Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Para Penuntut Yang Dituntut

11 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERASAN dan penyuapan yang melibatkan para jaksa— profesi yang semestinya luhur dan mulia itu— bukanlah cerita baru. Dan sejarah menunjukkan bahwa praktek itu tak mustahil untuk dibuktikan dan diajukan ke meja hijau. Tentu saja, jika ada kemauan. Berikut beberapa kasus jaksa pesakitan yang sempat tersingkap:

  • Agustus 1971

    Mantan Jaksa Tinggi Sumatra Utara, M.D. Djuang Harahap, diseret ke pengadilan karena diduga menerima suap Rp 20 juta dari seorang saksi bernama Tjong A Fen. Uanga semir itu dimaksudkan agar Djuang melepaskan Liem Kai Ho dari tahanan. Liem adalah pengawas Bank Dagang Rahardja yang diduga terlibat dalam kasus manipulasi cek kosong.

  • Februari 1977

    Jaksa Agung Ali Said membebastugaskan Jaksa NS, Kepala Bagian II Kejaksaan Negeri Tangerang, gara-gara memeras Ateng Djuneidi alias Teng Jun Teng sebanyak Rp 5 juta. Ateng adalah terdakwa kasus penyelundupan uang palsu dari Hong Kong sebanyak Rp 14 juta. Buntutnya, Kepala Kejaksaan Tangerang, R. Soeroto, juga dibebastugaskan karena tidak melarang bawahannya melakukan praktek tercela itu.

  • Juni 1978

    Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jaksa Mulkan Djamal dihadapkan dengan tuntutan delapan bulan penjara. Ia dijerat tuduhan telah memeras Mustakim, seorang terdakwa kasus pembunuhan, Rp 1,5 juta. Sialnya, Zaidi, kakak Mustakim yang dikontak sang jaksa, ternyata seorang pesuruh di kantor J.B. Sumarlin, Menteri Penertiban dan Aparatur Negara. Sumarlin, yang dilapori hal itu, lalu memasang perangkap. Kasus itu terbongkar setelah sebuah telekamera menjepret adegan Mulkan yang sedang menerima uang semir.

  • Juli 1978

    Oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jaksa Setyana divonis delapan bulan kurungan karena terbukti memeras Hon Yin Hiung sebanyak Rp 1 juta. Ho, terdakwa sebuah kasus penipuan, menyetor uang itu, setelah ia ditakut-takuti oleh Setyana yang akan menahan istrinya, Jubaedah.

  • Agustus 1979

    Nadrah, seorang tukang jahit di Tanjungbalai, Sum-Ut, mengadukan Jaksa MSD dan Jaksa SK dari Kejaksaan Negeri Kisaran. Kedua "hamba hukum" itu rupanya tak pandang bulu. Mereka memeras Nadrah Rp 20 ribu agar perkaranya cepat beres. Nadrah sedang tersangkut sengketa pinjam-meminjam perhiasan senilai Rp 130 ribu.

  • Mei 1983

    Maria, seorang terdakwa kasus penggelapan 19 butir berlian senilai Rp 350 juta, menuding Jaksa Mardjuki Machdi telah memerasnya. Pengacara Maria, Yap Thiam Hien, juga bersuara keras soal penyogokan Lok Loan, seorang saksi dalam kasus itu, untuk sang penuntut. Tudingan itu dibantah Jaksa Machdi.

  • Agustus 1986

    Dua terdakwa perkara judi, Sie Ong Liem dan Tjeng Piu, "bernyanyi". Bunyinya gawat: Jaksa M. Darwis dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah menerima duit sogok Rp 9,5 dan 5,5 juta dari mereka. Belakangan terungkap bahwa praktek haram itu dilakukan dengan cara "mengebon" para pesakitan itu sejak dari Rumah Tahanan Pondokbambu. Terdakwa lalu diinapkan di hotel untuk bernegosiasi dengan jaksa.

  • Agustus 1987

    Azizah Alwi, sang tertuduh di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, meneriaki Jaksa Darwis sebagai pemeras yang telah menipunya. Azizah adalah tersangka penggelapan uang dan perhiasan senilai lebih dari Rp 200 juta, milik mantan wali kota Medan. Diiming-imingi tuntutan bebas, Azizah menyetor Rp 600 ribu.

  • Januari 1989

    Jaksa Jaluddin dan Sudarman dari Kejaksaan Negeri Kualasimpang, Aceh Timur, dituduh menerima "duit tahu sama tahu" dari gembong penyelundup bawang putih, Alieng dan Afu. Berkat dua bilyet giro senilai Rp 9 juta, Pak Jaksa lalu melepas tongkang berisi 12 ton bawang putih selundupan senilai 36 juta.

  • April 1989

    Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pengacara beken O.C. Kaligis menuduh Jaksa Effendi Rais telah menerima suap Rp 50 juta dari saksi Subyakto dalam kasus korupsi di Direktorat Jenderal Imigrasi, senilai lebih dari Rp 1 miliar. Imbalan yang ditawarkan sang jaksa berupa pengenduran tuntutan. Subyakto cuma akan dikejar dengan hukuman percobaan dua tahun. Pihak Kejaksaan membantah keras tudingan ini.

  • Juni 1992

    Seorang petani miskin di Deli Serdang, Sum-Ut, Abdul Rahman, tawar-menawar dengan Jaksa Syamsul agar tak dihadapkan ke meja hijau. Ia dituntut satu tahun kerangkeng dalam kasus pemalsuan tanda tangan jual-beli tanah. Sang jaksa tetap menyeretnya ke pengadilan. Soalnya, dari Rp 500 ribu yang disepakati, Rahman baru sanggup menyuguhkan 100 ribu. Itu pun hasil pinjamannya dari tetangga. Di persidangan, Syamsul berdalih bahwa duit itu untuk jaminan tahanan luar. Tapi, Pengadilan Negeri Lubukpakam menyatakan bahwa Syamsul tak pernah menyetorkan uang itu ke kas negara.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus