, November 2019. https://twitter.com/kempanrb

Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Yogyakarta juga mengembalikan 9.552 unit Sansure. Menurut Irene, Kepala BBTKLPP, mereka hanya memakai 48 unit alat deteksi yang ternyata tak berfungsi di mesin laboratorium. “Sisanya kami kembalikan,” ujarnya. Dari Yogyakarta secara keseluruhan tercatat pengembalian reagen sebanyak 26.304 unit.

Dari Jawa Timur, sepuluh rumah sakit dan laboratorium juga mengembalikan reagen ke BNPB sebanyak 49.481 unit pada 3 September 2020. Koordinator Tata Usaha BBTKLPP Jawa Timur Joko Kasihono beralasan reagen BNPB tidak memenuhi standar. Sementara itu, laboratorium Rumah Sakit Universitas Airlangga, Surabaya, mengembalikan 1.850 reagen PCR merek Liferiver pada 3 September 2020.

Berdasarkan dokumen surat pengembalian, Kepala Rumah Sakit Universitas Airlangga Nasronudin mengatakan ia mengembalikan reagen Liferiver karena bahan kimianya mendekati masa kedaluwarsa pada 19 Oktober 2020. “Kami kembalikan supaya bisa segera didistribusikan ke laboratorium lain,” ujarnya saat dimintai konfirmasi pada Jumat, 12 Maret lalu.

Dari Provinsi Banten tercatat ada pengembalian 12.952 unit reagen pada 19 dan 26 Agustus 2020. Alasannya, menurut Kepala Laboratorium Terpadu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Erike Anggraini, sama dengan Yogyakarta: tak cocok dengan mesin laboratorium.

Jakarta adalah provinsi yang paling banyak mengembalikan reagen BNPB. Dari 13 rumah sakit, ada 85.168 unit reagen yang dikirim balik atau meminta BNPB mengambilnya kembali. Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Laboratorium mengembalikan 4.800 unit karena menilai akurasinya rendah. Sebaliknya, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo cocok memakai Sansure.

Masalahnya, dalam pengiriman kedua pada September 2020, BNPB malah mengirim reagen merek Wizprep. RSCM, kata Kepala Laboratorium Patologi Klinik Nuri Dyah Indrasari, tak memakai Wizprep karena ekstraksinya berbelit-belit sehingga pemeriksaan spesimen makan waktu enam jam dibanding Sansure, yang hanya empat jam. “Jadi kami minta BNPB menarik lagi reagen Wizprep dan menggantinya dengan Sansure,” ucap Nuri.

Tunggu punya tunggu, staf BNPB tak kunjung datang mengambil reagen Wizprep. Menurut Nuri pada Kamis, 4 Maret lalu, reagen tersebut masih menumpuk di gudang RSCM. Sewaktu Tempo mengecek gudang BNPB di Kelapa Gading, Jakarta Utara, dus berisi reagen yang dikembalikan juga terlihat menumpuk. Kata petugas di sana, hingga Maret 2021, masih ada pengembalian reagen.

Kepala BNPB Doni Monardo tak memungkiri ada ratusan ribu reagen yang dikembalikan rumah sakit dan laboratorium. Menurut dia, kekisruhan itu ditemukan tim inspektorat BNPB yang kemudian ditindaklanjuti dengan audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap tujuh perusahaan penyedia reagen-reagen tersebut. “Perusahaan pemasok Sansure sudah mengembalikan uang Rp 7 miliar,” kata Doni.

Menurut Doni, begitu ada laporan pengembalian, perusahaan yang merek reagennya dikirim balik wajib membiayai pengembalian dan mendistribusikan ulang kepada rumah sakit atau laboratorium yang memiliki mesin yang cocok. Ketika dimintai konfirmasi soal reagen Wizprep masih menumpuk di gudang RSCM dan reagen Sansure di Kelapa Gading, Doni hanya mengatakan, “Seharusnya informasinya sampai ke BNPB.”

Pemasok reagen Sansure adalah PT Mastindo Mulia, salah satu perusahaan milik taipan Prajogo Pangestu. Menurut Agus Salim Pangestu, anak Prajogo yang mengurus perusahaan itu, ia diminta BNPB menyediakan 500 ribu reagen Sansure setelah menghibahkan 50 ribu reagen sebagai bagian dari kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Kontrak yang ditandatangani dalam penunjukan 22 April 2020 itu senilai Rp 172,5 miliar. Pada hari yang sama, perusahaan itu memasukkan kategori usaha perusahaan sebagai penyalur alat laboratorium dan kesehatan. Aslinya Mastindo adalah perusahaan bidang keuangan, asuransi, dan griya tawang.

Dalam jawaban tertulis, Djoko Suyanto, pengurus Mastindo, mengatakan mereka tidak tahu bahwa Sansure bermasalah dan tak cocok dengan alat-alat laboratorium di hampir semua rumah sakit. “Kami hanya menjalankan penunjukan BNPB,” tutur Djoko. “Pemahaman kami, BPNB sudah mengujinya.”

Ketika ditanyai soal pengembalian Rp 7 miliar sebagai ongkos redistribusi, Djoko juga mengaku tidak tahu. Hingga kini perusahaannya tak pernah mengurus pengembalian atau menerima reagen yang dikembalikan rumah sakit. “Uang Rp 7 miliar adalah pengembalian selisih kurs pembelian reagen dan selisih volume PCR kit,” katanya.

Sengkarut pengadaan reagen ini menjadi temuan BPKP. Dalam surat atensi kedua hasil audit atas tata kelola pengadaan barang di BNPB untuk pengembalian sebelum 4 Agustus 2020 disebutkan bahwa pengadaan PCR kit tak melalui uji coba kualitas terhadap semua produk sehingga tak cocok dengan alat-alat yang ada. Total jumlah reagen yang tidak bisa dipakai menurut perhitungan BPKP mencapai 330.582 unit senilai Rp 39,2 miliar.

Menurut Doni Monardo, di awal masa pandemi semua orang kelimpungan. Jumlah pasien Covid yang melonjak dan permintaan Presiden Joko Widodo, yang awalnya longgar menangani pandemi menjadi perintah mengetes 10 ribu spesimen sehari, membuat BNPB kewalahan mencari reagen.

Dunia yang sedang dikepung virus juga berebut mendapatkan reagen. Surat Edaran Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun 2020 pada 23 Maret 2020 melapangkan jalan Doni mendapatkan reagen. Aturan di masa darurat itu mengizinkan pengadaan barang tanpa tender alias penunjukan langsung.

Doni, yang mengumpulkan para ahli, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, hingga pejabat Kementerian Kesehatan di Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang ia pimpin, kemudian menunjuk delapan perusahaan penyedia reagen. PT Mastindo, yang awalnya menghibahkan Sansure, diminta menyediakannya hingga 10 kali lipat.

Pemerintah melalui Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 menerima bantuan satu unit mobil laboratorium Polymerase Chain Reaction (PCR) senilai Rp4,1 miliar dari PT Mastindo Mulia untuk penanganan COVID-19. Twitter.com/BNPB Indonesia

Deputi Bidang Logistik dan Peralatan BNPB Prasinta Dewi menambahkan, basis penunjukan adalah surat edaran WHO dan validasi perusahaan. Jika perusahaan memiliki kategori penyalur alat kesehatan dan bisa menyediakan reagen, validasi akan meloloskannya. “Kalau syarat tak cukup, proses tidak berlanjut,” tuturnya.

Masalahnya, dari sejumlah merek, ada yang tak direkomendasikan WHO menurut surat edaran 20 April 2020, seperti Intron, Wizprep, Citoswab, dan Cellpro.

Tak hanya mendapati kekisruhan dalam penunjukan langsung, BPKP juga menemukan kebijakan distribusi reagen di daerah tidak dikoordinasikan dengan Gugus Tugas pusat. Akibatnya, distribusi tak disertai administrasi memadai sehingga monitoring stok reagen susah terawasi.

Dari konfirmasi perwakilan BPKP, terdapat selisih data distribusi antara BNPB dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan sebanyak 212.537 unit. Dalam surat yang sama, BPKP memberikan sejumlah rekomendasi kepada Deputi Bidang Logistik dan Peralatan BNPB, antara lain mengidentifikasi semua reagen yang tidak bisa digunakan, lalu mendistribusikan ulang ke laboratorium yang bisa memakainya. Agaknya, dengan penumpukan reagen di RSCM dan gudang Kelapa Gading, rekomendasi ini belum dilakukan BNPB.

Kepala Biro Hukum dan Komunikasi BPKP Eri Satriana tidak banyak berkomentar soal temuan lembaganya. Ia hanya membenarkan isi dokumen surat BPKP ke BNPB tersebut. “Surat itu benar dari BPKP dalam rangka tugas evaluasi yang dimintakan oleh pihak terkait,” ujarnya saat ditemui di kantornya pada Selasa, 9 Maret lalu.

Lain BPKP lain Indonesia Corruption Watch (ICW). Lembaga swadaya masyarakat antikorupsi yang menelusuri kisruh pengadaan reagen ini menemukan jumlah reagen yang dikembalikan jauh lebih banyak. Para peneliti ICW menghitung jumlah reagen dari semua surat pengembalian. Menurut temuan mereka, sepanjang April-September 2020, reagen yang dikembalikan mencapai 498 ribu unit senilai Rp 169,2 miliar.

Distribusi reagen pada periode itu merupakan pengadaan pada akhir April 2020. Pada pengadaan waktu itu, BNPB menganggarkan Rp 549 miliar untuk pembelian 1.956.664 unit reagen PCR, RNA, dan VTM berbagai merek.

Selain PT Mastindo Mulia, perusahaan lain yang paling banyak mendapatkan proyek adalah PT Trimitra Wisesa Abadi. Sama seperti Mastindo, pada 22 Maret 2020 perusahaan milik Budiyanto A. Gani ini juga menambahkan kategori penyalur alat kesehatan dalam akta perusahaan. Sebelumnya, mereka bergerak dalam pengadaan mesin dan menjadi pengembang perumahan.

Ketika ditanyai soal penambahan kategori tersebut, Budiyanto mengatakan bahwa itu adalah naluri bisnisnya karena reagen langka dan BNPB sedang membutuhkannya. Menurut dia, ada 80 persen perusahaan yang mengurus perubahan kategori agar bisa ikut menangguk kue darurat Covid-19. Dengan anggaran Rp 3,3 triliun, BNPB punya kewenangan menyediakan alat-alat tes Covid untuk menelusuri penularan.

Pada periode pengadaan April-September 2020, Trimitra mendapatkan enam paket pengadaan reagen senilai Rp 117 miliar untuk 620.632 unit merek Intron, Beaver, Toyobo, Cellpro, Citoswab, dan Liferiver. Dari enam produk tersebut, hanya Liferiver dan Toyobo yang mendapatkan rekomendasi WHO pada 20 April 2020.

Peneliti ICW Wana Alamsyah. ANTARA/Benardy Ferdiansyah

Meski beberapa mereknya bermasalah, PT Trimitra kembali mendapatkan penunjukan kedua pada Oktober-Desember 2020. Paket proyeknya bertambah menjadi 14. Hebatnya lagi, Trimitra satu-satunya perusahaan yang luput dari pemeriksaan BPKP kendati reagen Intron yang dipasoknya dikembalikan rumah sakit.

Jadi total reagen yang dipasok Trimitra mencapai 4.632.136 unit senilai Rp 310 miliar. Jika ditotal dari pengadaan pertama dan kedua, nilai proyek Trimitra mencapai Rp 427 miliar atau 49,5 persen dari seluruh pengadaan reagen di BNPB sepanjang tahun lalu.

Di kalangan pengusaha dan staf BNPB, Budiyanto A. Gani dikenal sebagai orang dekat Doni Monardo. Budiyanto tak menyangkalnya. “Saya kenal Pak Doni sejak 2014,” ucapnya. Karena pertemanan itu, ia kerap didatangi sesama pengusaha agar dibukakan jalan mendapatkan penunjukan alat uji virus corona di BNPB. Namun ia menolaknya.

Soal nilai proyek BNPB paling besar, Budiyanto merendah. Menurut dia, nilai besar itu dari sudut pandang orang yang iri saja. Lagi pula, kata dia, penunjukan perusahaannya bukan karena ia berteman dengan Doni. “Perusahaan saya paling siap,” ujarnya.

Doni menjelaskan hubungannya dengan Budiyanto, juga anggota keluarganya yang menjalin bisnis dengan Budiyanto, tapi menolak pernyataannya dikutip. “Doni Monardo tak pernah terlibat dalam pengadaan,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Dini Pramita, Erwan Hermawan, Nurhadi dari Surabaya, Alyaa Alhadjri dan Hariz Mohamad dari Malaysia, Angel Pago dari Filipina). Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mudarat Pengadaan Darurat". Liputan ini terbit atas kerja sama Tempo dengan Klub Jurnalis Investigasi dan ICW.

Agung Sedayu

Agung Sedayu

Alumnus Universitas Jember, Jawa Timur. Menekuni isu-isu pangan, kesehatan, pendidikan di desk Investigasi Tempo.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus