PADA mulanya adalah sebuah tujuan mulia. Lakon Asosiasi Panel Kayu Lapis Indonesia (Apkindo) dimulai sejak pemerintah Indonesia melarang ekspor kayu gelondongan mentah pada awal 1980-an. Maka, ditempatkanlah Apkindo untuk meningkatkan kekuatan tawar para pengusaha kayu olahan terhadap pembeli di luar negeri. Memang, setiap pengusaha kayu olahan diwajibkan menjadi anggota Apkindo, tapi semuanya itu diarahkan untuk kepentingan bersama. "Untuk komoditi seperti kayu dan minyak bumi, pihak penjual kurang memiliki kekuatan mematok harga," kata Adrian Panggabean, ekonom dari Universitas Indonesia.
Demi "kepentingan bersama" tersebut, Apkindo menerapkan beberapa aturan seperti mematok volume produksi, kuota, harga jual, dan sarana pengangkutan ke pihak pembeli. Maka, jadilah Apkindo sebuah kartel. Alasan logisnya adalah untuk melindungi para pengusaha itu dari serangan pasar global yang beringas, agar mereka mendapat pasar dengan harga jual yang layak. "Sebab, kartel itu baik kalau mewakili yang lemah," demikian kata Adrian.
Menurut kamus ekonomi The Economist, kartel adalah sebuah kesepakatan tertulis atau tidak tertulis di antara produsen untuk menentukan harga pasar dan jumlah produksi untuk membatasi kompetisi dan meningkatkan keuntungan.
Para ekonom umumnya sepakat bahwa kartel tidaklah 100 persen buruk. Menurut sejarah, kartel pernah populer dijadikan kebijakan di negara-negara industri di Amerika Serikat dan Eropa pada masa depresi tahun 1920-an dan 1930-an. "Sebab, saat ekonomi buruk, proteksi diperlukan, dan kartel memang ada unsur proteksinya," kata Markus H. Dipo, pengamat ekonomi dari UI. Sampai kini, tetap ada praktek kartel yang berguna, misalnya OPEC (Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak), yang menentukan kuota dan harga jual minyak agar tidak dipermainkan oleh pembeli.
Tapi, tetap saja kartel itu tidak sehat. "Sebab, bisa jadi ujung-ujungnya adalah duit," kata seorang pengamat. Bau sengak kartel sebenarnya sudah tercium sejak zamannya Adam Smith, tokoh klasik kapitalisme. Dia punya kecurigaan yang kuat terhadap strategi bisnis pengusaha-pengusaha dengan jenis produk yang sama. Mulanya, mereka pura-pura berkompetisi sehat. Tapi, setelah mereka capek menduga gerak-gerik para pesaing, mereka kemudian membentuk asosiasi. Menurut Smith, akhirnya semua berujung pada sebuah konspirasi melawan kepentingan umum, misalnya dengan mematok harga yang lebih tinggi dari yang seharusnya. Contohnya adalah kartel Ruhrstahl, gabungan beberapa perusahaan baja di Jerman.
Sebenarnya, masalah yang jauh lebih rumit datang dari dalam kartel itu sendiri, yaitu antaranggota asosiasi. Menurut Adrian, pada saat saluran ke pasar hanya satu, orang yang memegang kendali akan membuat aturan yang bisa menguntungkan dia sendiri atau kelompoknya. Itulah yang terjadi pada Apkindo dan Mohammad Hasan. Bukti bahwa Bob Hasan memang mengontrol Apkindo sepenuhnya adalah adanya dewan direksi yang tidak saja setia kepada Bob, tetapi juga merupakan sekumpulan pengusaha kayu olahan yang punya kapasitas produksi besar. Alasannya jelas: agar mereka mudah menekan pengusaha-pengusaha yang lebih kecil anggota asosiasi.
Tapi, sebenarnya kekuasaan dewan direksi itu bila digabung masih belum sebanding dengan kekuasaan di tangan Bob, yang didukung penuh oleh Soeharto (ketika masih presiden?Red). "Dengan beking Soeharto, Bob menjadikan Apkindo menjadi kartel dengan kontrol yang ketat," demikian menurut Christoper M. Barr, penulis kertas kerja Universitas Cornell, AS: Bob Hasan, The Rise of Apkindo, and the Shifting Dynamics of Control in Indonesia's Timber Sector. Maka, hanya Bob-lah yang punya kekuasaan untuk mengatur segala bentuk iuran dari anggota Apkindo. Pun, perusahaan Bob, Grup Kalimanis, yang selalu diprioritaskan penjualannya.
Lalu, bagaimana si baik bisa berubah jadi si jahat? Menurut Adrian, adanya kekuasaan yang tidak seimbang di antara anggota kartel itulah yang menyebabkan kartel menjadi sistem yang merusak. Apalagi, hal itu ditambah dengan tidak adanya transparansi. Lima belas tahun lamanya Apkindo identik dengan Bob Hasan tampaknya sudah menjawab pertanyaan tentang orang jahatnya kartel. Tapi, setelah Soeharto lengser dan kekuasaan Bob dipertanyakan, ternyata Apkindo meninggalkan kebobrokan di mana-mana. Bagaimana cara memperbaikinya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini