Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah perusahaan HPH di Papua melanggar ketentuan kuota pengolahan kayu.
Juga ketidaksinkronan pembayaran provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi.
Pemerintah Papua Barat memakluminya.
SUDAH sebulan kapal Bahtera Ana 2 terparkir di pelabuhan Mandewa di Kampung Gaka, Kaimana. Kapal yang bersandar di pelabuhan PT Prabu Alaska, perusahaan pemilik hak pengusahaan hutan (HPH) di Papua Barat, berkapasitas 4.000 meter kubik itu hanya terisi kayu di buritan belakang yang membuat posisinya miring. “Produksi terhambat, hujan terus,” kata Rante, pegawai Prabu Alaska, pada akhir April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penjelasan Rante bertolak belakang dengan pernyataan Manajer Hubungan Masyarakat PT Prabu Alaska Dirgan Laberis. Ia mengatakan perusahaannya belum menjual kayu yang mereka panen pada 2020 dan 2021 karena pemenuhan hak masyarakat adat berupa kompensasi atas kayu di tanah ulayat belum selesai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kompensasi kepada masyarakat adat adalah satu syarat penting perusahaan pemilik HPH di Papua untuk mendapatkan sertifikat legalitas kayu. Di Papua Barat, syarat ini diperkuat peraturan gubernur yang menetapkan tarif kompensasi tiap meter kubik kayu dari pohon di lahan masyarakat adat. Perusahaan baru bisa menjual kayu mereka jika mengantongi sertifikat legalitas kayu dari lembaga sertifikasi.
Jika pasokan kayu tak terhambat cuaca buruk, menurut Rante, kapal Bahtera Ana 2 sudah berlayar mengirimkan 4.000 meter kubik kayu merbau ke Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya. Sebelum diekspor ke Amerika Serikat, Cina, Australia, dan India, ribuan kubik kayu tersebut diolah di pabrik-pabrik pengolahan di Jawa Timur.
Menurut laporan suplai kayu di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ada belasan perusahaan yang menerima langsung kayu Prabu Alaska sepanjang 2019-2020. Pada 2019, ada CV Jasa Mitra Abadi, PT Alam Lestari Jaya Salbach, PT Aneka Wood Profil Indah, PT Hutan Lestari Mukti Perkasa, PT Iswa Timber, PT Korindo Abadi, PT Mitra Usaha Raya, dan PT Nusantara Timber Pratama.
Pada 2020, Prabu Alaska mengirim kayu ke CV Jasa Mitra Abadi, PT Iswa Timber, CV Surabaya Trading & Co, PT Alam Beserta Kita, PT Alam Lestari Jaya Salbach, PT Balikpapan Forest Industries, PT Kayumas Podo Agung, PT Nusantara Timber Pratama, dan PT Gema Lestari Indonesia. Kecuali PT Balikpapan, semua perusahaan ini berkantor di Jawa Timur.
Kayu yang akan dimuat ke Kapal Tongkang di Pelabuhan Prabu Alaska, Kaimana, Papua Barat, April 2021. TEMPO/Erwan Hermawan
Dari 86.086 meter kubik kayu yang diproduksi Prabu Alaska pada 2019, hanya 6.202 meter kubik atau 7,20 persen yang dikirim ke industri pengolahan di Papua. Pada tahun berikutnya, malah semua kayu sebanyak 96.226 meter kubik mengalir ke luar Papua, ke Jawa dan Kalimantan.
Pengiriman kayu ke luar Papua ini melanggar Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 51 Tahun 2018 yang mengatur perusahaan kayu hanya boleh mengirim separuh volume kayu ke luar Papua karena separuhnya lagi harus diolah oleh industri kayu Papua untuk mendorong perputaran ekonomi daerah. Pelanggaran atas aturan ini adalah denda sepuluh kali provisi sumber daya hutan (PSDH) yang dihitung dari kelebihan volume kayu.
Tarif PSDH untuk merbau Rp 185 ribu per meter kubik, 10 persen dari patokan harga jualnya, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.64/2017. Maka, pada 2019, karena volume kayu yang tak dikirim ke industri kayu Papua sebanyak 37.748,16 meter kubik, Prabu Alaska seharusnya membayar denda kepada Pemerintah Provinsi Papua Barat Rp 6,9 miliar. Pada 2020 pun semestinya lebih besar: Rp 8,9 miliar.
Direktur Prabu Alaska Adi Gunawan menolak mengomentari pelanggaran ini. Melalui Santi, sekretarisnya, ia mengatakan sedang berfokus membenahi perusahaannya. Adapun Kepala Dinas Kehutanan Papua Barat Hendrik Runaweri mengatakan Prabu Alaska diizinkan menjual semua kayu ke luar Papua karena sedang membangun industri pengolahan di Fakfak. Di Pulau Papua, industri besar kayu hanya ada di Provinsi Papua milik Korindo Group dan PT Sinar Wijaya. “Gubernur sudah memberikan izin menjual kayu lebih dari 50 persen ke luar Papua,” ucap Hendrik.
Pelanggaran kuota penjualan kayu ke luar Papua tak hanya dilakukan Prabu Alaska. PT Teluk Bintuni Mina Agro Karya, yang menguasai 237.750 hektare di Papua Barat, juga mengirim 56,5 persen kayunya ke industri luar Papua pada 2020. Manajemen Teluk Bintuni berdalih kelebihan kuota kayu penjualan 2020 berasal dari produksi tahun sebelumnya. “Penjualan log kami antarpulau tidak lebih 50 persen,” tutur Direktur PT Teluk Bintuni Pakat Ginting.
Urusan ingkar kuota ini membuat pembayaran pajak kayu perusahaan pemilik HPH turut bermasalah. Ada dua jenis pajak kayu yang harus dibayar perusahaan tersebut. Selain PSDH, ada pungutan dana reboisasi untuk menggantikan deforestasi di tempat lain. Sementara tarif PSDH dalam rupiah, dana reboisasi dalam dolar Amerika Serikat.
Basis kedua pajak ini adalah kubikasi kayu. Data PSDH dan dana reboisasi berbasis dokumen produksi dan data penjualan beberapa perusahaan pemilik HPH di Papua tak sinkron. Prabu Alaska, misalnya, hanya membayar PSDH dan dana reboisasi untuk 66.666 meter kubik kayu. Padahal produksi kayu 2020 perusahaan ini sebanyak 96.266 meter kubik.
Jika tarif PSDH Rp 2.200-920.000 per meter kubik dan tarif dana reboisasi US$ 4-16, kurang bayar Prabu Alaska untuk dua jenis pungutan ini pada tahun lalu sebesar Rp 1,8-34 miliar. Ini baru dari satu perusahaan. Dana reboisasi dipungut pemerintah Indonesia sejak 1998 sebagai usaha menyeimbangkan jumlah pohon di hutan-hutan Indonesia.
Pengecekan silang pada PSDH dan dana reboisasi PT Teluk Bintuni dan PT Tunas Timber Lestari, anak usaha korporasi asal Korea Selatan, Korindo Group, juga tak sinkron. Pada 2020, PT Teluk Bintuni memproduksi kayu 114.228 meter kubik, tapi hanya membayar PSDH dan dana reboisasi untuk 111.831 meter kubik. Begitu juga PT Tunas Timber, yang kurang bayar 5.000 meter kubik.
Budi Nugraha, konsultan Prabu Alaska yang menjadi penanggung jawab kantor di Kaimana, berdalih kurang bayar itu terjadi karena ada penjualan kayu limpahan dari produksi 2019. Sedangkan Pakat Ginting dari Teluk Bintuni mengklaim sudah mengecek data pembayaran pajak ke sistem data KLHK. “Kami pastikan tidak ada kurang bayar,” katanya.
Nyatanya, problem-problem dalam pemanenan kayu dari blok tebangan hingga pengiriman kayu ke industri tak mempengaruhi aliran kayu dari di Papua. Kunci verifikasi legalitas kayu ada di lembaga sertifikasi. Masalahnya, para konsultan lembaga ini dibayar oleh perusahaan ketika mengaudit operasi mereka.
Konflik kepentingan ini tak kunjung terselesaikan oleh Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), yang digadang-gadang sebagai sistem unggul pencegah kayu ilegal. Nama SVLK bahkan kini sudah berganti menjadi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian. Tanpa penempatan lembaga sertifikasi independen, bolong besar SVLK akan abadi.
Sebab, sejak keluar dari pelabuhan angkut, kayu dari lahan konsesi tiap perusahaan pemegang HPH akan terus mengalir hingga industri pengolahan di Jawa dan Kalimantan. Dari Gresik dan Surabaya, sebagian besar kayu Prabu Alaska dikirim ke Cina dan India.
Iswa Timber, misalnya, mengekspor 5.567 meter kubik mebel merbau ke India dan Cina dengan nilai ekspor sebesar US$ 3,9 juta atau sekitar Rp 55,5 miliar. Di pabrik PT Iswa di Desa Segoro Madu, Gresik, tampak gelondongan kayu besar tergeletak di halamannya. Latif, seorang petugas keamanan, tak mengizinkan Tempo menemui pemimpin perusahaan pada Selasa, 2 November lalu. Latif mengatakan bosnya tak ada di kantor. “Manajemen sudah menerima surat Tempo,” ucapnya. “Nanti kami hubungi.”
Selain diangkut ke Jawa Timur, kayu dikirim Prabu Alaska untuk memenuhi kebutuhan PT Balikpapan Forest Industries (BFI) pada 2020 sebanyak 3.365,33 meter kubik. Anak usaha Korindo Group di Kalimantan Timur ini menjadi salah satu penyuplai kayu untuk PT Sumitomo Forestry Indonesia. “Kami sudah mengecek kayu yang kami terima dari Indonesia, sudah mengikuti SVLK,” ujar Yuuko Iizuka, Manajer Umum Departemen Kelestarian Sumitomo Forestry di Jepang.
Seperti disebutkan Kepala Dinas Kehutanan Papua Barat Hendrik Runaweri, industri pengolahan kayu di Papua antara lain dimiliki Korindo Group di Asiki, Boven Digoel. Selain menerima kayu dari luar grup, PT Korindo Abadi menampung kayu produksi anak-anak usaha perseroan. Kayu olahan lalu diekspor ke banyak negara, terutama ke Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Oman, dan Qatar. Sebagian kecil kayu dikirim ke Korea Selatan, Belgia, dan Amerika Serikat.
Sepanjang 2019, Korindo Abadi menerima semua kayu produksi PT Tunas Timber Lestari sebanyak 76.699 meter kubik. Juga sebagian kayu dari PT Inocin Abadi, yang memproduksi 51.154,6 meter kubik. Dalam laporannya ke KLHK, Inocin mengklaim sebagian kayu dipasok kepada sejumlah perajin di Boven Digoel dan Merauke. Karena itu, dalam dokumen perusahaan pada 2019-2020 Korindo mengklaim semua kayu mereka diolah di industri Papua.
Menurut Manajer Advokasi Yayasan Pusaka Bentala, Tigor Hutapea, klaim Korindo memasok kayu ke perajin tergolong janggal karena perajin kecil di dua kabupaten itu lebih banyak menerima kayu dari masyarakat, bukan perusahaan pemegang HPH besar semacam anak-anak usaha Korindo. “Pengusaha lokal mendekati pemilik ulayat secara langsung untuk membeli kayu. Mereka akan mendatangkan pekerja untuk menebang, mengolah menjadi kayu balok, dan menjualnya ke kota.”
Kayu yang akan dimuat ke Kapal Tongkang di Pelabuhan Prabu Alaska, Kaimana, Papua Barat, April 2021. TEMPO/Erwan Hermawan
Kecurigaan Tigor dikonfirmasi mantan petugas bagian pelayaran Korindo Group di Asiki, Hasan—bukan nama sebenarnya. Laki-laki 51 tahun ini mengatakan perusahaannya memasok kayu ke anak-anak usaha lain di luar Papua, seperti di Kalimantan dan Maluku. “Tidak dimasukkan ke dokumen resmi,” tuturnya.
Pengakuan Hasan dikonfirmasi sejumlah perajin kayu di Boven Digoel dan Merauke. Adi Muslimin, pemilik usaha mebel dan furnitur di Merauke, mengaku tak pernah memperoleh kayu dari Korindo atau perusahaan lain. “Saya tidak pernah mendengar ada yang mendapatkan kayu dari Korindo,” ujarnya. “Kami mendapatkannya dari masyarakat pemilik ulayat.”
Ketua marga Kinggo dari suku Mandobo, Petrus Kinggo, mengatakan hal yang sama. Masyarakat, ucap dia, bernegosiasi dengan para pengusaha kayu kecil dan menengah. Cara ini, Petrus menjelaskan, membuat masyarakat memilih pohon dengan jenis dan ukuran yang siap tebang saja untuk dijual ke perajin mebel.
Di Papua, aliran kayu setelah penebangan ini penting karena Gubernur Papua menerbitkan peraturan nomor 18 tahun 2010 yang melarang semua kayu dari hutan Papua diolah industri di luar pulau ini. Pelanggaran atas ketentuan ini, menurut pasal 18, adalah pencabutan izin usaha.
Manajer Hubungan Masyarakat Korindo Group Yulian Mohammad Riza mengatakan operasi semua perusahaan telah sesuai dengan regulasi pemerintah Indonesia dan Papua. Ia mengakui perusahaannya menerima kayu dari Prabu Alaska. “Tapi sudah memenuhi aspek legalitas yang dibuktikan dengan SVLK dan sertifikat pengelolaan hutan produksi lestari,” katanya melalui pernyataan tertulis pada 29 Juli lalu. “Semua kayu yang kami produksi diekspor secara legal, sesuai dengan ketentuan sertifikasi V-Legal.”
Di luar dua perusahaan sedarah tersebut, Korindo Abadi mendapat pasokan kayu dari PT Wukirasari, anak usaha Sinar Wijaya Group. Wukirasari mengelola lahan konsesi 116.320 hektare hingga 2052. Pemilik Sinar Wijaya mengambil alih perusahaan ini dari Ting Ting Hung alias Paulus George Hung, yang masuk daftar hitam pembalakan liar semasa Menteri Kehutanan M.S. Kaban pada 2006.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo