Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Wisata Komodo Harus Mahal

Wawancara dengan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno soal kontroversi pemberian izin pengembangan wisata premium di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur.


2 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno di kantor Kementerian LHK, Jakarta, Oktober 2017. TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENCANA pengembangan Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur menimbulkan kontroversi, terutama menyangkut konservasi komodo—hewan purba yang tersisa—satwa endemis lain yang hampir punah, juga masyarakat yang khawatir tersingkir oleh investasi besar.

Untuk mengetahui duduk soal rencana ini, Tempo menemui Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno pada 24 November lalu. Wiratno adalah pejabat yang membawahkan manajemen taman nasional dan isinya.

Mengapa pengembangan Pulau Komodo diserahkan kepada swasta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka sudah ada sejak 2014, tapi tak bisa membangun karena didemo terus. Kami minta perusahaan mengedepankan dialog dengan masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apa keuntungannya?

Sekarang tanpa investasi saja nilai ekonomi Rp 36 miliar setahun. Dari penelitian, tiap satu rupiah investasi akan berdampak 60 kali lipat pada ekonomi masyarakat. Mungkin memang tidak banyak, tapi kalau izin 55 tahun bisa mungkin juga. Saya belum tahu berapa nilai pastinya.

Apa yang Anda bayangkan dari pengembangan ini?

Keseimbangan antara wisata yang unik dan konservasi. Gambarannya disampaikan Bapak Presiden bahwa di zona khusus, terutama di Pulau Komodo, tidak boleh ada bangunan. Jadi meski ada izin wisata akan kami minta jangan dilanjutkan pembangunannya. Melihat komodo di alam liar itu tidak mudah, lho. Karena itu, untuk melihatnya harus mahal. Masak, lihat komodo cuma Rp 150 ribu.

Di Pulau Padar sudah ada pembangunan….

Secara aturan boleh karena sudah mendapatkan izin. Lagi pula, itu baru mes pegawai.

Jadi Komodo untuk wisata premium?

Bukan premium, tapi wisata alam liar, safari khusus. Di Afrika kita melihat hewan liar dari dalam mobil. Tidak ada persentuhan. Ada komodo di kolong dapur itu wisata macam apa? Kami ingin Komodo jadi wisata kelas dunia. Di Rinca boleh siapa saja.

Jadi wisata eksklusif di Pulau Komodo dan Rinca untuk siapa saja?

Kira-kira begitu.

Masyarakat bagaimana? Akan direlokasi?

Tidak ada relokasi, hanya penataan usaha kecil. Bukan orangnya yang pindah, tapi jualannya. Masyarakat menyangka investor akan menguasai pulau. Ya tidak begitu. Wisata hanya di zona pemanfaatan yang cuma 1,3 persen, selain itu alam liar. Komodo itu ada di 173 ribu hektare. Luas sekali.

Tapi mengapa zonasi taman nasional berubah?

Perubahan 2020. Zona khusus bertambah untuk perluasan permukiman.

Mengapa pengelola wisata bukan komunitas seperti di Tangkahan, Aceh?

Tipologinya beda. Di Tangkahan kontrol ada di desa. Komodo ini susah. Dalam turisme, kalau tidak by design, yang besar memakan yang kecil. Pemerintah menyeimbangkannya. PNBP (pendapatan negara bukan pajak) nanti sampai ke desa, tidak melulu di pusat.

Apa Anda tak khawatir pembangunan berdampak pada komodo?

Kita lihat spasialnya. Luas Pulau Rinca 22 ribu hektare. Ada 33 lembah yang ada komodonya, hanya satu lembah yang jadi zona pemanfaatan. Izin wisata hanya di situ. Itu yang ada elevated deck menghubungkan ke pusat informasi. Komodo, rusa, kerbau bisa lewat di bawahnya. Ini pemerintah yang membangun.

Sudah ada kajian dampak pembangunan terhadap hewan selain komodo?

Tidak sampai ke sana.

Menurut kajian Burung Indonesia, suara mesin dan alat berat bisa mengusir mereka dari pulau….

Gangguan suara pasti ada, tapi penebangan pohon hampir tidak ada, kecuali ranting yang dipotong. Perusahaan sudah menjalankan prinsip kehati-hatian.

UNESCO meminta penilaian dampak lingkungan kepada pemerintah. Swasta diminta juga?

Enggak. Secara aturan tidak perlu karena ada upaya pengelolaan lingkungan-upaya pemantauan lingkungan. 

Bukankah seharusnya ada analisis mengenai dampak lingkungan (amdal)?

Peraturan terbaru tahun 2019 nomor 38. Ada pengecualian. Swasta di tempat lain juga tak perlu amdal. Yang paling penting dari amdal adalah konsultasi publik agar melibatkan pakar. 

Apakah desain tapak boleh diubah? Di Pulau Tatawa, ruang usaha di zona pemanfataan diubah dari 6 hektare menjadi 17 hektare untuk mengakomodasi PT Synergindo Niagatama….

Dapat informasi dari mana? Aku enggak tahu detailnya. Zonasi diubah itu boleh, tapi ada syaratnya, yakni ruang usaha tak boleh memakan ruang publik karena ruang usaha untuk privat. 

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan akan membangun Pulau Muang untuk pertemuan G20. Pulau ini kan di zona inti….

Ya, di sana ada kakatua jambul kuning. 

Apa benar skenarionya pulau itu akan dikeluarkan dari zona taman nasional?

Oh, ya? Aku malah belum tahu. 

Anda akan menentang?

Sampean nanya terus, lha saya nanya ke siapa? Masih banyak pulau bagus di luar taman nasional. Kalau dikeluarkan dari taman nasional, diskusinya agak berat.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus