Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

investigasi

Komodo Vs Pembangunanisme Kolonial

Cypri Jehan Paju Dale
Warga Adat Flores, Peneliti pada Center for Southeast Asian Studies Kyoto University, Jepang

2 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Belanda memperlakukan komodo sebagai komoditas industrial

  • Atas nama pariwisata pemerintah Indonesia memperlakukan komodo juga komoditas ekonomi.

  • Pembangunan wisata ekslusif komodo membuat masyarakat tersingkir.

FOTO seekor ora atau sebae, nama asli komodo (Varanus komodoensis), berhadap-hadapan dengan sebuah truk di Pulau Rinca, Nusa Tenggara Timur, yang tersebar di media berita dan media sosial menjadi salah satu foto paling ikonik dalam sejarah hubungan satwa dengan manusia di Indonesia. Sebagai bagian dari program menjadikan Taman Nasional Komodo dan sekitarnya sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional, pemerintah membangun apa yang disebut sebagai sarana dan prasarana “wisata Jurassic” di Rinca.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bersamaan dengan itu, izin pengembangan resor eksklusif dan bisnis wisata lain digelontorkan di sejumlah lokasi strategis habitat satwa purba kebanggaan Indonesia itu. Momen yang terekam dalam foto ini menjadi historis bukan hanya karena untuk pertama kalinya truk dan mesin proyek lain merambah masuk ke habitat komodo, tapi juga lantaran perjumpaan tersebut menandai sebuah transisi besar bentang alam di barat Pulau Flores itu dari tempat perlindungan yang aman (safe havens) selama jutaan tahun bagi ora dan satwa penyertanya menjadi zona wisata berstatus Kawasan Strategis Nasional di bawah kuasa negara dan korporasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kendati baru menjadi intensif akhir-akhir ini, campur tangan penguasa dan pengusaha terhadap bentang alam dan peri kehidupan komodo terjadi sejak zaman kolonial Belanda. Kolonialis Eropa mengetahui komodo pada 1910 hingga kemerdekaan Indonesia pada 1945. Ada setidaknya 15 ekspedisi ilmuwan dan pebisnis satwa Barat ke Pulau Komodo.

Letnan J.K.H. van Steyn van Hensbroek, pejabat kolonial Belanda, adalah orang Barat pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Komodo. Dalam kunjungan itu, dia membunuh seekor komodo dewasa dan mengirim kulit serta fotonya kepada Peter A. Ouwens, Direktur Museum Zoologi dan Kebun Raya Bogor, Jawa Barat. Ouwens kemudian mengirim seorang kolektor ke Komodo yang membunuh dua komodo dan membawa dua komodo hidup ke Bogor. Pada 1912, Ouwens menulis sebuah artikel yang memperkenalkan ora kepada publik Barat, sebuah tulisan yang menggemparkan dunia dan memicu serangkaian ekspedisi ke Komodo.

Setelah Perang Dunia I reda, sebuah tim yang dipimpin W. Douglas Burden dari Museum of Natural History, Amerika Serikat, juga datang ke Komodo. Atas izin pemerintah kolonial Belanda di Batavia, tim Burden menangkap 27 ekor ora. Dua ora dewasa dibawa dalam keadaan hidup ke Amerika dan ditempatkan di Kebun Binatang Bronx, New York. Satu ekor dikirim ke Amsterdam dan lima lagi menyusul pada tahun berikutnya.

Dari lima ora itu, dua ekor dikirim ke kebun binatang di London, sementara kebun binatang di Amsterdam dan Rotterdam serta Aquarium Berlin masing-masing mendapat satu ekor. Dalam waktu singkat, ora menjadi termasyhur di Eropa dan Amerika. Kebun binatang dan museum dibanjiri pengunjung. Di New York, misalnya, pada 26 September 1926, wahana ora dikunjungi 38 ribu orang. Sejak saat itu, semua kebun binatang dan museum sejarah alam di Eropa dan Amerika berlomba mendapatkan koleksi komodo, hidup atau mati.

Menanggapi tingginya permintaan pasar global, pemerintah kolonial Belanda di Batavia mengembangkan dua kebijakan. Pertama, komodo ditetapkan sebagai reptil yang dilindungi. Kedua, proses penjualan diatur oleh administrasi pemerintah kolonial.

Sebagaimana dicatat sejarawan lingkungan Robert Gribbs (2007) dan Timothy Barnard (2011), kebijakan pemerintah Belanda menjadikan komodo sebagai reptil yang dilindungi diilhami oleh paternalisme kolonial yang bercampur aduk dengan kepentingan ekonomi. Mereka menganggap penduduk asli Komodo sebagai ancaman kerusakan lingkungan melalui aktivitas-aktivitas tradisional mereka, seperti berburu serta mengumpulkan hasil hutan dan laut. Sedangkan mereka sendiri bekerja sama dengan elite pribumi mengembangkan aktivitas-aktivitas borjuis, seperti olahraga berburu. Bahkan flora dan fauna Komodo pun mereka jadikan komoditas perdagangan global.

Setelah pemerintah Indonesia menguasai rakyat dan negerinya sendiri, intervensi terhadap komodo dan habitatnya menjadi makin intensif. Pada 1965, Komodo ditetapkan sebagai cagar alam. Pada 1980, di bawah asuhan lembaga bantuan pembangunan Amerika (USAID), habitat komodo di Pulau Komodo menjadi taman nasional.

Nasib tragis kemudian menimpa masyarakat yang hidup di bentang alam Komodo. Atas nama konservasi, permukiman mereka dipusatkan dalam satu enklave seluas 17 hektare saja. Tanah mereka dikuasai dan sejak itu berkebun menjadi terlarang. Mengambil hasil laut pun hanya diizinkan di kawasan tertentu. Kebun adat (lodok) di Loh Liang dibongkar. Warga yang menolak dianiaya dan dipenjara.

Pemerintah mendorong masyarakat mengubah mata pencarian ke sektor pariwisata. Mereka dilatih menjadi penjual patung dan pedagang makanan di Loh Liang. Saat ini setidaknya 127 orang menjadi pedagang di sana. Sekitar 100 orang muda menjadi naturalist guides, instruktur selam, atau agen perjalanan independen.

Sementara itu, praktik penangkapan dan pengiriman komodo keluar dari habitatnya terus berlanjut. Selain dikirim ke berbagai kebun binatang dalam negeri, komodo terus dikirim ke luar negeri, sebagian sebagai cendera mata persahabatan diplomatik. Penelusuran kami pada 2012 menunjukkan bahwa setidaknya ada 500 komodo yang tersebar di luar negeri, termasuk di Amerika Serikat, yang 40 kebun binatangnya mengoleksi komodo. Di sana komodo dikembangbiakkan dan terus diperjualbelikan di antara kebun binatang, juga menjadi obyek studi ilmiah multidisiplin.

Di Kepulauan Flores, populasi komodo di luar taman nasional menurun tajam. Di dalam taman nasional, aktivitas utama Balai Taman Nasional Komodo adalah memungut tiket dan berpatroli. Tidak ada program konservasi sistematis dan penelitian yang signifikan.

Selepas penetapan kawasan ini sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional oleh pemerintah Joko Widodo, nasib ora dan habitatnya serta warga di dalam kawasan taman nasional makin tidak menentu. Selain pembangunan sarana dan prasarana pariwisata, izin investasi resor eksklusif dan bisnis jasa wisata lain diberikan kepada orang-orang Jakarta yang dekat dengan pejabat.

Di Flores, istilah “orang-orang Jakarta” kini memiliki konotasi yang mirip dengan penguasa kolonial Eropa menjelang Indonesia merdeka. Orang-orang Jakarta adalah istilah untuk orang-orang yang memiliki kuasa dan uang, yang berlaku manis sambil mengincar tanah strategis, mengelola proyek-proyek kementerian, dan memanipulasi kepolosan warga lokal serta ketidakpahaman pemerintah daerah. Mereka adalah himpunan orang yang atas nama pembangunan merusak ekologi, menyingkirkan warga setempat, dan mengeksploitasi komodo demi keuntungan ekonomi mereka sendiri. Ketidakpuasan terhadap situasi itu, dan keinginan mempertahankan ekologi komodo yang lestari, mendorong masyarakat bangkit melawan.

Ketika pemerintah Nusa Tenggara Timur hendak merelokasi warga Komodo ke pulau lain pada 2019, ribuan warga Komodo menghadang tim terpadu yang terdiri atas pejabat berbagai kementerian dan Pemerintah Provinsi NTT di dermaga Komodo. Mereka menolak rencana pemindahan penduduk demi program pariwisata eksklusif super-premium di wilayah itu. Ketika melihat foto ora ikut menghadang truk proyek wisata Jurassic di Rinca, kita menjadi maklum bahwa baik ora maupun Ata Modo tidak akan membiarkan penguasaan ruang hidup mereka atas nama konservasi dan bisnis pariwisata.

Selama ribuan tahun, Ata Modo beserta komodo dan satwa lain hidup bersama dalam apa yang oleh para antropolog sebut sebagai kekerabatan antarspesies (interspecies companionship) (Haraway 2003; Tsing 2012; Dale dan Afioma 2020). 

Sebae dalam bahasa Modo berarti sebelah atau kembaran. Bagi Ata Modo, Varanus komodoensis dipercaya dan diperlakukan sebagai saudara kembar yang lahir dari rahim ibu yang sama. Tak hanya menjadi legenda adat, kepercayaan itu menandai praktik sehari-hari. Mereka berbagi ruang, tidak saling memusnahkan. Dalam berburu (sebelum dilarang), buruan selalu dibagi dua. Ata Modo mengambil daging isi, kaki, kepala, kulit, dan semua bagian dalam dipotong-potong dan diberikan kepada saudara kembarnya itu. Saat menemukan komodo mati di hutan, Ata Modo menguburkannya seperti manusia. Dan ketika berjumpa, Ata Modo berkomunikasi dengan sebae dalam bahasa Modo.

Pembangunan pariwisata super-premium dan konservasi yang dikembangkan pemerintah dewasa ini, sebagaimana environmentalisme kolonial pada zaman Belanda, tidak hanya mengabaikan sistem pengetahuan dan praktik arif Ata Modo serta suku-suku lain di Kepulauan Flores yang sudah berlangsung ribuan tahun. Malah ruang hidup komodo dirambah menjadi lahan bisnis pariwisata eksklusif super-premium, satwa dijadikan komoditas industrial, dan warga setempat disingkirkan.

Tidak mengherankan jika model pembangunan ala kolonial ini mendapat tentangan masyarakat lokal.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus