Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Cuci Piring Kereta Cepat

Pemerintah menyiapkan kucuran anggaran negara untuk menyelamatkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang terancam mangkrak. Ada dugaan salah perencanaan proyek dan penggelembungan biaya konstruksi.

6 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Modifikasi rencana proyek kereta cepat Jakarta-Bandung digeber.

  • Perencanaan dan pelaksanaan proyek sembrono berbuah ongkos yang membengkak.

  • Presiden Joko Widodo

DI bawah banjuran hujan bulan November, Tonot Partadisastra berusaha menunjukkan persimpangan antara rel kereta cepat Jakarta-Bandung dan ujung jalan kawasan Kota Deltamas, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Dua kawasan itu dipisahkan portal bambu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sore itu, Kamis, 4 November lalu, derasnya hujan menghalangi laju minibus rombongan Tonot untuk menyeberang ke bibir rel, yang tiang-tiangnya sudah terpancang. “Itu sudah rel kami. Itu pekerja proyek kami juga,” kata Tonot kepada Tempo sambil menunjuk arah rel dan dua pria berpayung helm proyek yang berjalan sambil berhujan-hujan dari kawasan Deltamas menuju proyek rel kereta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kawasan Kota Deltamas dan calon stasiun kereta cepat Jakarta-Bandung di Karawang, Jawa Barat, cukup dekat, sekitar 3 kilometer. Tapi jarak sedekat itu tak berarti. Tidak ada akses yang menghubungkan langsung keduanya.

Tonot, Manager Integration Development PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), mengajak Tempo ke sana untuk menunjukkan bahwa di titik itulah mereka akan membangun jalan penghubung antara Deltamas dan stasiun. Jalan itu akan menyisir sisi rel, menyeberangi Ci Beet, anak Sungai Citarum yang menjadi batas Karawang dan Bekasi, dan berakhir di ujung tanah Deltamas. “Karena penghuni Deltamas itulah konsumen potensial kereta cepat,” ujar Tonot.

Tonot adalah wajah manajemen baru KCIC, yang sedang mengutak-atik megaproyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Perencanaan yang selama ini ditengarai sembrono, ditambah asumsi keuangan yang agresif, membuat proyek rancangan Menteri Badan Usaha Milik Negara pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo periode 2014-2019, Rini Soemarno, itu terancam pampat.

Presiden Joko Widodo bersama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri BUMN Erick Thohir, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, serta Direktur Utama PT KCIC Dwiyana Slamet Riyadi meninjau pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di Bekasi, Jawa Barat, 18 Mei 2021. presiden.go.id/BPMI Setpres/Lukas

Selain itu, arus penumpang diprediksi jauh di bawah target ketika kelak sepur cepat beroperasi komersial. Posisi empat stasiunnya jauh dari hunian calon penumpang. Makanya PT Kereta Api Indonesia (Persero), yang kini memimpin konsorsium badan usaha milik negara dalam proyek ini sekaligus menggawangi KCIC, menyesuaikan sejumlah perencanaan agar proyek bisa selesai dan layak secara keekonomian. Setidaknya modal investasi proyek bisa balik dalam waktu 38,5 tahun, seperti proyeksi pemerintah saat ini.

KCIC mulanya memimpikan Stasiun Karawang, yang berada di tengah sawah Desa Wanakerta, Telukjambe Barat, bakal menjadi kawasan terpadu berisi hunian dan area komersial. Gara-gara kekurangan dana dan membengkaknya biaya proyek konstruksi, bunga tidur itu dikubur dulu. Tonot, yang belum lama ini direkrut manajemen baru KCIC untuk merekayasa penataan stasiun dan kawasan di sekitarnya, harus putar otak. Sebelum bergabung pada April lalu, Tonot mengerjakan perencanaan teknik dan desain proyek Mass Rapid Transit Jakarta.  

Tonot sudah punya rencana selain membangun akses stasiun ke Deltamas: membikin jalan baru sepanjang 1 kilometer dari Stasiun Karawang menuju kawasan industri Artha Industrial Hill yang dikembangkan grup Artha Graha Network milik Tomy Winata dan Karawang Jawa Barat Industrial Estate milik Lippo Group. “Mereka itu juga konsumen kereta cepat,” ucap Tonot.

Rencana lain pun sudah menunggu, seperti meminta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat membuka pintu baru di jalan tol Jakarta-Cikampek pada kilometer 41 yang akan disambungkan ke stasiun. Rencana-rencana ini, membangun akses dari dan ke stasiun-stasiun kereta cepat, rupanya baru terpikirkan setelah PT Kereta Api Indonesia ditunjuk memimpin konsorsium empat BUMN, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia, yang patungan dengan konsorsium BUMN Cina di KCIC.

•••

UPAYA menyelamatkan proyek kereta cepat Jakarta Bandung sebenarnya dimulai pada 2019. Kala itu mulai muncul indikasi keterlambatan penyerahan lahan siap bangun dari PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) sebagai pelaksana pembebasan lahan kepada High-Speed Railway Contractor Consortium (HSRCC), yang ditunjuk sebagai kontraktor perencanaan teknik, pengadaan, dan konstruksi (EPC) kereta cepat Jakarta-Bandung. Konsorsium EPC ini terdiri atas PT Wijaya Karya (Persero) Tbk yang kebagian 30 persen pekerjaan konstruksi dan konsorsium Cina pimpinan Sinohydro yang mendapat 70 persen kontrak EPC, seperti pembangunan jembatan hingga terowongan.

Pekerja menyelesaikan pembangunan Stasiun Kereta Cepat Indonesia China yang terintegrasi dengan LRT di kawasan Halim, Jakarta, 4 November 2021. Tempo/Tony Hartawan

Pada Juli itu, masih di tahun yang sama, rapat digelar di kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi untuk membahas percepatan proyek. Masalah baru muncul tak lama kemudian: HSRCC mengajukan penyesuaian harga EPC yang berpotensi membikin biaya proyek membengkak dari rencana awal senilai US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 86,9 triliun dengan kurs saat ini. Kereta Cepat Indonesia China akhirnya menunjuk Beijing Jingtie Foreign Economic & Technical Cooperation Co Ltd mengkaji rencana pengelolaan operasi dan indikasi pembengkakan biaya.

Hasilnya mulai terlihat enam bulan kemudian. Pada Januari 2020, KCIC memaparkan estimasi pembengkakan biaya proyek mencapai US$ 2,28 miliar—sekitar Rp 32,6 triliun. Tepat setahun kemudian, pada Januari 2021, HSRCC mengklaim pembengkakan biaya mencapai US$ 2 miliar atau sekitar Rp 28,6 triliun. Faktor terbesar melarnya biaya itu tentu saja perubahan desain yang memaksa pembebasan sejumlah lahan baru. 

Mulanya, trase sepur cepat dirancang mengikuti kelok jalan tol Jakarta-Bandung. Baru belakangan disadari, sepur berkecepatan 350 kilometer per jam tidak mungkin menikung patah di persimpangan tol Jakarta-Cikampek dan jalan tol Cipularang.

Trase akhir digeser, dari sisi jalan tol Jakarta-Cikampek di Cikarang langsung masuk ke Teluk Jambe, Karawang. Dari situ, jalur rel kereta cepat mengambil ancang-ancang garis lurus menuju Bandung. Apesnya, trase baru ini harus membelah kawasan industri. “Mungkin perencanaannya tidak optimal di awal. Jadi resistansi pemilik kawasan besar,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto, Jumat, 5 November lalu.

Kawasan industri yang dimaksud adalah Artha Industrial Hill dan Karawang Jawa Barat Industrial Estate. Saat pembebasan lahan, enam perusahaan tenant yang tergabung dalam konsorsium Trans Heksa Karawang sempat menolak proyek kereta cepat. Trans Heksa adalah pengelola jalan kawasan dari dan menuju enam perusahaan tersebut, di antaranya PT Gajah Tunggal Tbk dan PT Perusahaan Industri Ceres. “Tapi sekarang sudah sepakat,” kata Seto. Tiang rel cepat yang melayang itu kini sudah terbangun, membelah jalan Trans Heksa yang menghubungkan Artha Industrial Hill dan Karawang Jawa Barat Industrial Estate.  

Proyek pembangunan jalur kereta cepat Jakarta Bandung di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, 28 September 2021. TEMPO/Prima Mulia

Melarnya biaya proyek juga dipicu keberadaan kawasan Halim Perdanakusuma di Jakarta, lokasi stasiun pertama kereta cepat. Selain membutuhkan pembebasan lahan, KCIC harus membangun jalur di bawah tanah untuk menyeberangi jalan tol karena trasenya melintasi kawasan keselamatan operasi penerbangan Bandar Udara Halim Perdanakusuma. Agar tak mengganggu operasi jalan tol di atasnya, pengeboran jalur bawah tanah ini menggunakan metode tunnel boring machine dengan diameter 13,9 meter. Biayanya jelas lebih mahal.

Pada Kamis siang, 4 November lalu, satu sisi lantai terowongan di kawasan Halim sudah siap dipasangi bantalan rel berbahan beton. Sedangkan sisi lain masih mentah. “Karena sisi ini masih dipakai untuk akses pengecoran. Jadi satu sisi dulu,” tutur Yogi Tresnansyah, petugas keselamatan HSRCC di dalam terowongan Halim.

Sebagian bantalan rel memang sudah stand by di atas terowongan, menunggu waktu pemasangan. Bantalan ini berbahan beton dan permukaannya semulus granit keset. Synohidro membuat separuh pertama bantalan, sisanya dipasrahkan kepada WIKA—kode saham Wijaya Karya—yang sudah diajari cara membuatnya. "Dulu pas bangun terowongan ini tiap satu engineer Cina ditemani empat engineer Indonesia," ucap Yogi, yang pernah mengikuti pelatihan keselamatan proyek bawah tanah di tambang batu bara Sawahlunto, Sumatera Barat.

Kini jumlah tenaga kerja Cina di kawasan proyek Halim Perdanakusuma tinggal empat orang. Mereka bertahan untuk menggarap sejumlah bagian akhir. Sisa puluhan lain adalah pekerja lokal. “Nanti ini tinggal instalasi listrik, pemasangan blast track, dan lain-lain.”

Di tengah potensi pembengkakan biaya, proyek sepur cepat makin terjepit. Empat BUMN konsorsium PSBI belum beres menyetor modal.

Struktur pembiayaan kereta cepat Jakarta Bandung sejak awal rada-rada ajaib. Dari biaya total proyek yang mencapai US$ 6,07 miliar, sebanyak 75 persen atau US$ 4,55 miliar berasal dari pinjaman Bank Pembangunan Cina (CDB). Sisanya, US$ 1,52 miliar, berasal dari setoran modal konsorsium BUMN Cina dan Indonesia. Menggenggam 60 persen saham di KCIC, konsorsium BUMN Indonesia semestinya menyetor US$ 911 juta, tapi baru menyanggupi US$ 614 juta, sambil megap-megap.

Pembangunan stasiun depo kereta cepat Jakarta Bandung di perbatasan Cileunyi Wetan dan Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 5 November 2021. TEMPO/Prima mulia

Ketika membopong proyek kereta cepat, Direktur Utama Wijaya Karya saat itu, Bintang Perbowo, yang didukung Menteri BUMN Rini Soemarno, menjanjikan model pembiayaan nirtunai. Empat BUMN konsorsium PSBI dijamin tidak akan keluar duit.

Aset di sisi jalan tol Jakarta-Bandung untuk lahan rel, misalnya, bakal dihitung sebagai setoran modal PT Jasa Marga (Persero) Tbk, yang kebagian 12 persen saham PSBI. Setoran modal PT Kereta Api Indonesia (KAI) berupa lahan perseroan yang terpakai untuk stasiun. Adapun modal PT Perkebunan Nusantara VIII lebih unik: sebidang tanah di Walini, Kabupaten Bandung Barat. Perkebunan teh seluas 1.270 hektare yang telah banyak meranggas itu dinilai sendiri mencapai Rp 3,14 triliun.

Ketika empat BUMN itu akhirnya dipaksa memberikan setoran tunai sebagai syarat pencairan pinjaman CDB, semua kedodoran. KAI pada 2017 harus menggayung utang sebesar Rp 478 miliar. Setoran kedua sebesar Rp 950 miliar berasal dari optimalisasi 325 juta meter persegi aset KAI.

Ketika proyek sudah berjalan, bolong-bolong struktur pembiayaan itu makin menganga. Beijing Yawan, konsorsium BUMN Cina di KCIC, menganggap lahan Walini bukanlah bagian dari modal proyek. “Lahan itu harus dimonetisasi dulu, baru bisa jadi modal proyek,” kata Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo di Jakarta, Rabu, 3 November lalu.

Kondisi inilah yang memaksa PSBI menyurati Kementerian BUMN pada 5 Februari lalu mengenai kekurangan setoran modal tunai dari konsorsium BUMN senilai Rp 4,3 triliun dan dampak potensi pembengkakan biaya proyek. Surat melayang saat pandemi Covid-19 sudah berlangsung setahun dan keuangan semua BUMN babak belur. Akhirnya, pada 17 dan 24 Februari lalu, Menteri BUMN Erick Thohir mengeluarkan jurus pamungkas: mengusulkan penyertaan modal negara kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati buat PT KAI untuk menutup kekurangan setoran modal PSBI di KCIC.

Tak sampai sebulan setelah itu, Kementerian BUMN mengganti direksi dan komisaris KCIC. Kendali diserahkan kepada KAI dengan penempatan pelaksana tugas Presiden Direktur PT Reska Multi Usaha, Dwiyana Slamet Riyadi, sebagai Presiden Direktur KCIC serta Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Usaha Jeffrie Korompis sebagai komisaris KCIC. Keduanya menggeser perwakilan Wijaya Karya.

KCIC menyebut pergantian itu sebagai bagian dari persiapan masa operasi yang sudah dekat. Namun, sesungguhnya, bongkar-pasang itu bertujuan membersihkan manajemen proyek yang lama. “Iya, untuk benerin manajemen proyek,” tutur Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo ketika dihubungi pada Jumat, 5 November lalu.

Di bawah kemudi KAI, estimasi biaya ditaksir menjadi US$ 8 miliar. Semula pembengkakan biaya membuat proyek ini diperkirakan menelan ongkos US$ 9,9 miliar pada skenario bawah dan US$ 11 miliar pada skenario atas. “Kami nego agar masinis kereta cepat pakai masinis KAI, tinggal dilatih saja,” ujar Dwiyana Slamet Riyadi di kantornya di Jakarta, Kamis, 4 November lalu. Sebelumnya, pengadaan masinis dan kru sepur cepat ini bakal mengambil lulusan segar.

Pembengkakan biaya juga bisa ditekan lewat sejumlah penyesuaian. KCIC, misalnya, menunda pembangunan Stasiun Walini. Gara-gara penundaan ini, sejumlah spekulan yang telah memborong tanah di sekitar Walini gigit jari.

KCIC membatalkan pembangunan Stasiun Walini karena potensi penumpangnya belum ada. Penggantinya adalah Padalarang, yang akan menjadi titik pergerakan penumpang ke Kota Bandung. Pengembangan transit-oriented development Stasiun Karawang juga diundur.

Toh, upaya menekan pembengkakan biaya ini tetap bukanlah satu-satunya jalan keluar. Yang mendesak adalah pemenuhan kekurangan setoran modal PSBI di KCIC.

Walhasil, pada 6 Oktober lalu, Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 yang mengubah Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung. Menelan ludah sendiri, Jokowi membolehkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mengucur ke proyek tersebut, baik berupa penyertaan modal negara maupun penjaminan utang kepada pemimpin konsorsium BUMN.

•••

ALASAN pemerintah berencana mengucurkan penyertaan modal negara (PMN) atau jaminan utang buat PT Kereta Api Indonesia sudah jelas: pelaksanaan proyek strategis nasional kereta cepat Jakarta-Bandung berlanjut, tidak mangkrak dan mubazir. Pemerintah sudah kepalang basah. Perkembangan proyek per 22 Oktober lalu sudah 79,3 persen.

Kemajuan proyek ini sebetulnya dihitung berdasarkan biaya yang sudah keluar dibanding rencana biaya awal. Jika dibandingkan dengan hasil pekerjaan, kata komisaris KCIC, Jeffrie Korompis, “Masih ada disparitas.” Perbedaan-perbedaan inilah yang sedang diaudit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Disparitasnya itu seperti barangnya sudah ada tapi masih dalam bentuk material dan lain-lain. Belum jadi utuh,” ucap Jeffrie.

Sejak Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 diberlakukan, pemerintah tak pernah terbuka mengakui ada salah perencanaan dan perhitungan, atau ambisi yang terlalu tinggi, dalam proyek sepur cepat. Wajar saja, perencana sekaligus pengeksekusi proyek masih rezim pemerintahan yang sama. Menterinya saja yang berbeda.

Baru dalam diskusi tertutup pada 11 Oktober lalu dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, yang salah satu tugasnya mengawasi perusahaan pelat merah, Kementerian BUMN mengakui kecerobohan rencana proyek. Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo, yang hadir dalam diskusi kelompok terpumpun tersebut, mengatakan Kementerian BUMN saat ini kebagian tugas cuci piring kotor sepur cepat. “Ya, memang spesialisasinya ini,” tutur Tiko—panggilan Kartika Wirjoatmodjo—sambil mengirim emotikon tertawa, ketika dihubungi pada Jumat, 6 November lalu. “Urus Jiwasraya, Waskita Karya, Kereta Cepat, Garuda Indonesia.”

Tiko mengakui asumsi-asumsi dalam studi kelayakan dan rencana proyek sepur cepat terlalu agresif. Begitu konstruksi dimulai, tantangannya terlampau banyak. “Seperti isu geologis tanahnya hingga trase yang melalui berbagai obyek yang mesti dipindahkan,” ujarnya.

Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Andre Rosiade, mengungkapkan, selama pembahasan usul PMN, Kementerian BUMN membuka semua masalah sepur cepat. Sebagai partai politik pendukung pemerintah, Gerindra tak bisa berbuat banyak selain mendukung kebijakan Presiden Joko Widodo. “Mereka minta tolong, menjelaskan kondisi riilnya bahwa ‘barang ini’ harus diselamatkan,” ucap Andre, Rabu, 3 November lalu.

Kendati menyetujui PMN buat KAI dalam APBN 2022, Komisi VI mewanti-wanti agar proyek sepur cepat diaudit. Pemerintah dan parlemen akhirnya sepakat BPKP masuk mengaudit proyek. “PMN baru akan dicairkan kalau audit BPKP sudah beres,” kata Andre.

Kepada koleganya di parlemen, Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo sempat mengungkapkan kekhawatirannya. Si kolega menyebut Didiek takut kena masalah hukum ketika mengiyakan penugasan pemerintah menjadi pemimpin konsorsium PSBI. Pasalnya, ada banyak dugaan penggelembungan biaya dalam proses konstruksi. Ditanyai tentang kekhawatiran itu, Didiek menjawab diplomatis. “Yang berat itu, sampai sekarang, meyakinkan diri sendiri.”

Kini pemerintahan Joko Widodo periode kedua sedang menegosiasikan klausul perjanjian dengan Cina yang dibuat oleh pemerintahan Jokowi periode pertama untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Pemerintah berharap bisa memanjangkan libur bayar utang dari 10 tahun pertama menjadi 15-20 tahun pertama. Ada juga niat meminta penurunan bunga utang hingga membagi porsi tanggungan pembengkakan biaya, agar para penguasa di kedua periode itu selamat semua.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus