Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Budaya Parkir Kosmopolitan

14 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga surat pembaca muncul di sebuah harian terkenal Ibu Kota pada Mei - Oktober 1997. Isinya senada: memprotes pelayanan valet parking di dua hotel dan sebuah restoran di Jakarta Pusat dan Selatan. Hanya tiga surat. Tapi untuk sebuah pelayanan valet, tiga surat protes dalam lima bulan bisa membuat dek-dekan. Maklum, di negeri asalnya, Prancis, valet (tanpa parking) adalah sebuah kata yang langsung mengingatkan orang pada pelayanan parkir kelas atas tanpa cacat.

Kata valet berasal dari bahasa Prancis yang berarti pelayan. Keluarga kaya dan ningrat di Prancis memiliki valet de pied, pelayan khusus dengan seragam khusus untuk melayani tuan dan nyonya rumah. Istilah ini kemudian digunakan untuk kegiatan memarkir mobil. Dari Prancis, istilah ini menyeberang ke Amerika menjadi valet parking. Di negeri itu, pelayanan parkir model ini sudah menjadi bagian dari setiap acara besar--di luar hotel dan restoran bergengsi. Acara Piala Oscar, misalnya, selalu menyertakan valet parking. Bintang film akan melenggang meninggalkan mobil mahalnya begitu saja. Dan si petugas valet sigap menyambar kunci mobil lalu memarkirnya ke tempat yang aman.

Di Indonesia--Jakarta, tepatnya--valet parking diperkenalkan pada 1994 oleh Lukito Soetanto S.M. Direktur Pelaksana Le Gong Valet Parking Service ini mula-mula membuka pelayanan jasa parkir ini di Hard Rock Cafe, Sarinah, Jakarta Pusat. Dari sini, Lukito memperlebar usahanya ke Menara Imperium, Pondok Indah, dan lain-lain. Wilayah jangkauan Le Gong masih terbatas pada gedung kantor, pusat belanja, restoran, dan kafe, belum sampai ke hotel-hotel. Kini, Le Gong memiliki 11 outlet di seluruh Jakarta.

Berbeda dengan Secure Parking, Le Gong tidak menyediakan tempat parkir atau mengelola parkir di sebuah lokasi. Yang ditawarkan valet semata-mata jasa. Tujuannya, agar si pemakai mobil tidak perlu berputar-putar mencari lokasi parkir dan memarkirnya sendiri. Cukup berhenti di depan pintu, lalu serahkan kunci ke petugas Le Gong yang berseragam rompi bergaris-garis hijau. Si pemilik mobil akan menerima sebuah tiket yang sekaligus menunjukkan biaya minimum yang harus dibayar pada saat mobil itu dikembalikan petugas ke pemiliknya. Untuk Le Gong, Rp 3.000.

Menurut Lukito, biaya minimal ini untuk membayar parkir di lokasi tersebut. Biaya ini yang kemudian ditagihkan kembali ke konsumen dalam bentuk ongkos minimum. Sedangkan tipnya, terserah konsumen. Besarnya, menurut Lukito, Rp 5.00 hingga Rp 2.500." Bisa juga lebih dari itu. Amelia, seorang konsultan hubungan masyarakat di Jakarta, yang kerap menggunakan jasa valet di dalam dan luar negeri, menyebutkan bahwa ia biasa membayar Rp 10.000 untuk sekali menggunakan valet parking di Jakarta.

Selain menyewakan jasa pada 11 outlet, Le Gong juga kerap mengelola acara pesta atau resepsi. Jasa ini tidak ditetapkan dengan patokan harga. Jadi, kelebihan pemasukan--di luar ongkos minimun--banyak bergantung pada tip konsumen. Dalam sebulan, menurut Lukito, pemasukan bisa Rp 10 juta hingga Rp 20 juta rupiah.

Sebagai valet parking, Le Gong tidak punya hubungan operasional atau komitmen apa pun dengan PB Perparkiran DKI. Alasannya? "Kita tidak memungut biaya parkir dengan patokan harga tertentu, baik dari segi waktu maupun tempat. Yang membayar parkir si konsumen, kita hanya memarkirkan dan memperoleh tip dari situ. Makanya kita tidak punya hubungan apa-apa dengan dinas perparkiran," tutur alumni Sekolah Perhotelan Bandung ini.

Standar pelayanan valet berlaku internasional. Misalnya, si petugas tidak boleh mengubah tempat duduk karena akan membingungkan pemilik mobil saat ia harus menyetir kembali mobilnya.

Valet, dalam dunia Barat, sudah menjadi pola hidup yang sangat membudaya. Mobil mewah seperti BMW selalu menyertakan kunci khusus valet untuk setiap produknya. Sehingga si pemilik mobil masih menyimpan kunci pribadi selain kunci valet yang digunakan petugas. Jakarta kini sudah menjadi bagian dari budaya parkir internasional. Yang masih perlu dijaga, barangkali "budaya pelayanan"-nya. Sehingga orang tak perlu terus-menerus menulis surat protes di media massa untuk sebuah servis yang seharusnya tanpa cacat dari mutu dan citra.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus