Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKHIR-akhir ini, lahir para pengguna bahasa yang barangkali layak disebut sebagai pencinta kesendirian. Siapakah mereka? Mereka adalah orang yang menggunakan kata "sendiri" berulang-ulang di sembarang tempat di sembarang kesempatan. Di televisi, misalnya, para penyiar bilang, "Masyarakat sendiri memilih diam," untuk teks yang seharusnya cukup dikatakan, "Masyarakat memilih diam."
Kali lain, penyiar mengungkapkan, "Gubernur sendiri mengaku tidak korupsi sepeser pun." Yang "mengerikan", ada penyiar yang bilang, "Mereka sendiri telah menghancurkan masa depan mereka sendiri."
Kita agaknya perlu menengok lagu-lagu yang didendangkan pada masa lalu untuk mendapatkan penggunaan kata "sendiri" yang relatif benar. Dalam Surat Undangan yang dinyanyikan Yuni Shara, misalnya, kita berhadapan dengan "Sunyi sepi sendiri/ sejak kautinggal pergi". Dalam lagu itu, "sendiri" bisa dimaknai sebagai "seorang diri; tidak dengan orang lain". Hal senada bisa kita rasakan dalam "sendiri lagi/ seperti yang dulu/ tanpa dirimu di sisiku" (Biarlah Aku Mengalah) yang dinyanyikan Nike Ardilla.
Sastrawan Iwan Simatupang juga benar saat menyematkan kata "sendiri". Silakan baca dua kalimat terakhir dalam Ziarah. Dalam novel yang memperoleh Hadiah Roman ASEAN Terbaik 1977 itu, Iwan Simatupang menulis, "Tiap langkahnya adalah dia yang berziarah pada kemanusiaan. Pada dirinya sendiri." "Sendiri" dalam novel ini bukan bermakna sebagai "milik" seseorang yang dalam Ziarah disebut sebagai bekas pelukis atau tokoh kita. Bukan "seorang diri". Bukan "tidak dibantu alat lain". "Sendiri" di sini lebih bermakna sebagai "diri dari yang bersangkutan" (bukan wakil atau pengganti), bukan "orang lain".
Sastrawan lain yang menggunakan kata "sendiri" secara benar adalah Joko Pinurbo. Meskipun dalam 45 puisi yang termaktub di Buku Latihan Tidur Jokpin hanya menggunakan satu kata "sendiri", dia tak salah ketika memunculkan kata itu. "Buku latihan tidur/ kemudian mengucapkan sebuah kalimat/ dan ia balas dengan kalimatnya sendiri./ Begitu seterusnya sampai buku latihan tidur/ mengantuk dan tidak sanggup berkata-kata lagi," tulis penyair pemeroleh Southeast Asia Write Award 2014 itu.
Kita tahu "sendiri" dalam puisi "Buku Latihan Tidur" itu bermakna sebagai "bukan kepunyaan orang lain". Teks itu akan salah jika misalnya ditulis, "Buku latihan tidur sendiri/ kemudian mengucapkan sebuah kalimat/ dan ia sendiri balas dengan kalimatnya sendiri."
Mengapa "sendiri" yang digunakan secara salah begitu sering muncul dalam percakapan atau wawancara jurnalis (televisi) dengan narasumber? Sangat mungkin para jurnalis itu tidak tahu betapa "sendiri" memiliki banyak makna. Mereka tidak mampu membedakan "sendiri" yang digunakan dalam kalimat "Ia tidur sendiri di hotel" dengan "sendiri" dalam kalimat "Ia menyangka puisi itu hasil perasaannya sendiri". Mereka juga menganggap sama makna "sendiri" dalam kalimat "Mobil itu bisa berjalan dan berhenti sendiri" dan "Penyair itu menandatangani bukunya sendiri". Sangat bisa dipastikan mereka juga tak mampu membedakan arti "sendiri" dalam kalimat "Sastrawan harus membacakan sendiri karya-karyanya" dan "Setiap agama memiliki tuhan sendiri" atau "Ia selalu merasa menderita sendiri".
Tidak tertutup kemungkinan para jurnalis itu menganggap setiap orang yang diwawancarai sebagai sosok yang khas, sehingga mereka perlu bilang, "Menurut Anda sendiri, siapa gubernur yang paling korup?" "Sendiri" dimaknai sebagai sosok yang "terpisah dari yang lain" atau "sosok yang khusus" berbeda dengan yang lain. Mereka juga menganggap setiap peristiwa sebagai sesuatu yang khas, sehingga perlu menyatakan kepada publik, "Bencana itu sendiri telah menewaskan 1.943 orang" atau "Demonstrasi itu sendiri telah membuat presiden kehilangan legitimasi".
Jadi sebaiknya jurnalis harus segera memahami betapa kata "sendiri" tidak bisa disematkan secara sembarangan di berbagai kata. Selain itu, kata "sendiri" memiliki banyak makna, bergantung pada konteksnya. Mungkin setiap menghadapi situasi semacam ini, kita akan ingat pada Carlos Fuentes. Sebab, bukankah pada suatu hari ia bilang, "Bahasa yang sifatnya satu dan ortodoks telah dibongkar"? Kita tidak akan memahami hakikat "sendiri" dan "kesendirian" jika menganggap setiap kata hanya memiliki satu makna dan menggunakannya secara sembarangan di segala kalimat di segala kebutuhan. l
Triyanto Triwikromo
Wartawan, Pengajar Penulisan Kreatif Di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo