Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Warga di Kailolo, Maluku Tengah, merancang aturan bersama untuk menghidupkan kembali tradisi sasi.
Warga Kailolo berharap tradisi sasi dapat memperbaiki kerusakan ekosistem terumbu karang di wilayah mereka.
Terumbu karang di perairan Kailolo rusak karena penangkapan ikan menggunakan bom.
MERIUNG di kantor Negeri Kailolo, Kecamatan Pulau Haruku, Maluku Tengah, sekitar 20 orang tampak serius menatap layar proyektor yang berada di tembok samping bangunan tersebut. Pagi itu, Kamis, 14 November 2024, Muhammad Saleh Suat, dosen ilmu hukum Institut Agama Islam Negeri Ambon, memaparkan satu demi satu rancangan peraturan negeri partisipatif tentang pengelolaan ruang pesisir dan laut berbasis masyarakat adat.
Pembuatan rancangan peraturan negeri merupakan inisiatif pemerintah Negeri Kailolo bersama Jala Ina, organisasi yang berfokus pada isu pesisir dan laut di Maluku. Dalam persamuhan itu, hadir perwakilan saniri atau dewan adat, pemuka agama, serta warga Negeri Kailolo yang berprofesi sebagai nelayan. Salah satu isi rancangan peraturan negeri itu adalah sasi, sebuah kearifan lokal yang diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumber daya alam tertentu sebagai upaya pelestarian lingkungan.
Negeri Kailolo pernah memberlakukan sasi laut pada periode 2000-an. Namun sasi laut di sana hanya berlangsung selama satu tahun. “Sampai hari ini sasi tidak berlaku lagi. Mungkin karena tidak didukung oleh peraturan negeri," kata Sekretaris Negeri Kailolo Muksim Marasabessy. Muksim hadir dalam pertemuan itu mewakili pemerintah negeri.
Salah satu pembahasan dalam rumusan peraturan negeri itu menyebutkan kegiatan pemancangan sasi akan dilaksanakan melalui musyawarah masyarakat adat yang dipimpin oleh masing-masing ketua lembaga adat. Selain itu, ada poin yang memuat ihwal lokasi-lokasi tertentu yang wajib diberi tanda larangan. “(Penanda sasi) berupa batang kayu dan pelampung atau nyiur dan pelampung,” kata Saleh, 55 tahun, ketika membacakan pasal 24 yang termuat dalam rumusan peraturan negeri itu.
Inisiatif pemberlakuan kembali tradisi sasi ini muncul setelah masyarakat prihatin melihat kondisi terumbu karang di Negeri Kailolo. Ekosistem laut ini rusak parah imbas penangkapan ikan dan biota laut lain secara serampangan. Salah satu praktik penangkapan ikan yang merusak dan kerap terjadi di pesisir serta laut Negeri Kailolo adalah penangkapan ikan menggunakan bom.
Pembahasan rumusan peraturan negeri di Negeri Kailolo yang salah satunya mengatur soal sasi di Negeri Kailolo, Kecamatan Pulau Haruku, Maluku Tengah, 14 November 2024. TEMPO/Yosea Arga
Praktik lancung lainnya adalah penangkapan ikan menggunakan pukat yang menjangkau hingga dasar laut. Jaring itu kemudian ditarik dengan cara diseret sehingga terumbu karang yang rapuh ikut terseret dan rusak. Kondisi itu diperparah oleh tidak berjalannya sasi laut di Negeri Kailolo. “Kondisinya habis-habisan. Kebanyakan karena penangkapan dengan bom,” tutur Saleh.
Direktur Eksekutif Jala Ina, Muhammad Yusuf Sangadji, menjelaskan insiatif pembuatan peraturan negeri ini bermula dari diskusi antara Jala Ina dan pemerintah Negeri Kailolo. Dari diskusi itu diketahui bahwa sebetulnya masyarakat di Negeri Kailolo sudah punya pengalaman dan tradisi dalam menjaga ekosistem laut.
Kebiasaan masyarakat itu kemudian dihubungkan dengan hukum positif dan diikat melalui sebuah peraturan. “Jadi ada kesepakatan dan kesepahaman bersama antara Jala Ina dan pemerintah Negeri Kailolo untuk sama-sama menginisiasi peraturan negeri itu,” kata Yusuf.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat menyiapkan rancangan aturan ini, Jala Ina melakukan sejumlah riset. Pertama-tama mereka memeriksa kondisi tutupan karang di perairan Negeri Kailolo. Dari riset itu ditemukan fakta bahwa kondisi tutupan karang pada kedalaman 4-12 meter sudah rusak total. Para peneliti Jala Ina mengkonfirmasi kepada sejumlah warga Negeri Kailolo dan ditemukan pengakuan adanya penangkapan ikan memakai bom.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Riset lain adalah mengenai kondisi sosial, ekonomi, dan budaya. Tujuannya untuk melihat sejarah, asal-usul kampung, serta relasi masyarakat Negeri Kailolo dengan alamnya. Kemudian, sebelum merumuskan peraturan negeri, para peneliti menggelar diskusi terpumpun bersama warga untuk mewartakan hasil riset yang mereka lakukan. Dalam diskusi tersebut, warga ikut menyampaikan pendapat dan pandangan terhadap kondisi kampung mereka serta mengusulkan beberapa poin dalam rancangan peraturan itu.
Rumusan peraturan negeri yang dirancang pemerintah Negeri Kailolo bersama Jala Ina memang belum final. Rancangan itu, kata Yusuf, akan dikembalikan kepada masyarakat untuk dirumuskan secara internal. Dengan adanya peraturan negeri, Yusuf berharap sasi bisa kembali dijalankan. “Nilai-nilai yang ada di sasi itu sangat kuat. Tingkat ketaatannya sangat tinggi,” kata pria lulusan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, itu.
Warga rupanya punya harapan yang sama. Mereka ingin sasi laut benar-benar bisa kembali berjalan setelah aturan negeri berlaku. Muksim masih ingat betul ketika sasi diberlakukan selama satu tahun di kampung halamannya. Waktu itu, berkat sasi, praktik penangkapan ikan dan biota laut yang merusak benar-benar berhenti karena warga mematuhi aturan adat itu. “Katong punya karang itu harus dijaga," ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Liputan ini merupakan bagian dari program jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support