Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Sasi Tak Hanya di Laut. Bagaimana Tradisi Ini Menyelamatkan Pala hingga Burung Maleo

Di Maluku, sasi juga diterapkan pada berbagai sumber daya alam agar tetap lestari dan kualitasnya terjaga. Apa saja?

23 November 2024 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivitas nelayan yang menangkap ikan di perairan Negeri Rutong, Maluku Tengah, 13 November 2024. TEMPO/Yosea Arga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tradisi sasi di Maluku tidak hanya berlaku untuk sektor perikanan dan kelautan.

  • Sasi juga berlaku untuk sumber daya alam lain, seperti pala, kelapa, dan burung maleo.

  • Dengan sistem lelang dan sasi, pengawasan dan pelestarian sumber daya alam bisa terjaga.

HAMPARAN pasir luas yang dikelilingi pepohonan rimbun menyambut Tempo dan rombongan Yayasan Jala Ina yang berkunjung ke Pulau Haruku, Maluku Tengah, Maluku, Kamis, 14 November 2024. Di hamparan pasir itu terlihat lubang-lubang galian bekas panen telur burung maleo (Eulipoa wallacei).

Kawasan yang terletak berseberangan dengan pesisir laut Negeri Kailolo ini merupakan tempat bertelur burung berjulukan burung gosong Maluku itu. Ketika kami sedang menyusuri lapangan berpasir itu, seorang laki-laki menyelinap masuk dari arah permakaman umum yang berada di sisi belakang Tanjung Maleo. "Beta yang kelola wilayah ini!" seru laki-laki itu. Ia lalu memperkenalkan diri, Abubakar namanya. 

Tahun lalu, Abubakar menjadi pemenang lelang pengelolaan habitat maleo itu dengan nilai Rp 40 juta. Dengan demikian, dia berhak menggali lubang tempat maleo bertelur serta terlibat dalam pengawasan sasi maleo. Sasi maleo merupakan salah satu sasi non-perikanan yang menjadi tradisi khas dan hukum adat di daerah yang berjarak 10 kilometer dari Negeri Haruku tersebut. 

Burung maleo sudah dikenal oleh masyarakat Negeri Kailolo sejak dulu. Merujuk pada penelitian berjudul "Pemetaan Kearifan Lokal Budaya Sasi di Negeri Haruku dan Negeri Kailolo, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah" yang ditulis Elisa J. Gaspersz dan Halvina G. Saiya, masyarakat Negeri Kailolo mempunyai legenda ihwal adanya maleo di negeri mereka.

Burung maleo dipercaya masyarakat sebagai bola emas yang dibawa para leluhur mereka. Bola emas itu menghilang di dalam pasir dan akhirnya menjadi telur maleo—yang kelak menetas menjadi maleo. Telur maleo bentuknya agak lonjong dan lebih besar daripada maleo itu sendiri. “Setelah bertelur, burung itu akan pingsan,” kata Sekretaris Negeri Kailolo Muksim Marasabessy. 

⁠Kapal nelayan di pesisir laut Negeri Rutong, Maluku Tengah, 13 November 2024. TEMPO/Yosea Arga

Muksim menyebutkan sasi maleo berlangsung sejak dulu. Biasanya, lelang sasi maleo akan dibuka tiap 31 Maret setiap tahun dan berlangsung di depan kantor pemerintah negeri. Pada momen itu, masyarakat dari seluruh penjuru Negeri Kailolo akan berkumpul dan melakukan proses lelang atau tawar-menawar harga. “Dari hasil pelelangan itu, uangnya diserahkan untuk pengelolaan masjid,” ucap laki-laki 55 tahun tersebut. 

Tinggal di dekat Tanjung Maleo, sejak kecil Muksim akrab dengan hiruk-pikuk lelang dan sasi maleo. Muksim mengatakan pemenang lelang tidak hanya bisa mengelola telur di Tanjung Maleo. Mereka juga berhak menjaga wilayah itu dari praktik pengambilan telur ketika sasi berlangsung. 

Menurut Muksim, dampak positif sasi di Tanjung Maleo adalah terjaganya ekosistem maleo. Pada saat musim bertelur, hampir sebagian besar maleo ada di wilayah tersebut. “Walau sehari-hari tidak ada di wilayah ini, burung itu selalu datang ketika musim bertelur,” tutur Muksim. 

Untuk menguatkan aturan sasi maleo di Negeri Kailolo, pemerintah negeri bersama Jala Ina baru saja membahas rancangan peraturan negeri. Direktur Eksekutif Jala Ina Muhammad Yusuf Sangadji mengatakan upaya memperkuat aturan sasi maleo lahir atas inisiatif masyarakat Negeri Kailolo. 

Empat kapal motor bersandar di tepian muara yang mengarah ke perairan Haruku yang merupakan lokasi sasi lompa, di Kecamatan Pulau Haruku, Maluku Tengah, 11 November 2024. TEMPO/Yosea Arga

Yusuf menuturkan tradisi hukum adat di Negeri Kailolo yang mengatur sasi maleo memuat nilai sosial dan budaya yang selama ini sudah dijalankan. “Ada prinsip keadilan di situ. Walhasil, masyarakat taat akan sasi yang berlangsung,” ujar Yusuf. 

Sasi non-perikanan di Maluku juga bisa dijumpai di Negeri Seith, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Wilayah yang berjarak sekitar 26 kilometer dari Kota Ambon itu terkenal dengan tradisi sasi pala. Serupa dengan sasi maleo di Negeri Kailolo, sasi pala di Negeri Seith juga menerapkan sistem lelang. 

Abubakar Hataul, salah seorang Kepala Soa—kumpulan marga di Negeri Seith—menyebutkan hasil lelang sasi pala itu sepenuhnya digunakan untuk masjid. Sistem kepanitiannya ditunjuk pihak masjid. “Maka katong mempertahankan itu demi menjaga kelestarian masjid. Jadi hasil sasi katong gunakan untuk itu,” kata lelaki yang akrab disapa Abu itu, Selasa, 12 November 2024. 

Sebelum proses lelang dilaksanakan, informasi awal akan disebarkan kepada masyakat melalui pelantang suara yang ada di masjid. Nantinya, masyarakat berkumpul di masjid untuk terlibat dalam proses pelelangan sasi pala. Sebagai penanda masa sasi tutup, panitia yang dibentuk dari masjid akan memancang tanda sasi berupa daun pala yang diikat di pohon pala.

Abu mengatakan potensi pala di kampung halamannya begitu berlimpah. Kualitas pala terbaik yang dikirim ke luar Maluku biasanya berasal dari Negeri Seith. Selain digunakan untuk keperluan masjid, sasi di Negeri Seith bertujuan meningkatkan kualitas pala serta mencegah adanya eksploitasi berlebihan terhadap pala. “Kalau ada yang ketahuan mencuri, katong hukum secara adat. Orang tua pun seng bisa lawan katong. Itu kelebihan sasi,” ucap Abu. 

Dengan adanya penanda semacam itu, tutur Abu, masyarakat Negeri Seith sudah paham bahwa sasi di kampung halaman mereka sedang berlangsung. Menurut dia, dengan berjalannya sasi secara konsisten, hasil pala di Negeri Seith makin berlimpah. Bahkan kualitas pala akan makin bagus. “Tanya saja pembeli-pembeli bagaimana kualitas pala dari Seith,” tutur Abu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Liputan ini merupakan bagian dari program jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support

Yosea Arga Pramudita

Yosea Arga Pramudita

Meminati isu-isu urban dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus