Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengalaman Bambang Soediono alias Sudi Bule--seorang bos parkir kawasan Manggabesar--di atas sudah menjadi soal sehari-hari di kalangan kaum kebanyakan yang menggantungkan hidup pada usaha parkir. Sepintas, kegiatan ini tampak begitu mudah dilakukan: tanpa investasi--kecuali tubuh yang kuat menahan hujan dan panas serta suara yang menjeritkan seruan awas kepada setiap pengendara mobil yang keluar masuk tempat parkir.
Parkir adalah kegiatan menghentikan atau menyimpan (kendaraan bermotor) di sebuah tempat yang sudah disediakan. Sebuah aktivitas khas masyarakat urban yang mengingatkan orang pada problem jumlah mobil dan kemacetan. Namun, manakala istilah ini diterjemahkan ke dalam dimensi ekonomi, bentuknya beralih menjadi "kue" bisnis berharga puluhan miliar rupiah.
Hitung-hitungan konservatif yang dibuat Wakil Ketua Komisi D DPRD DKI, Fatommy Asaari, S.H., adalah Rp 72 miliar per tahun untuk Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta saja. Fatommy mengambil angka 2 juta kendaraan yang beredar di Jakarta, lalu mengasumsikan ada 800 ribu unit mobil yang diparkir tiap hari dengan tarif Rp 500 saja per hari. Hasilnya sekitar Rp 6 miliar sebulan atau Rp 72 miliar setahun. Apakah jumlah dana parkir memang sehebat ini? Ya bila seluruh manajemen perparkiran dikelola dalam jalur yang jelas, teratur, dan yang paling penting: bersih. Tidak bila usaha parkir lantas menjadi sebuah kue yang diperebutkan oleh banyak pihak, lengkap dengan riwayat kebocoran di sana-sini.
Pemda DKI sendiri--entah realistis entah pesimistis--menetapkan angka jauh lebih sederhana dari hitungan "wah" Fatommy Asaari. Tahun 1997/98, misalnya, Badan Pengelola (BP) Perparkiran DKI Jakarta menargetkan angka Rp 25 miliar, sementara pemasukan hanya Rp 13.688.936.290. Tahun ini, targetnya tak sampai sepertiga hitungan tahun lalu: Rp 7,85 miliar, dengan pemasukan (sampai November 1998) Rp 4.566.617.689. Penurunan target ini memang ada hubungannya dengan pengurangan lahan parkir yang dikuasai Pemda DKI.
Wakil Kepala BP Perparkiran DKI, Ir. Bubung Burhana, dalam wawancara dengan TEMPO pekan lalu mencontohkan, lokasi parkir tepi jalan di bawah Pemda DKI hanya menempati 311 ruas dari 519 ruas (sekitar 1.200 petak parkir). Lingkungan parkir berkurang dari 5 unit menjadi 3 unit (1.470 petak parkir). Pelataran parkir turun dari 4 unit menjadi 2 unit (1.430 petak parkir). Sedangkan gedung parkir tinggal satu unit (600 petak parkir). Berkurangnya luas lokasi parkir ini membuat Bubung sampai pada angka realistis Rp 7 miliar lebih.
Namun, target tadi tampaknya dihitung secara sangat sederhana dan tidak meyakinkan. Target yang lebih akurat bisa lebih besar. (Lihat Tabel.)
Turunnya target juga berlaku di kalangan parkir swasta serta "parkir gelap" di jalanan. Persaingan di marka-marka jalan ini juga jauh lebih keras, lebih-lebih tatkala penghasilan menurun karena orang mulai pikir-pikir bermobil ke luar rumah dengan alasan keamanan. Alhasil, sepetak lahan parkir mendadak menjadi jauh lebih bernilai dan harus dipertahankan dengan cara apa pun.
Anak-anak muda Kebonjahe yang menangani parkir di Tanamur?diskotek di seberang kampung tersebut--misalnya, bersemboyan "Hidup dan Mati dalam Kekerasan", sebuah kredo yang diulang-ulang untuk meneguhkan diri saban kali ada pihak yang mencoba yang menginvasi atau menyerobot lahan parkir mereka.
Tarif parkir mobil rata-rata di diskotek itu Rp 3.000 per mobil semalam. Tapi yang diterima dari konsumen bisa meningkat sampai Rp 5.000. Itulah pengakuan Yudi, 24 tahun, salah seorang juru parkir yang menguasai salah satu dari tujuh blok parkir yang ada di sana. Dalam semalam, sedikitnya ada tujuh mobil yang diparkir dalam bloknya. Dengan hari "dinas" dua kali dalam seminggu, Yudi bisa memperoleh penghasilan kotor sekitar Rp 168 ribu per bulan. Itu bukan jumlah besar, apalagi mereka masing-masing harus menyetor Rp 61 ribu ke Manik, seorang koordinator parkir Tanamur, yang kemudian menyetornya lagi ke BP Perparkiran DKI. "Namun, ini usaha turun-temurun yang kami lakukan untuk menyambung hidup," ujarnya kepada TEMPO.
Di kawasan Manggabesar, Bang Sudi, sebutan populer Sudi Bule, 43 tahun, mengelola parkir seluruh kawasan itu, termasuk Lokasari. Parkir di Manggabesar dikenai ongkos Rp 1.000 untuk jam pertama, disusul Rp 500 pada jam berikutnya. Untuk deretan parkir yang di pinggir jalan, harganya lebih relatif, tergantung tukang parkir. Sudi mewarisi area parkir ini dari ayahnya, seorang purnawirawan ABRI. Rezeki dari lahan parkir di Manggabesar telah mengantarkan Sudi, sang "street soldier", ke kehidupan kelas menengah baru: rumah mentereng berlantai dua di kawasan Manggabesar XIII, televisi raksasa dengan beberapa saluran luar negeri, perangkat sofa mewah, dan vila di kawasan Palem Garden, Puncak, serta dua kali naik haji.
Untuk mengatur lahan parkirnya sepanjang Manggabesar, Sudi--yang kini hanya menjadi pengawas usahanya--mempekerjakan 12 tukang parkir yang masing-masing memiliki dua pembantu.
Bicara harga parkir, tarif paling edan agaknya terjadi di secure parking, tempat parkir yang dikelola perusahaan swasta. Begitu masuk, hitungannya Rp 2.000 untuk dua jam pertama. Dari sini argo berputar Rp 1.000 untuk setiap jam berikutnya. Jadi, silakan hitung berapa yang harus Anda bayar bila mesti punya urusan sehari penuh di gedung tersebut. "Ini tidak adil buat konsumen. Anda bisa membayar parkir sampai Rp 15 ribu, tapi tidak ada asuransi. Jadi, tidak ada jaminan mobil kita aman ditaruh di sana," ujar Tini Hadad, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.
Sampai kini, secure parking di bawah bendera PT Securindo Packatama Indonesia mengelola 100 lebih outlet di seluruh DKI. Lokasinya di gedung-gedung perkantoran dan plaza-plaza serta pusat perbelanjaan. Namun, sistem pengelolaan bisnis ini tampaknya dilakukan dengan sangat tertutup.
Seorang pegawai di sebuah gedung perkantoran di Jakarta Selatan memohon agar namanya dan gedung tempatnya bekerja dirahasiakan benar-benar ketika TEMPO mencoba meminta informasi ke sana. "Kami dilarang bicara kepada wartawan, Mas," ujarnya setengah berbisik. Sistem secure parking sendiri adalah pengelolaan parkir dengan manajemen modern di gedung-gedung perkantoran dan berbagai pusat perbelanjaan.
Adapun peta perparkiran Jakarta--dan kota besar lain seperti Surabaya dan Medan--bisa dibagi ke dalam beberapa "konsesi" wilayah. Pertama, BP Perparkiran di bawah Pemda DKI. Kedua, pihak swasta. Yang terakhir ini dibagi lagi ke dalam dua bagian. Pertama, swasta model secure parking yang hanya memberikan jasa pengelolaan tanpa modal gedung. Kedua, gedung-gedung perkantoran yang mengelola manajemen parkir sendiri. Di luar itu, ada parkir-parkir gelap yang mengantongi hasil parkir sendiri tanpa perlu menyetor retribusi ke instansi mana pun--kecuali upeti kepada para "penguasa" setempat. (Lihat Tabel.)
Masih dalam urusan parkir swasta, pada Oktober 1997, keluarlah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 20/1997, yang menghapuskan wajib setor retribusi parkir 25 persen. Yang harus dibayar si pengusaha parkir kepada pemerintah daerah hanya pajak pendapatan sebesar 10 persen. Hal ini amat menyesakkan hati Fatommy Asaari. "Perda ini membuat pendapatan pemda semakin berkurang. Bayangkan, penghasilan pemda hanya masuk dari marka jalan. Pola ini harus diperbaiki karena pengusaha sangat lihai memanfaatkan peraturan ini menjadi lahan paling subur," ujarnya. Anggota FKP ini kemudian menambahkan, dengan tarif parkir swasta yang gila-gilaan, angka Rp 100 miliar bukan hal mustahil masuk ke sektor parkir swasta. Tak aneh, kini DPRD DKI sedang menggodok peraturan agar semua lahan parkir yang dikelola swasta dikembalikan lagi ke tangan pemerintah.
Gairah bisnis parkir juga terlihat dari jual beli lahan di berbagai kawasan parkir hingga perebutan lokasi yang melayangkan nyawa manusia. Yudi, tukang parkir di Tanamur, misalnya, membeli "hak" atas blok parkir seluas badan tujuh mobil seharga Rp 1,4 juta dari tetangganya di Kebonjahe, Tanahabang. Sementara itu, hak pengelolaan sebuah lokasi parkir Sudi Bule bisa laku Rp 50 juta per bulan. Untuk itulah ia siap bertarung setiap saat kalau ada yang mencoba berinvasi.
Tak aneh, perebutan wilayah parkir bisa berbuntut pada kisah pembunuhan. Ini terjadi, misalnya, tatkala dua organisasi pemuda berebut lahan parkir di Jalan Surabaya dan Jalan Cirebon, Medan, pada Selasa, 14 Juli silam. Di Jakarta, ketika TEMPO memantau kawasan Ketapang, Blok M, Manggabesar, Senen, dan Tanahabang, terlihat betapa ketatnya setiap pemilik menjaga lahan bisnis ini. Nyawa belum sampai melayang, setidaknya dalam bulan-bulan terakhir, tapi sekadar darah mengalir dalam perkelahian sudah menjadi soal jamak.
Dalam perekonomian yang lesu seperti ini, tampaknya argo berputar tidak terlalu cepat untuk pengusaha parkir swasta. Namun, Tini Hadad meragukan hal itu. "Jika rugi, kenapa orang-orang berlomba membuat parkir swasta, lengkap dengan pengelola dari luar negeri?" ujarnya tajam. Tini bisa jadi benar. Namun, seperti halnya semua bisnis, derajat kemakmuran yang lahir dari usaha itu tetap saja berlapis-lapis. Di secure parking, petugas bisa langsung mengubah karcis masuk menjadi tumpukan rupiah di dalam laci. Tapi ada pula yang melakukan hal itu sebagai pilihan terakhir. Seperti yang diucapkan Anto Baret, pengamen jalanan yang menjadi bos parkir di kawasan Bulungan: "Pekerjaan ini semata-mata penyambung hidup. Karena, siapa sih di Indonesia ini yang bercita-cita menjadi tukang parkir?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo