Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GAMBAR tato di lengan kirinya kuno sekali: panah menembus hati. Tulisannya mudah ditebak, "lonely heart". Sejak lima tahun silam, lelaki 64 tahun itu, Muhammad Yusuf Muhi, hidup sendirian di Cihideung Ilir, Bogor, Jawa Barat.
Kalangan dekat memanggilnya Bang Ucu. Ia meninggalkan dua istri dan 16 anaknya. Istri pertama tinggal di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Istri kedua bermukim di Tebet, Jakarta Selatan. "Hati saya pedih," katanya ketika ditemui, dua pekan lalu. Ia segera mengisap rokoknya dalam-dalam.
Sejak tinggal di Cihideung Ilir, kata dia, berat badannya turun drastis. Sehari-hari ia membersihkan kebun 8.000 meter persegi miliknya, dibantu dua pemuda kampung. Jabatannya mentereng: Panglima Besar Betawi. Tapi, "Sekarang yang uda pada jadi lupa sama saya," ujarnya. Masa keemasannya lewat sudah.
Belasan tahun silam, jangan main-main dengan Bang Ucu. Pada 1996, ia memimpin kelompok Betawi menyingkirkan kelompok Hercules di Tanah Abang. Bentrokan dua kelompok itu menumpahkan darah, dibumbui isu agama pula.
Berhasil menguasai Tanah Abang, kelompok Bang Ucu memegang keamanan di pusat hiburan Jakarta. "Hampir semuanya saya pegang," katanya. "Saya bebas keluar-masuk pusat hiburan." Ia lalu menunjukkan kartu anggota Klub Manhattan di Hotel Borobudur, yang masa berlakunya tamat pada 2004.
Kelompok Ucu mengukuhkan kekuasaan dengan membentuk Ikatan Keluarga Besar Tanah Abang. Usahanya macam-macam, termasuk membuka jasa penyediaan massa untuk demonstrasi. Pada 2001, kelompok ini menghadang Pasukan Berani Mati pimpinan Nuril Arifin, yang mendukung Presiden Abdurrahman Wahid.
Perjalanan Ucu menjadi jagoan jalanan dicapai lewat banyak pertarungan. Lahir di Kebon Pala, Jakarta Pusat, mulanya ia berjualan kambing di pinggir kali. Ucu rajin berkelahi, dengan alasan bela diri. "Kalau ada yang jual, gue bakal beli," katanya. Dia belajar silat dari jawara Betawi, Engkong Sabeni. "Dia masih kakek saya," katanya.
Perkelahian pertama Bang Ucu adalah dengan seorang anggota Resimen Pelopor—sekarang Brigade Mobil. Ucu kena tembak, tapi memenangi perkelahian. Pernah pula dia merasakan tebasan golok seorang tokoh Pemuda Pancasila dalam bentrokan di Pecenongan, Jakarta Pusat, pada 1975.
Ucu bahkan mengatakan pernah membunuh enam orang dalam perkelahian. "Saya membela diri, pakai senjata mereka," katanya.
"TENABANG"—sebutan ringkas orang Betawi untuk Tanah Abang—menjadi lahan menggiurkan sejak pengusaha Belanda, Justinus Vinck, membangunnya pada 1735. Berbagai kelompok tertarik menguasai wilayah ini.
Setelah Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia, Komando Pasukan Khusus mengangkut sejumlah orang dari wilayah itu ke Jakarta. Satu di antaranya Rosario Marshal, atau yang dikenal sebagai Hercules.
Kolonel (Purnawirawan) Gatot Purwanto, anggota pasukan khusus yang pertama kali terjun ke Timor Timur pada 1975, mengatakan dialah yang membawa Hercules ke Ibu Kota. Hercules merupakan nama sandi di radio komunikasi. "Dia itu anak buah saya," katanya.
Ia menceritakan, tangan Hercules putus dalam kecelakaan helikopter yang mengirimkan logistik. Ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta, untuk menjalani operasi penyambungan tangan palsu.
Begitu sembuh, Hercules masuk daerah Bongkaran di Tanah Abang. Kelompoknya mengelola perjudian dan pelacuran. Belakangan, teman-temannya dari Timor Timur menyusul. Di antaranya Alfredo Monteiro Pires, Logo Vallenberg, Germano, Luis, Jimmy, dan Anis. Kelompok ini "berkolaborasi" dengan jawara Betawi, Abraham Lunggana alias Haji Lulung.
Kelompok Timor itu juga mengelola pedagang-pedagang kaki lima. Mereka mendapat "uang jasa" dari pedagang, dari setoran harian, bulanan, hingga bonus tahunan. Pada 1990-an, ketika kurs Rp 1.700 per dolar AS, lapak kaki lima menyetor Rp 300 ribu-1 juta per bulan. Kepada Tempo, Alfredo mengatakan ketika itu menerima Rp 3,5 juta per bulan.
Tersingkir dari Tanah Abang pada 1996, usaha Hercules berpindah-pindah. "Dia tetap menjalankan usaha keamanan," kata Gatot, yang juga komandan Security Artha Graha. Nama Hercules kerap disebut dalam beberapa tindakan kekerasan. Misalnya bentrokan di Permata Buana serta pertarungannya dengan kelompok Sangaji.
Belakangan, ia merambah dunia pendidikan dengan menyuntikkan modal untuk Lembaga Pendidikan Kesekretarisan Saint Mary dan pendirian pesantren di Indramayu, Jawa Barat. Bisnis keamanan digalangnya melalui kerja sama dengan berbagai kelompok Timor. "Kami masih bekerja sama dengan Bang Hercules," kata Alfredo, mantan anak buah Hercules di Tanah Abang.
Sejak keluar dari Tanah Abang, Alfredo berpisah dengan Hercules. Dia memilih meninggalkan Indonesia dan menjalankan bisnis keamanan sendiri. "Saya bekerja untuk pengusaha Singapura dan Malaysia," katanya. Alfredo bolak-balik Indonesia-Singapura-Malaysia selama sepuluh tahun, pada 1999-2009.
Bos Alfredo sebagian besar bergerak di usaha perdagangan. "Saya juga berperan sebagai penerjemah ketika berhubungan dengan klien asal Indonesia," katanya. Pada 1999, dia juga pernah tinggal di Australia selama dua bulan, mengikuti iparnya, Mayor Alfredo Alves. Alfredo ditembak mati setelah penembakan Jose Ramos Horta dan Xanana Gusmao pada Februari 2008.
PADA bentrokan Betawi dengan kelompok Hercules, Haji Lulung dikejar-kejar warga Betawi yang menganggapnya pengkhianat. "Saya sempat mengungsi dan menyembunyikan Hercules," katanya. Dia mengatakan hubungannya dengan Hercules sebatas pertemanan.
Meski Hercules tersingkir, Lulung tetap berusaha di Tanah Abang. Awalnya, dia merapatkan badan ke Bang Ucu. Tapi kemudian ia mendirikan perusahaan jasa keamanan pribadi, PT Putraja Perkasa. Ladang bisnis "pembinaan" kaki lima yang selama ini dikuasai kelompok Hercules pun diambil alih.
Haji Lulung aktivis Pemuda Panca Marga. Bekerja sama dengan mantan komandan Satuan Polisi Pamong Praja, Harjanto Badjuri, ia mengembangkan usaha di bidang lahan parkir dan pengamanan. Ia mendirikan lembaga bantuan hukum, Haji Lulung & Associates.
Belakangan, dia terjun pula ke dunia politik. Dimulai dengan menjadi calon legislator dari Partai Bintang Reformasi. Gagal. Tahun lalu ia maju dengan bendera Partai Persatuan Pembangunan. Kali ini ia lolos dan menjadi anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Dua kali mengikuti pemilihan, dia mengaku menghabiskan dana sekitar Rp 15 miliar.
Lulung menjabat Sekretaris Jenderal Badan Musyawarah Betawi. "Saya juga pernah menjadi penasihat almarhum KH Fadloli, mantan Ketua Umum Forum Betawi Rempug," katanya. Terus memperbaiki bisnis keamanannya, proposal yang ditawarkannya kepada PD Pasar Jaya memenangi tender keamanan Blok F Pasar Tanah Abang.
Tender ini mengalahkan penawaran Bang Ucu lewat PT Catu Badra Mandrawata. Haji Lulung masih menggunakan orang-orang Bang Ucu. "Tiap bulan saya dapat setoran Rp 5 juta," kata Bang Ucu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo