Hingga awal tahun ini sudah lebih 70 nyawa melayang karena "penyalahgunaan" Viagra. Tapi peminat "pil ajaib" antiimpotensi yang baru diizinkan FDA (Food and Drug Administration), badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat, setahun lalu itu tak pernah surut. Di sini, iklan-iklan baris di internet dan beberapa surat kabar tak henti-hentinya menawarkan obat yang mestinya hanya bisa diperoleh dengan resep dokter itu. Dan perdagangan Viagra pun tak hanya terjadi di ibu kota saja.
Di Surabaya, pil biru itu bisa dibeli di salah satu ruko di kawasan Mangga Dua. Penjualnya mengaku sering mengiklankan dagangannya di harian Jawa Pos. Hasilnya, "setiap hari hampir 50 orang menelepon kami. Pemesanan biasanya dilakukan lewat telepon, kalau sudah cocok harganya barang bisa diambil di sini," kata si penjual yang mengaku bernama Reni itu. Hebatnya, menurut Reni, pembelinya bukan hanya orang per orang saja tapi juga apotek resmi-- yang tentu saja untuk dijual kembali.
Kepada konsumen perorangan, Viagra biasa ditawarkan Reni dengan harga Rp 160 ribu per butir. Untuk pembelian partai besar harganya bisa lebih murah lagi. "Untuk pembelian satu botol berisi 30 butir, saya melepas dengan harga Rp 3.250.000. Itu pun sudah didiskon," ujarnya.
Reni bukanlah satu-satunya penjual Viagra di Surabaya. Di kawasan Tambak Sari, Viagra juga gampang didapat. Maria, yang berjualan di situ sejak tiga bulan lalu, bahkan mengantarkan barangnya langsung ke tempat si pemesan. Setiap hari ia bisa menjual 10 pil yang harga setiap butirnya Rp 140 ribu.
Kemudahan mendapatkan Viagra di pasar bebas ini sungguh ironis, karena Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM) sebenarnya telah menyalakan lampu hijau bagi peredaran Viagra sejak Maret lalu. Hanya saja--mungkin karena kelewat berhati-hati--ketentuan Ditjen POM secara tak langsung justru membuat perdagangan bebas Viagra lebih diminati. Menurut peraturan itu, Viagra hanya boleh diresepkan oleh tiga dokter spesialis, yakni ahli penyakit saluran kemih (urolog), ahli jantung (kardiolog), dan ahli penyakit dalam (internis). Selain itu, resep hanya bisa diberikan langsung oleh apoteker penanggung jawab apotek. Jadi tidak boleh didelegasikan ke asisten apoteker seperti yang selama ini terjadi. Pendeknya, membeli Viagra di pasar bebas jauh lebih mudah daripada melalui jalur resmi.
Pembatasan wewenang hanya kepada tiga dokter spesialis tak urung memancing "protes" dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Awal April lalu, secara resmi IDI telah menyampaikan sikapnya kepada Dirjen POM. "Kalau memang ada pembatasan obat kepada spesialis tertentu hendaknya itu dikonsultasikan dengan profesi yang dikoordinasi IDI, sebab merekalah yang lebih tahu tentang obat. Kalau memang mau diberi pembatasan, yang perlu dibatasi bukanlah spesialisasinya melainkan kompetensinya. Jangan sampai obat itu diberikan oleh dokter yang tidak kompeten," kata Sekretaris Jenderal IDI, Hasbullah Thabrany.
Menurut Hasbullah, pil yang digunakan untuk pengobatan disfungsi ereksi itu sampai sekarang memang belum jelas menjadi wilayahnya siapa. Tapi, para penderita impotensi kebanyakan mendatangi dokter umum, ahli andrologi (ilmu tentang laki-laki), urolog, ahli syaraf, dan psikiater. Karena itu, kalaupun mau dibatasi, menurut IDI, wewenang semestinya diberikan kepada ahli yang paling sering menangani kasus disfungsi ereksi. "Orang yang mengalami disfungsi ereksi tidak datang ke bagian kardiologi," kata Hasbullah.
Memang bisa dimengerti bila pemerintah memberi wewenang kepada ahli jantung. Kebijakan itu agaknya berkaitan dengan efek samping Viagra yang fatal bagi penderita jantung. Pil dengan bahan aktif sildenafil citrate itu memang berbahaya--bahkan bisa menyebabkan kematian--bila dikonsumsi bersama dengan obat-obat golongan nitrat yang bisa dikonsumsi para penderita penyakit jantung.
Produsen Viagra, Pfizer, memang sepakat bahwa Viagra hanya bisa dibeli dengan resep dokter, setelah melalui pemeriksaan. Namun, Pfizer agaknya keberatan bila pembatasannya dilakukan dengan memberikan wewenang eklusif kepada tiga dokter spesialis saja. Public Affairs Manager Pfizer Indonesia, Shanti Shamdasani, mengatakan saat ini pihaknya masih mendiskusikan peraturan itu dengan Dirjen POM. "Sepengetahuan kami (di negara lain?Red.) tidak ada peraturan atau restriksi yang serius, yang dipergunakan untuk Viagra hingga dapat membatasi aksesnya ke pasien," kata Shanti dalam jawaban tertulisnya kepada TEMPO.
Bila hanya tiga dokter spesialis yang bisa meresepkan jumlah yang diedarkan jumlah Viagra yang resmi beredar memang menjadi terbatas. Akibatnya, pasar gelap yang menjual Viagra dengan harga selangit itu akan tetap lebih diminati orang. Kalau ini yang terjadi akibatnya bakal lebih runyam. Sekarang saja, sementara Viagra yang direkomendasikan peredarannya yang berdosis 25 dan 50 miligram, "Di pasar gelap Viagra yang saya tahu malah yang 100 miligram," kata spesialis urologi yang juga Ketua Badan Penasehat dan Pelatihan tentang Disfungsi Ereksi, Ina-Edact (Indonesian Erectile Dysfunction Advisory Council and Training), Akmal Taher.
Dosis berlebihan tentu saja bisa mengundang bahaya mengingat obat ini punya sederet efek samping, seperti rasa panas di muka, sakit kepala, blue vision (pandangan membiru), dan pelebaran pembuluh darah yang mengakibatkan turunnya tekanan darah hingga menyebabkan kematian. Penyalahgunaan Viagra oleh pria normal juga bukan tak mungkin malah menyebabkan impotensi seumur hidup akibat ereksi berkepanjangan (priapism). Karena itu, pemakaian Viagra memang harus di bawah pengawasan dokter yang kompeten di bidang disfungsi ereksi. Dokterlah yang memutuskan perlu tidaknya seseorang mengonsumsi Viagra, sekaligus menentukan dosisnya.
Untungnya aturan main pemerintah yang ketat membatasi peredaran Viagra--yang mungkin justru berakibat fatal itu--bukan harga mati. Menurut Direktur Jenderal POM, Sampurno, bila kalangan kedokteran mempunyai usulan mengenai dokter lain yang dianggap kompeten untuk meresepkan Viagra, pemerintah bersedia merevisi peraturan sebelumnya. Rencana semula, peraturan itu akan dievaluasi setelah enam bulan dijalankan. "Yang penting harus ada jaminan bahwa hal itu dilakukan untuk keselamatan pasien," ujar Sampurno.
Gabriel Sugrahetty, Ma?ruf Samudra, Edy Budiyarso, dan Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini