Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MERINTIS perkebunan sawit sejak 1991, bisnis Wilmar terus menggurita hingga sekarang. Perusahaan yang didirikan oleh Martua Sitorus dan Kuok Khoon Hong alias William Kuok itu bahkan menjadi salah satu perusahaan perkebunan dan pengelola sawit terbesar di dunia. Tapi Wilmar juga menghadapi berbagai persoalan lahan dan pajak yang belum tuntas di negeri ini.
WILMAR
Berdiri: Singapura, 1991
Bisnis: Perkebunan kelapa sawit, biji-bijian, tebu, produksi minyak mentah, biodiesel, tepung, gula
Pabrik: 500 pabrik dengan jaringan di 50 negara
Pekerja: 90 ribu orang
Aset: US$ 37,03 miliar (2016)
Ekspor minyak sawit: 4,5 juta ton (Juli 2015-Maret 2016)
Pendapatan: US$ 41,40 miliar (2016)
Nilai saham: Sin$ 3,24 per lembar (Maret 2018)
Kasus Lahan Hingga Perpajakan
1. Kasus Sungai Beruang (2011)
Lokasi:Desa Sungai Beruang, Jambi
Luas lahan:3.550 hektare
Korban:Masyarakat adat Batin Sembilan
Persoalan:Anak usaha Wilmar, PT Asiatic Persada, dituding menggusur 83 keluarga masyarakat adat Batin Sembilan saat memperluas perkebunan sawit pada Juli 2011. Dua tahun kemudian, saat mediasi berjalan, Wilmar menjual Asiatic ke PT Agro Mandiri Semesta. Lewat keterangan tertulis ke Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Wilmar menyatakan sudah mengingatkan PT Agro Mandiri soal mediasi tersebut.
2. Kasus Sambas (2012)
Lokasi:Distrik Sambas, Kalimantan Barat
Luas lahan:1.024 hektare
Korban:Komunitas Sabung dan Beringin
Persoalan:Anak usaha Wilmar, PT Agronusa Investama, diduga tak memperhitungkan nilai konservasi lahan saat melakukan rencana penanaman baru. Padahal terdapat masyarakat yang hidup dari lahan terkait. November 2012, anak usaha Wilmar sepakat menyerahkan 287 hektare ke masyarakat Sabung dan Beringin. Pada 2013, RSPO menutup kasus ini.
3. Kasus Kariangau (2013)
Lokasi:Kariangau, Balikpapan
Luas lahan:149 hektare
Kasus:Anak usaha Wilmar, PT Mekar Bumi Andalas, dituding tak memperhatikan dan melakukan mitigasi soal dampak pembangunan fasilitas pengolahan kelapa sawit terhadap ekosistem lokal. Padahal di lokasi terdapat keberadaan tanaman dan hewan dilindungi. Wilmar menegaskan fasilitas mereka tak bermasalah secara hukum dan lokasi itu tercatat sebagai area industri. Pada 2015, RSPO menutup kasus ini.
4. Kasus Pasaman I atau Kapa (2014)
Lokasi:Pasaman, Sumatera Barat
Luas lahan:1.600 hektare
Korban:Masyarakat adat Kapa
Persoalan:Anak usaha Wilmar, PT Permata Hijau Pasaman, diduga membuka kebun sawit di tanah adat sejak 1997 tanpa persetujuan masyarakat adat Kapa dan hanya berbekal izin prinsip. Pembuatan hak guna usaha yang diperoleh pada 2014 dinilai tak melibatkan Badan Pertanahan Nasional dan pejabat pembuat akta tanah. Dalam keterangan tertulis ke RSPO pada 11 Februari 2015, Wilmar mengklaim telah melibatkan masyarakat adat. RSPO memutuskan Wilmar dan masyarakat adat harus melakukan pemetaan ulang dan melibatkan masyarakat, ahli independen, dan BPN.
5. Kasus Pasaman II atau Maligi (2017)
Lokasi:Pasaman, Sumatera Barat
Luas lahan:2.118 hektare
Korban:Masyarakat Jorong Maligi
Persoalan:Masyarakat mengklaim tak menerima pembagian hasil usaha dan pengembalian lahan plasma dari anak perusahaan Wilmar, PT Permata Hijau Pasaman, yang seharusnya terealisasi pada 2010. Masyarakat meminta ganti untung pembagian hasil plasma dan pengembalian lahan senilai Rp 151,052 miliar dan Rp 240 miliar. Legal and Corporate Affairs Grup Wilmar, Johannes, menyatakan Wilmar telah memenuhi mekanisme hukum untuk membuka perkebunan di tanah adat.
Berada di kawasan hutan Total 86.573,84 hektare
- Hutan lindung 3.046,17
- Hutan produksi konversi 58.441,43
- Hutan produksi terbatas 3.095,03
- Hutan produksi tetap 21.215,82
- Kawasan konservasi 775,39
Kasus Restitusi (2007-2009)
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menilai terjadi kejanggalan dalam transaksi keuangan dua anak perusahaan Wilmar, yaitu PT Wilmar Nabati Indonesia (WNI) dan PT Multimas Nabati Asahan (MNA). Dua perusahaan itu bertransaksi dengan empat perusahaan yang pernah terjerat kasus faktur pajak fiktif, dua di antaranya PT Tulus Agrindo Sejati dan PT Palm Mas Lestari.
"Memang ada transaksi dengan mereka (perusahaan yang terjerat kasus faktur fiktif), tapi itu rill. Kami punya data arus barang, uang, dan dokumen yang valid."
-Tommy Indrajaya, Koordinator Urusan Pajak Grup Wilmar
Kasus Tenaga Kerja di Bawah Umur (2015)
Amnesty International mendapati anak usaha Wilmar di Sumatera dan Kalimantan mempekerjakan anak-anak berusia 8-14 tahun di perkebunan dan tak memperlakukan mereka dengan layak.
"Kami menghormati hak-hak tenaga kerja kami, baik yang sementara maupun pekerja migran. Temuan ini membantu menguak masalah ketenagakerjaan di industri kelapa sawit di Indonesia."
-Asisten General Manager Wilmar International Perpetua George, 2016
Kasus Kebakaran Hutan (2015)
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menuding sejumlah perusahaan yang terkait dengan Wilmar, baik anak perusahaan maupun pemasok, menyumbang 27 titik api di Kalimantan Tengah, 11 titik di Sumatera Selatan, dan 2 titik di Jambi.
"Data kebakaran hutan itu tidak benar dan terkesan asal comot saja. Seharusnya Walhi tidak gegabah. Semua data harus diverifikasi dulu, jangan langsung menyebut Wilmar. Itu membahayakan."
-Komisaris Wilmar, M.P. Tumanggor, 2015
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo