Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Imam Masjid Al-Farah di New York, Amerika Serikat, ini dikenal sebagai sosok moderat. Feisal Abdul Rauf telah banyak menulis soal bentuk masyarakat muslim ideal. Namun dia kini menuai hujan kritik karena proyek Cordoba House. Feisal menggagas pembangunan pusat kegiatan Islam hanya beberapa blok dari Titik Nol, lokasi pengeboman World Trade Center yang menewaskan lebih dari 2.700 orang.
Sejumlah media Amerika menyebut gagasannya sebagai Proyek Masjid Titik Nol. Feisal mengatakan para penentang itu berasal dari kelompok anti-Islam. Mereka, kata dia, menakuti masyarakat tanpa menjelaskan tujuan proyek pembangunan itu sesungguhnya. Penentang proyek yang paling menimbulkan kehebohan adalah Pendeta Terry Jones, yang pernah mengancam akan membakar Quran.
Kendati menghadapi aral, Feisal akan melanjutkan proyek itu. Gedung 15 lantai yang diperkirakan akan menghabiskan dana US$ 100 juta (Rp 900 miliar) ini tak hanya akan menjadi pusat budaya Islam. Bangunan ini juga terbuka untuk komunitas dari berbagai agama. Yang menarik, Feisal mengatakan ingin membangun Cordoba House tak cuma di New York, tapi di banyak tempat lain. "Mungkin saja berikutnya di Indonesia," ujarnya.
Dua pekan lalu, Feisal berkunjung ke Indonesia atas undangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dia mendapat kehormatan memberikan ceramah di depan sejumlah menteri dan pejabat teras Republik di Istana. Dia juga menggelar kuliah umum di beberapa kampus. Di tengah jadwal yang padat, Feisal menerima Yophiandi Kurniawan, Yandi M. Rofiyandi, dan fotografer Dwianto Wibowo dari Tempo.
Bagaimana kelanjutan rencana pembangunan Pusat Kebudayaan Islam di dekat lokasi Titik Nol di New York?
Insya Allah, kami bisa membangunnya.
Banyak kalangan di sana menolak pembangunan Pusat Kebudayaan Islam ini....
Faktanya kami punya hak membangun dan masyarakat sudah menerima dalam empat kali survei. Semua politikus juga mendukung, bahkan wali kotanya yang Yahudi, Michael Bloomberg, sangat mendukung. Juga para pemimpin agama Kristen dan Yahudi. Jadi kami punya pendukung dari segala lapisan. Para penentang berasal dari kelompok anti-Islam yang menggunakan media massa dan menakuti masyarakat, tanpa menjelaskan maksud kami. Padahal, kalau dijelaskan apa yang ingin kami lakukan, tak cuma masyarakat mengerti, mereka juga akan mendukung. Ada orang Kristen, Yahudi, Buddha, Hindu, dan yang ateis sekalipun menjadi bagian dari gerakan kami. Semua orang pada dasarnya ingin ada pemahaman, ada harmoni di antara berbagai keyakinan.
Apakah kelompok yang menolak dan menggunakan media itu adalah politikus?
Mereka sebagian adalah orang yang ingin menang dalam pemilihan umum sela beberapa waktu lalu. Tak banyak, sedikit saja yang berbuat begini. Mereka merasa tak nyaman dengan Islam.
Mengapa Masjid Manhattan di dekat Titik Nol tak terganggu sama sekali oleh isu ini?
Masjid lama saya (Masjid Al-Farah) juga dekat dengan Titik Nol, 12 blok atau sekitar dua kilometer jaraknya. Sudah berumur 25 tahun. Kami hidup dengan baik, harmonis, tak ada masalah.
Beberapa penentang utama pembangunan Pusat Kebudayaan Islam ini berasal dari kubu Partai Republik. Sekarang mereka menjadi mayoritas di DPR....
Kenyataannya mayoritas anggota Partai Republik tak menentang rencana ini. Mereka malah mendukung kami, karena dianggap ini bagian dari kebebasan beragama yang fundamental bagi warga Amerika. Menjadi sebuah "religiositas", "keyakinan". Tak ada satu pun politikus yang serius berpolitik menggunakan isu agama atau menentang satu keyakinan. Pihak yang menentang dari kubu Republik sangat kecil jumlahnya. Mereka juga tak menang dalam pemilu sela.
Kapan Anda akan melanjutkan pembangunan Pusat Kebudayaan Islam ini?
Kalau kami sudah berhasil mengumpulkan dana sampai US$ 50 juta (sekitar Rp 450 miliar). Sekarang kami sedang menyelesaikan rancangan arsitekturnya. Seluruh desainnya sedang diselesaikan. Ini bisa makan waktu satu setengah tahun. Setelah itu, minimum dua tahun kami bisa menyelesaikan pembangunan gedung ini.
Gedung itu bisa dipakai oleh penganut agama lain?
Oh, jelas. Idenya kan tentang Cordoba House, yang menjadi pusat aktivitas untuk semua orang. Maka namanya bukan Islamic Center, melainkan Cordoba House. Seperti di YMCA, di sana ada kolam renang serta sarana atletik, pendidikan buat guru dan dosen. Ada juga kursus masak, auditorium, jadi seperti tempat bersosialisasi. Kami dekat dengan lokasi Tribeca, tempat Tribeca Film Festival milik Robert de Niro. Jadi kami ingin menjadi bagian dari seluruh komunitas dan budaya masyarakat di sana.
Ada tempat ibadahnya?
Ya, ada beberapa lantai nantinya khusus buat ibadah. Tak cuma buat agama Islam, tapi penganut keyakinan lain bisa beribadah di sana. Kami belum memutuskan bentuknya, gereja, kapel, atau apa. Jadi tak cuma ibadah, tapi intinya sosialisasi. Dengan sosialisasi di antara pemeluk Islam, Hindu, Buddha, Kristen, orang akan terikat secara emosional, sehingga dalam masyarakat ada hubungan yang erat satu sama lain. Inilah cara membangun saling pengertian yang diajarkan oleh Al-Quran. Untuk saling percaya, saling memahami, membangun persahabatan dan keterikatan.
Sudah berapa lama Anda sadari Gerakan Cordoba ini dibutuhkan?
Saya sudah melakukan hal ini sejak 11 September. Banyak orang setelah peristiwa itu bertanya kepada saya, apa yang bisa kami sumbangkan untuk membangun saling pengertian di antara warga Amerika. Jadi kami membangun Cordoba Initiative dan menjadi Cordoba Movement. Banyak orang bertanya, "Apa yang bisa saya sumbangkan? Saya ingin menjadi bagian dari gerakan ini." Sekarang kami sudah berkampanye, dan banyak yang mendukung. Anggota dewan dan staf kami berasal dari berbagai agama.
Bagaimana Anda menghadapi kesalahpahaman publik tentang gerakan ini?
Well, akhirnya, saya juga bingung, kok bisa orang menyalahartikan ini semua. Teman saya sampai bilang, padahal semua kritik itu datang dari pihak yang orangnya (dari petinggi agama hingga politikus) justru bekerja sama dengan saya (tertawa kecil). Justru proyek ini bisa berjalan berkat dukungan dari politikus, kelompok agama lain, dan dengan iktikad damai. Kalau tidak, kami tak akan bisa mewujudkan ide ini.
Bagaimana ide Cordoba House ini muncul, dan mengapa lokasinya dekat Titik Nol?
Saya sudah memikirkan ini selama 20 tahun. Soal lokasi, ini kebetulan saja. Saya sudah menjadi imam di New York selama 27 tahun. Selama 25 tahun kami ada di sana, dan empat tahun terakhir tempat kami sudah tak cukup menampung jemaah. Komunitasnya berkembang, jadi kami butuh tempat yang lebih besar. Dewan melihat-lihat bangunan di New York dan menemukan tempat itu. Mereka membelinya pada Juli tahun lalu, dan bilang ini tempat bagus buat membangun pusat kegiatan seperti yang kami inginkan.
Pendeta Terry Jones meminta menukar rencana membakar Al-Quran dengan pembatalan pembangunan Cordoba House. Anda pernah menemuinya?
Tidak. Apa yang dilakukan Pendeta Terry Jones bukan hal baik, karena menyandera keinginan baik dari kami dengan niatnya itu. Beberapa kawan dari Kelompok Evangelis yang sudah saya kenal lama mengatakan, "Kami tak tahu siapa orang ini." Mereka menelepon saya dan bilang ini sudah dekat peringatan 11 September, ketegangan semakin tinggi, dengan emosi juga meninggi, ada demonstrasi. Mereka menyarankan lebih baik saya mundur.
Meski sudah ada dialog, tampaknya Barat masih takut dengan istilah jihad yang memicu tindakan ekstrem?
Kata-kata ekstremisme dan fundamentalisme ini cuma ide. Anda mesti tahu apa masalahnya dan berhubungan dengan orang-orangnya. Orang-orang ini memiliki rasa frustrasi dan ketakutan yang besar. Anda mesti tahu masalah mereka, dan dipecahkan. Politik, ekonomi, sosial, ketidakadilan, ini kan masalahnya.
Ketidakadilan ini termasuk masalah Palestina-Israel?
Tentu saja. Juga Afganistan dan Irak, ini isu yang jadi sumbernya. Kalau kita tahu akar persoalannya, semua bisa diselesaikan lebih mudah.
Jadi ekstremisme dan fundamentalisme ini dipicu oleh kebijakan Barat....
Setiap masalah ada aspek sejarahnya. Tapi kita mesti lihat realitas sekarang, bagaimana ini bisa diselesaikan. Maksud saya, dalam setiap masalah ini, komunitas agama punya hal yang ingin diungkapkan. Intinya, kita ingin menjadi bagian dari penyelesaian masalah itu. Seperti dikatakan Presiden Yudhoyono, "Saya ingin jadi bagian dari penyelesaian masalah ini." Yang penting, niat menyelesaikan masalah bisa jadi kunci untuk melihat persoalan jadi lebih gamblang.
Apakah upaya Presiden Barack Obama mendekatkan hubungan Barat dan Islam bisa terwujud?
Insya Allah. Saya tak bisa menebak masa depan, tapi saya lihat semuanya ingin ada kestabilan di Irak sekarang. Semua negara mesti stabil supaya kegiatan ekonomi bisa berjalan dan rakyatnya sejahtera. Karena itu, gerakan kami juga ingin mendorong hal ini, supaya kesejahteraan warga dunia bisa terwujud.
Bagaimana Anda melihat peran Amerika untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel?
Banyak yang percaya Amerika mesti hadir untuk menyelesaikan konflik di sana. Kami sangat mendukung Presiden Obama dalam mencari solusi untuk menyelesaikan masalah ini, karena ini kunci untuk menyelesaikan persoalan hubungan Barat dengan Islam.
Anda melihat ada perbedaan nyata antara pendekatan Presiden Obama dan George Bush?
Yang paling terlihat, Obama berfokus pada soal pembangunan permukiman Yahudi. Kami melihat ini bisa terjadi, dan perundingan dapat berjalan di antara keduanya.
Bukankah dukungan politik di dalam negeri terhadap Obama berkurang setelah DPR dikuasai Partai Republik?
DPR yang sekarang dipegang Partai Republik juga menginginkan perdamaian di Timur Tengah. Saya yakin mereka akan tetap mendukung Obama.
Bagaimana Anda melihat kehidupan muslim Indonesia?
Masyarakat muslim Indonesia mengagumkan. Mereka berbagi pikiran dan pendapat di antara banyak keyakinan. Mereka kaum intelektual yang cerdas, sehingga Indonesia punya keberagaman yang ilmiah. Saya besar selama sepuluh tahun di Malaysia, jadi saya tak asing dengan batik, lagu Bengawan Solo, dan hal-hal yang khas Indonesia. Meski menjadi muslim, orang Indonesia punya identitas dan pengenalan diri yang kuat sebagai bangsa Indonesia. Sangat penuh hasrat sekaligus lembut. Orang Indonesia mendalami Islam sangat serius, menjadi satu dari negeri besar yang memahami Islam dan mengembangkan diri di antara orang-orang Islam di dunia.
Dalam ceramah di Istana, Anda mengatakan bahwa Islam mesti menyatu dengan budaya setempat….
Menurut pendapat para intelektual muslim, juga di Al-Quran, Tuhan ingin para hamba-Nya mengembangkan dan melaksanakan firman-Nya dalam konteks sosial tempat dia berada dan sekaligus berlaku secara universal. Di Malaysia, kata adat tak bertentangan dengan Islam, malah diserap sebagai hal yang bisa diterima syariah. Bisa kita lihat juga di Mesir, Turki, India, Persia, Indonesia, semua punya budaya masing-masing. Ketika menjadi muslim, mereka mengadopsi Islam dalam budaya. Mereka menjadi muslim yang menyatu dengan budayanya.
Jadi kaum muslim yang tinggal di negeri Barat mestinya menyesuaikan diri dengan budaya Barat?
Seperti di sini, orang salat menggunakan sarung, batik, atau baju koko. Inilah budaya dan Islam yang menyatu. Mereka 100 persen muslim tapi juga mengekspresikan budaya dan identitas Indonesia. Begitu juga ketika berada di Amerika, saya tak bisa membawa Islam dengan cara Mesir karena itu akan jadi aneh. Tugas saya mendekatkan Islam dengan budaya Amerika. Seperti juga perempuan muslim yang tinggal di Prancis, mestinya tidak berbusana seperti di Arab Saudi.
Islam butuh waktu lama untuk berkembang dan menyatu dengan budaya Barat, termasuk Amerika?
Sama seperti di Mesir, Persia, India, begitu juga di Amerika. Inilah yang sedang terjadi dan begitulah sejarah Islam. Tak akan terjadi dalam seminggu, sebulan, atau setahun. Butuh waktu.
Feisal Abdul Rauf Lahir: Kuwait, 1948 Kebangsaan: Amerika Pendidikan: Sarjana fisika Columbia University | Master fisika plasma Stevens University Hoboken, New Jersey Karier: Ketua Cordoba Movement, imam Masjid Al-Farah, Dewan Islamic Center New York, pengusaha properti Penghargaan: James Parks Morton Interfaith Award, Annual Alliance Peacebuilder Award |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo