Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AROMA rempah-rempah menusuk hidung begitu pramusaji rumah makan Manado, Nety, menyajikan rica-rica daging tenggiling. Vani, mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris Universitas Tanjungpura, bergidik melihatnya. Meski terbiasa memakan pelbagai jenis daging hewan liar, baru kali itu ia hendak mencoba tenggiling di rumah makan di pusat Pontianak ini pada Mei lalu.
Perempuan keturunan Dayak-Cina itu terbiasa memakan daging ular, labi-labi atau kura-kura air tawar, katak, kelelawar, bahkan monyet. “Tapi tenggiling baru mau mencoba,” katanya.
Tangan lentik perempuan 18 tahun itu mengaduk-aduk daging hewan bernama Latin Manis javanica yang dilindungi tersebut sebelum menyuapkan ke mulutnya yang mungil. Kelopak mata Vani melebar begitu ia mulai mengunyah. “Seperti daging sapi,” ujarnya. “Teksturnya juga mirip daging sapi,” Andri Yuliansyah, teman makan Vani, menimpali.
Daging tenggiling memang mirip daging sapi setelah dimasak. Warnanya cokelat, seratnya kasar. Malam itu, meski ditemani sebotol bir sebagai penawar, Vani dan Andri tak menghabiskan rica-rica tenggiling. Mereka lebih tergiur daging labi-labi dan beberapa katak. Untuk semua hidangan makan malam itu, Vani membayar Rp 225 ribu. Di nota tertera harga satu porsi rica-rica tenggiling Rp 70 ribu.
Di Pontianak, warung-warung makan setengah tertutup menjual daging tenggiling. Tak semua restoran menuliskan daging hewan nokturnal itu di menu. Pelayan restoran Nety di Jalan Pak Kasih itu awalnya menggelengkan kepala ketika Vani memesan daging tenggiling. Ia menunjuk ke papan menu di dekat kasir yang menunjukkan menu tenggiling dicoret dengan tinta hitam, diganti menu babi hutan.
Pelayan baru mengatakan mereka menyediakan tenggiling setelah Andri bertanya dalam bahasa Melayu. Selain menyediakan tenggiling, restoran milik pengacara Martinus Ekok itu menyediakan daging monyet, kalong, dan ular. Foto-foto Martinus yang sedang jalan-jalan ke berbagai negara bersama istrinya memenuhi ruangan rumah makan yang berkapasitas 40 kursi itu.
Martinus membenarkan rumah makan Nety itu miliknya, tapi menyangkal menjual daging tenggiling. “Sudah lama kami tidak menjual lagi,” katanya. “Sekarang kami tahu menjual tenggiling dilarang.”
Restoran Nety cukup terkenal di Pontianak. Maka, ketika Kepala Seksi Balai Penegakan Hukum Wilayah III Pontianak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutan-an David Muhammad diberi tahu bahwa restoran Nety menjual daging tenggiling, ia terkejut. “Nanti kami selidiki,” ujarnya.
Pasal 21 dan 40 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyebutkan setiap pelaku jual-beli satwa yang dilindungi negara, seperti tenggiling, diancam pidana penjara paling lama lima tahun serta denda paling banyak Rp 100 juta.
Menurut David, tenggiling di Pontianak biasanya dipasok dari daerah sekitar ibu kota Kalimantan Barat itu, seperti Melawi dan Sandai. Pontianak, kata dia, tempat bersemayam para pengepul besar. “Sedangkan pengepul kecil ada di daerah-daerah,” ujarnya.
Para pengepul kecil itu, menurut David, mendapatkan tenggiling dari pemburu yang tersebar di desa-desa di seantero Kalimantan Barat, terutama yang berbatasan dengan perkebunan sawit, habitat tenggiling. Para pemburu memakai anjing untuk mengejarnya. Selain memburu tenggiling,- kata David, para pemburu mengincar babi hutan, landak, kijang, atau hewan lain yang bernilai mahal di restoran.
Pada Maret lalu, tim Penegakan Hukum Lingkungan Pontianak menciduk Udong bin Kadus, pengepul kecil di Melawi yang memiliki 3,2 kilogram sisik tenggiling. Kepada petugas, Udong mengaku akan mengirimkan sisik tenggiling itu kepada seorang pengepul besar di Pontianak. Udong kini mendekam di penjara Sintang.
Kendati sudah jelas identitas pengepul besar yang menampung sisik tenggiling dari pengakuan Udong, petugas dan polisi belum menyentuhnya. Dari salinan percakapan telepon Udong yang sempat dilihat Tempo dan kini disita polisi, tercatat nama pengepul besar itu adalah Michael Kim alias Asin.
Asin tak terlihat lagi di rumahnya sejak penangkapan Udong. Menurut Akiam, istrinya, Asin sudah tak pulang ke rumah mereka di Pontianak selama empat bulan lebih. Nomor telepon yang biasa dipakai-nya juga tak aktif. “Terakhir dia SMS mau mencari tempat yang ada sinyalnya, tapi setelah itu tak bisa dikontak,” ucap perempuan 52 tahun itu. “Saya tidak tahu apa bisnis dia.”
Tiga tahun lalu, tim Penegakan Hukum Lingkungan Pontianak juga membongkar kepemilikan 200 kilogram daging tenggiling. Selain daging, ada sisik tenggiling dan awetan hewan tersebut. Petugas menangkap dua orang, tapi gagal meringkus bandar besarnya.
Menurut David, para pemilik sisik dan daging tenggiling itu mengaku hendak mengirimkannya ke Cina lewat perbatasan Malaysia. Ada juga yang dikirim ke Jakarta sebelum dijual ke Tiongkok. Selama tiga tahun tim Penegakan Hukum Lingkungan Pontianak menangani enam kasus penyelundupan sisik dan daging tenggiling.
Di pasar internasional, harga satu kilogram daging tenggiling dibanderol US$ 1.000 atau sekitar Rp 15 juta, sedangkan sisiknya US$ 3.000. Di tingkat pemburu, tenggiling dijual Rp 150-300 ribu per kilogram, sisiknya Rp 1,3-1,5 juta. Adapun di pengepul lokal, harga sisik Rp 1,5-3,25 juta.
Kota Sarang Para Pengepul/Tempo/Erwan Hermawan
Harga jual yang mahal itu membuat banyak orang di Kalimantan Barat nyambi menjadi pengepul. Dalam sebuah operasi penyamaran sebuah lembaga swadaya lingkungan, terungkap banyak penduduk menjadi pengepul meski pekerjaan sehari-harinya berdagang bahan kebutuhan sehari-hari di toko atau bekerja di bengkel sepeda motor.
Harga sisik di pengepul ini Rp 1,8 juta per kilogram. Seorang pemilik toko kelontong di Kecamatan Ledo, Bengkayang, mengaku punya tiga kilogram sisik yang siap jual. Tanpa sungkan ia memperlihatkan sisik tenggiling yang masih bau amis itu.
Pengepul ini, setelah meminta namanya tak ditulis, menceritakan secara gamblang bagaimana siasat dia dan para pengepul lain di Pontianak menghindari razia polisi. “Jangan memakai mobil, tapi sepeda motor,” ujarnya. Para pengepul, kata dia, tahu tenggiling hewan dilindungi dan tak boleh dijual. Ia menjadi pengepul karena tergiur harga mahal. “Lagi pula masih banyak di Ledo, di kebun sawit,” ucapnya.
Di Cina, tenggiling sangat populer. Menurut laporan Traffic.org, lembaga nirlaba yang bergerak di bidang perdagangan satwa, tenggiling menjadi salah satu bahan campuran obat tradisional yang berkhasiat meningkatkan sirkulasi darah dan merangsang air susu ibu, selain dipercaya meningkatkan gairah syahwat dan kecantikan.
Traffic menulis harga obat tradisional berbahan tenggiling dijual di 35 ribu kios, 97 pasar koleksi, dan 51 restoran di 12 kota di Cina. Karena populer, permintaan obat tradisional berbahan tenggiling menjadi tinggi. Masalahnya, tenggiling kian berkurang di Asia Tengah. Karena itu, para pengepul memburu hewan tersebut ke Indonesia, Vietnam, dan Thailand.
Karena tenggiling hewan nokturnal, dagingnya menimbulkan hawa panas dalam tubuh setelah dimakan. Vani dan Andri kapok memakannya. “Sehari setelah makan, saya muntah-muntah dan mencret,” kata Andri, melalui telepon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo