Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJADI pemain besar industri kelapa sawit di Indonesia, Wilmar International Limited menghadapi berbagai persoalan, seperti pencaplokan lahan dan masalah pajak. Kamis dua pekan lalu, Kepala Perwakilan Wilmar International Limited Indonesia, Hendri Saksti, berkunjung ke kantor Tempo. Ditemani komisaris PT Wilmar Indonesia, M.P. Tumanggor; Legal and Corporate Secretary, Johannes; serta Koordinator Urusan Pajak, Tommy Indrajaya, Hendri bersama jajarannya secara bergantian menanggapi berbagai temuan Tempo.
Kami menelusuri sejumlah lahan sawit Wilmar. Di Kapa, Pasaman Barat, anak perusahaan Wilmar, PT Permata Hijau Pasaman, berkonflik dengan masyarakat adat. Perusahaan dituduh membuka kebun sawit tanpa persetujuan, bahkan membebaskan lahan yang dipinjamkan masyarakat.
Hendri: Prosedurnya jelas, lahan diserahkan ke pemerintah daerah, kemudian diserahkan ke kami untuk dibangun kebun plasma. Misalkan begini, kami dapat 10 ribu hektare lahan dan kemudian harus bangun 4.000 hektare untuk masyarakat adat. Ternyata, pas kami masuk ke lahan itu, hanya ada 4.000 hektare. Kami dituntut 40 persen dari 10 ribu hektare, tapi kebunnya cuma ada 4.000 hektare.
Di Maligi, Pasaman Barat, masyarakat juga merasa ditipu karena sudah menyerahkan lahan 2.100 hektare, tapi Wilmar hanya menggarap 665 hektare, sehingga bagi hasilnya lebih kecil.
Johannes: Awalnya memang dipersiapkan lahan 2.100 hektare untuk kebun plasma di Maligi. Namun yang bisa dikelola dan ditanami plasma hanya 665 hektare. Sisanya seluas 1.435 hektare tidak dapat dikelola karena tetap dikuasai masyarakat Maligi. Sebagian penduduk tak mau menyerahkan lahan untuk dibangun menjadi kebun plasma.
Tapi temuan kami menunjukkan Wilmar malah memberikan lahan konsesi di tanah adat Maligi kepada petani plasma dari daerah lain.
Johannes: Kami tidak pernah memberikan tanah untuk keperluan plasma Maligi kepada plasma lain. Kalau mau cerita soal plasma, bisa cek perusahaan lain. Saya pastikan 99,9 persen lahan plasma di Indonesia itu bermasalah dengan kebun inti.
Dari 656 ribu hektare lahan sawit Wilmar, sekitar 86 ribu ada di kawasan hutan.
Hendri: Sejak era otonomi daerah, sudah tak jelas mana kawasan hutan dan mana yang bukan. Pusat bilang hutan, daerah bilang bukan. Begitu pula sebaliknya. Izin lokasi itu diterbitkan oleh daerah. Selama peta pemerintah daerah menunjukkan bahwa lahan yang kami garap bukan kawasan hutan, ya, kami bangun perkebunan di sana. Jika itu ketahuan kawasan hutan, tak akan kami bangun.
Tumanggor: Di peta tata ruang dari pemerintah daerah, lahan yang kami garap tidak disebut kawasan hutan. Seharusnya tak jadi masalah membuat kebun sawit. Tahu-tahu, Kementerian Kehutanan menyatakan kebun sawit kami masuk kawasan hutan.
Pada 2010, Wilmar tersandung dugaan penyimpangan pemberian restitusi. Ada transfer dana ke sejumlah perusahaan yang diduga terlibat kasus faktur pajak fiktif.
Tommy: Iya, betul. Tidak salah kalau Direktorat Pajak curiga, tapi harus dibuktikan dengan pemeriksaan. Kecurigaan ini kan tak terbukti. Perusahaan-perusahaan itu broker bahan baku, kami melakukan jual-beli dengan mereka. Ada arus uang, dokumen, dan barangnya. Itu juga bagian dari pemeriksaan terhadap kami.Setelah ada persoalan, kami kembalikan duit restitusi plus denda sebesar 150-200 persen. Kami tidak bagi-bagi duit restitusi.
Wilmar menerima dana restitusi hingga Rp 4,2 triliun periode 2007-2012.
Tommy: Restitusi saat itu besar-besar karena aturannya memungkinkan. Tarif PPN (pajak pertambahan nilai) penjualan ekspor itu nol persen, dan PPN tidak dipungut di Kawasan Berikat. Dulu boleh beli barang dengan PPN 10 persen dan bisa dikreditkan. Itu konsekuensi undang-undang, kalau pajak keluaran lebih kecil ada restitusi. Peraturan Menteri Keuangan yang baru, tidak boleh lagi mengkreditkan PPN 10 persen dari barang yang kami beli. Makanya nilai restitusinya turun. Sekarang malah kami harus bayar ke negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo