Masinis, pengatur perjalanan, penjaga lintasan, bahkan petugas kebersihan, adalah orang yang selama ini membuat layanan kereta bisa dinikmati publik. Kereta adalah sumber nafkah sekaligus takdir mereka. Ada kisah sedih, mencekam, tapi tak kurang pula yang menggemaskan. Berikut sebagian kisah mereka.
Kisah para masinis
Didit Sucahyo, masinis KRL, tidak pernah melupakan hari nahas itu, yakni ketika ia membawa kereta dari Manggarai menuju Jatinegara. Tepat di tikungan Gunungantang, dari arah berlawanan muncul kereta Parahyangan. Posisi yang kurang menguntungkan ini membuat jarak pandangnya terbatas. Ia tak menyangka ketika tiba-tiba tampak laki-laki tua di jalur kereta. Sekalipun Didit sudah secara refleks membunyikan seruling dan menarik rem, kecelakaan tak terhindarkan.
"Saat itu saya benar-benar merasa takut dan bersalah, dia punya keluarga, punya anak," ujar Didit, yang berusia 25 tahun ini. Selama perjalanan lanjutan menuju Bekasi, Didit banyak membaca Al Fatihah dan ayat Kursi agar perasaannya tenang. Yang juga agak membantu, saat itu Didit tengah menjalani puasa Senin-Kamis.
Didit mempunyai alasan mengapa ia tidak langsung menarik tuas emergency alias rem darurat. Bila itu dilakukan, ratusan penumpang lain justru terancam bahaya. Padahal, bagi seorang masinis, lebih baik mengorbankan satu nyawa daripada mengorbankan banyak nyawa. Namun, karena satu nyawa begitu berharga, ketika Didit tiba di Jatinegara sepulang dari Bekasi dan menemui jenazah korban, perasaan sebagai tertuduh datang lagi. "Sampai tiga hari, peristiwa itu masih membayang," kata Didit.
Selain peristiwa tadi, menurut Didit, masih banyak pengalaman yang tidak enak bagi masinis. Yang paling lazim adalah dimarahi penumpang bila kereta terlalu lama ngendon di stasiun. Padahal, kejadian itu bukan tanggung jawab masinis. Bahkan, ketika satu hari ia memperingatkan penumpang yang naik di atap kereta, jawaban yang diterima sangat menyakitkan. "Siapa kamu, memangnya kamu bapakku?" ujar Didit menirukan.
Umar Paksan, masinis kereta non-KRL Jakarta-Rangkasbitung, punya pengalaman yang lain. Satu malam, saat melintas di daerah Tenjo-Maja, mesin kereta yang dibawa Umar mati mendadak. Laki-laki berusia 34 tahun ini mengaku sempat bingung dan bulu romanya sempat berdiri. Maklum, daerah sepi pinggir hutan. Untungnya, setelah kutak-katik mesin sebentar, kereta jalan lagi. Usut punya usut, Umar akhirnya mendapat keterangan bahwa daerah tersebut angker. "Sekarang, kalau lewat daerah itu, saya bunyikan suling sebagai tanda permisi," ujar Umar sembari tangannya lincah memainkan tuas rem antargerbong yang diselingi rem independen lokomotif setiap kali mau berhenti.
Sepintas, melihat kerja Umar, menjalankan kereta api sepertinya tidak sulit. Jalan kereta pun terasa langsam tidak mengentak-entak. Dan Umar masih melanjutkan ceritanya. Menurut Umar yang asli Betawi ini, bekerja sebagai masinis tidak terlalu buruk penghasilannya. Apalagi menjelang Lebaran, banyak tambahan penghasilan. Ada bonus THR plus Jasprod (jasa produksi), sehingga ia bisa menabung meskipun gaji tidak sampai Rp 1 juta.
Trayek Tanahabang-Rangkasbitung ini bagi Umar dan rekan sejawatnya juga mempunyai berkah lain. Sebab, setiap hari bertemu dengan penumpang yang sama, hubungan mereka jadi sangat akrab. Beberapa wanita penumpang bahkan tak segan membawakan makanan. Menurut Umar, walau para wanita tadi umumnya sudah diberi tahu bahwa para awak kereta sudah berkeluarga, mereka tetap rajin mendatangi. "Pokoknya, Mas, yang namanya perempuan itu melihat kita kok pengen... saja, pengaruh besi kali. Besi kan mengandung magnet, jadi mereka maunya nempel saja, ha-ha-ha," ujar bapak empat anak ini berkelakar.
Kisah para penjaga perlintasan kereta api
Sore menjelang petang di kawasan Bumi Bintaro Permai. Sepasang mata lelaki tua nyalang menengok kanan-kiri. Tangannya memegang seutas tali panjang warna biru. Di ujungnya terkait palang pintu besi sepanjang lima meter. Satu-satu, pandangannya mengikuti laju mobil-mobil yang merangkak pelan melewati jalur rel kereta api yang agak menanjak.
Di bilik kecil itu, Husin, yang kini berusia 40 tahun, bertugas mengawal perlintasan dekat kawasan elite tersebut. Setiap bulan ia dibayar delevoper di situ sebesar Rp 250 ribu. Sudah tiga tahun ia di sana. Kerjanya sederhana, menutup dan membuka palang begitu kereta melintas. Saat itu, tombol sirene yang dibunyikan sebelum kereta lewat itu sedang rusak. Lampu sirene menyala merah, tapi suara yang keluar dari horn kecil itu cuma srek-srek. "Memang mudah. Hanya menarik dan mengulur tali ini," ujar Husin. "Tapi tanggung jawabnya besar: nyawa! Yang saya jaga ini nyawa orang," ujar mantan pedagang pakaian di Blok M ini dengan suara agak tinggi.
Husin tak salah. Sudah banyak nyawa melayang gara-gara pintu lintasan yang kurang cepat ditutup. Tak mengherankan bila Tanih, lelaki berusia 60 tahun yang menjadi penjaga lintasan di kawasan Citayam ini, selalu membentangkan tangannya untuk mencegah kendaraan masuk jalur lintasan bila peluit sudah terdengar.
Bagi Tanih, yang setiap harinya berseragam hansip ini, yang paling membanggakan adalah belum pernah terjadi kecelakaan selama ia bertugas. Ia bekerja 12 jam sehari. Penghasilan Tanih diperoleh dari imbalan pengemudi yang lewat. Dalam satu hari, ia bisa mendapat Rp 10 ribu. Namun, bila uang yang diberikan terlalu kecil, semisal Rp 100, ia menolak. "Itu namanya menghina," ujar bapak delapan anak ini.
Hujan deras adalah saat paling mencemaskan bagi para penjaga. Cuaca berkabut menghalangi pandangan. Bahkan, bagi petugas resmi seperti M. Hidayat, kondisi ini juga tak kalah menyiksanya. Kotak modul otomatis yang terletak dekat rel bila basah sering menyebabkan silang datar tidak bisa bekerja otomatis menutup atau membuka. "Terpaksa turun ke jalan pakai peluit dan bendera," ujar pegawai yang bergaji Rp 290 ribu ini.
Kisah petugas pengatur perjalanan
Bagi Rachmat Widjaja, setiap persilangan kereta memerlukan perhatian ekstra. Yang pertama perlu diwaspadai adalah penumpang. Bisa saja mereka mendadak menyeberang rel. Akibatnya, kecelakaan tak terhindarkan. "Kalau sudah tewas malah lebih mudah, namun kalau sekarat kita justru bingung, mau membantu takut ada kereta lain lewat," ujar Rachmat, yang sudah berdinas delapan tahun.
Kebingungan laki-laki berusia 34 tahun ini bisa dimengerti. Sering Rachmat yang bertugas di Stasiun Serpong ini berjaga seorang diri. Bila listrik dan genset mati, perpindahan rel harus ia kerjakan dengan manual. Tentu ini sangat menguras tenaga. Padahal, kereta yang datang cukup banyak. Akibatnya, kereta pun terlambat berangkat. Tak mengherankan bila ia juga harus merelakan dirinya dijadikan sasaran caci-maki penumpang.
Namun, keterlambatan ini kadang juga disengaja Rachmat. Ia memberi kesempatan bagi para pedagang sayur yang sibuk menaikturunkan bakul. Yang mengharukan, setelah selesai para pedagang tersebut memberi Rachmat imbalan Rp 1.000. "Terpaksa saya kembalikan karena niat saya sekadar menolong," ujar Rachmat yang bergaji Rp 400 ribu sebulan.
Kisah Kokom, petugas kebersihan
Lantai gerbong KRL niscaya memang tak akan pernah bisa dipakai berkaca. Namun, bila tak ada jasa Kokom dan kawan-kawannya, tingkat kebersihan di KRL akan makin mengerikan. Kokom adalah petugas kebersihan di Stasiun Bogor. Kaus kuning dengan tulisan Cleaning Servive di dada kiri adalah "busana nasional" Kokom setiap harinya.
Bila sedang santai, Kokom mengobrol bersama dengan teman kerja di kantor mereka. Canda tawa berulang kali terlempar di tengah kesibukan mereka memperbaiki rias wajah. "Kebetulan lagi bulan puasa, Mas. Jadi enggak banyak sampah di kereta," ujar Kokom, yang berusia 25 tahun.
Sebagai petugas kebersihan, Kokom dan teman-temannya sering menemukan barang penumpang yang tertinggal. Yang paling banyak tercecer adalah dompet. "Kalau ada nomor teleponnya, ya, kami telepon," kata Kokom, yang berpenghasilan Rp 4.900 per hari. Untuk itu, mereka biasanya mendapat uang tanda terima kasih Rp 2.500 sampai Rp 5.000 atau sekadar ucapan terima kasih.
Kokom juga sering dimarahi penumpang bila kaki mereka terkena sapu saat Kokom bertugas. Padahal, menurut Kokom ia sudah menyatakan permisi. Selain itu, ia juga sering digoda penumpang. Bahkan, ketika ia menyatakan sudah bersuami, sang penumpang masih mengejar.
Menceritakan saat digoda ini membuat Kokom bersemangat. Maklum, ia bertemu jodoh lewat jalan ini. Oktober 1997 lalu, seorang penumpang pria yang sedari tadi memperhatikan Kokom berkata, "Mbak, jangan nyapu di atas kereta, jadi bini saya saja." Akhirnya pria itu betul-betul menjadi suami Kokom. Tapi, "Sampai sekarang, saya masih juga nyapu di kereta," ucap Kokom tertawa renyah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini