Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEPUK tangan bergemuruh di salah satu ruangan Putrajaya Marriott Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia, pertengahan Januari lalu. Dari atas mimbar, Kepala Badan Minyak Sawit Malaysia Ahmad Khusairi Din berkali-kali membanggakan kinerja perkebunan mereka. Dalam acara Seminar Review & Outlook Ekonomi Kelapa Sawit 2018 itu, Din memaparkan bahwa produksi, harga, volume ekspor, dan semua bisnis sawit perusahaan Malaysia meraih keuntungan lebih tinggi dibanding pada tahun sebelumnya.
Malaysia memiliki sekitar enam juta hektare lahan sawit di negerinya. Perkebunan itu tersebar di Semenanjung Malaysia, Sabah, dan Serawak. Kemampuan produksi kebun sawit di Malaysia tiap tahunnya mencapai 10 ton per hektare. Angka ini masih jauh di atas perkebunan di Indonesia, yang rata-rata hanya sanggup menghasilkan 4 ton per hektare. Namun angka produksi itu diperkirakan sudah maksimal. Malaysia ingin mempertahankan luas hutan. "Lahan pertanian kami terbatas, jadi kami berinvestasi ke Indonesia," kata Din.
Kerajaan Malaysia pun turut mendorong perusahaan sawit asal negaranya untuk berekspansi ke Indonesia. Itu sebabnya, selama dua dekade belakangan, mereka agresif membuka kebun ke negara-negara tetangga, khususnya Indonesia. "Ongkos produksi dan buruh di Indonesia juga lebih murah," ucap Din.
Tiga belas perusahaan sawit Malaysia yang berkebun di Indonesia menguasai 1,34 juta hektare. Adapun luas kebun sawit di Indonesia adalah 11,7 juta hektare. Namun angka-angka itu diduga hanya di atas kertas. Diperkirakan ada 16 juta hektare lahan kebun sawit yang masih berproduksi hingga saat ini. Perusahaan-perusahaan Malaysia sesungguhnya berkebun di atas sekitar 4 juta hektare. "Delapan dari 13 perusahaan sawit itu diduga berkebun di dalam hutan," kata peneliti Yayasan Auriga, Syahrul Fitra.
Auriga, menurut Syahrul, bertahun-tahun meneliti izin perusahaan-perusahaan sawit yang ada di Indonesia, termasuk milik Malaysia. Penelitian itu dilakukan dengan menghitung luas izin yang dikuasai perusahaan Malaysia. Penelitian itu juga menemukan mereka memiliki izin berkebun di dalam hutan. "Temuan ini membantah tuduhan yang menyebutkan bahwa masyarakatlah yang justru masif merambah hutan," kata Syahrul.
Selain Wilmar, perusahaan sawit Malaysia lain yang area perkebunannya berada di kawasan hutan adalah perusahaan patungan Felda Global Ventures Holding Berhad dan Tabung Haji Plantation. Mereka diduga berkebun di atas 21.491 hektare kawasan hutan. Area yang masuk ke hutan produksi tetap seluas 19.572 hektare, sisanya tersebar di hutan produksi terbatas 1.217 hektare, kawasan konservasi sebanyak 73 hektare, hutan produksi konversi 538 hektare, dan hutan lindung sekitar 90 hektare. Konsesi yang masuk ke kawasan hutan ini mayoritas berada di Provinsi Kalimantan Timur.
Pelanggaran ini berlangsung belasan tahun dan dilakukan terbuka. Menurut Syahrul, hutan yang dikonversi menjadi kebun-kebun sawit itu mengancam keberadaan satwa serta merusak cadangan air dan struktur gambut. "Keberadaan hutan juga menjadi penyangga keseimbangan ekosistem," ujar Syahrul.
Dalam tiga bulan terakhir, misalnya, harimau Sumatera menyerang dua warga hingga tewas di area kebun Tabung Haji Plantation di Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran, Indragiri Hilir, Riau. Perkebunan itu dulu merupakan lahan gambut dan habitat berbagai satwa. "Sawit ini sejak 2000-an. Dulu kebun kelapa, tapi tidak seluas sawit," tutur Rusli, 48 tahun, warga Kampung Pulau Muda, Pelalawan, Riau.
Sebelum ada sawit, lahan di sana termasuk hutan gambut kerumutan atau biasa disebut kawasan margasatwa. Luasnya mencapai 1,3 juta hektare. Kini, sejauh mata memandang, hanya ada hamparan sawit dan pohon-pohon akasia. Hilangnya habitat hewan itulah yang diperkirakan membuat harimau keluyuran hingga ke kampung warga. "Kami sungguh takut. Kini, pukul 17.00, pintu-pintu rumah sudah ditutup semua," ujar Rusli.
Selain diteror harimau, menurut Rusli, kini warga kesulitan menangkap ikan. Pada 1990-an, dalam sehari, warga bisa mendapat 10 kilogram ikan toman dan tapa hasil memancing di Sungai Kampar. "Sejak ada kebun, jalan ke kampung memang dibangun. Tapi kami tetap susah, banyak larangan," ucap Rusli.
Direktur Pengukuhan dan Penataan Kawasan Tertentu Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Muhammad Said mengatakan seharusnya semua aktivitas di hutan mendapat izin dari Kementerian. "Kalau di kawasan hutan dan tidak ada pelepasannya, itu termasuk pelanggaran," ujar Said. Menurut dia, tindakan tersebut bisa masuk ke ranah pidana. Kegiatan di hutan tanpa mempunyai izin pinjam pakai kawasan hutan melanggar ketentuan Pasal 78 ayat 6 Undang-Undang tentang Kehutanan. Hukumannya paling lama 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp 5 miliar.
Biro Pembinaan dan Pengembangan Pasar Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Dharmayugo Hermansyah mengatakan, meski kebun Indonesia lebih luas dan produksi buah sawit lebih banyak, mereka terpaksa merapat ke perusahaan Malaysia. Negeri jiran memiliki instrumen bursa berjangka sehingga bisa mengendalikan harga pasar. Perusahaan sawit Indonesia juga lebih suka memperdagangkan sawit di sana karena likuiditas pasarnya. "Sementara bursa berjangka kita mati suri, hanya berjalan satu tahun," ujar Dharmayugo. Dia menyebutkan hal ini terjadi lantaran tidak ada aturan dari pemerintah untuk mewajibkan transaksi lewat bursa berjangka di Indonesia.
Pemerintah bersama Komisi Pemberantasan Korupsi sebenarnya sudah meneliti pelanggaran perusahaan-perusahaan Malaysia itu. Sejauh ini, mereka hanya merekomendasikan penataan ulang izin-izin perkebunan sawit yang merambah hutan. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang membenarkan bahwa lembaganya pernah menggelar kajian tentang sawit ini. "Kami masih mendalami lebih lanjut guna mendorong tata kelola yang lebih baik," tuturnya.
Direktur Eksekutif Tabung Haji Plantation Dato’ Sri Zainal Azwar Zainal Aminuddin mengatakan perusahaannya tidak membuka lahan baru saat berinvestasi di Indonesia. Tabung Haji dan Felda melakukan joint investment di Indonesia untuk bisnis sawit. Mereka mengakui membuka perkebunan di atas gambut. Namun dia tidak mengetahui bahwa konsesi sawit perusahaan gabungan Tabung Haji Plantation dan Felda itu ada yang masuk di kawasan hutan. "Kami membeli lahan yang sudah ada pohon sawitnya supaya cepat menghasilkan," ucapnya.
Din mengatakan tak tahu bagaimana sepak terjang perusahaan-perusahaan sawit Malaysia di Indonesia. Apalagi sampai merambah hutan. Malaysia dan Indonesia, menurut Din, sama-sama berkomitmen menjaga kelestarian hutan. Pihaknya tak akan memberikan sanksi kepada perusahaan-perusahaan itu. "Meski itu perusahaan Malaysia, karena berada di Indonesia, mereka harus patuh terhadap undang-undang dan aturan Indonesia," ujar Din.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo