Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Sepotong Jalan Adalah Uang

Peluit berbunyi, miliaran rupiah menari. Dengan jumlah kendaraan yang fantastis di Jakarta, parkir adalah bisnis yang menggiurkan, dan ketat diperebutkan, antara lain oleh siapa lagi kalau bukan Keluarga Cendana. Mengapa Badan Pengelola Parkir DKI Jakarta tak pernah untung dan justru rugi melulu?

14 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPOTONG jalan berarti gemerincing rupiah. Begitulah filosofi manusia perparkiran yang menguasai Jakarta. Maklumlah, hampir tak ada badan jalan menganggur di Ibu Kota. Dari jalan sempit hingga pekarangan orang bisa disulap menjadi uang. Seorang ibu pernah tarik urat dengan anak tanggung yang meminta imbalan atas jasanya menahan laju kendaraan dari arah lawan. "Gila, apa? Ini rumah saya sendiri, kok ditarik duit parkir?" katanya sembari bersungut-sungut. Selain potongan jalan, gedung perkantoran juga jadi incaran. Yang bermain, tentu saja, bukan orang sembarangan. Ladang ini agak eksklusif. Jadi, ya, sori saja. Anak tanggung yang bermodal sempritan bukan kelasnya.

Sebab, menjaring rupiah di sektor ini sekurangnya harus memiliki modal dan memahami seluk-beluk manajemen perparkiran. Dengan sistem bagi hasil dengan pemilik gedung, menjamurlah pengelola parkir swasta. PT Securindo Packatama Indonesia adalah salah satu perusahaan yang memelopori "secure parking", jasa pengelola lokasi parkir di gedung dan lahan perkantoran serta pusat perbelanjaan. Omzet bisnis "secure parking" ini mencapai Rp 78 miliar per tahun, cukup untuk menggoda PT Tetuko milik Keluarga Cendana memasukinya belakangan.

Banyaknya uang yang bisa dikail dari lantai parkir melahirkan pula ide untuk menyediakan jasa pencarian lokasi parkir sekaligus pengantaran kembali ke hadapan pemilik kendaraan. Jadi, pemilik tak perlu repot mencari ruang parkir. Begitu pula bila pemilik selesai berbelanja, kendaraan sudah disiapkan di muka gedung. Sektor ini antara lain digarap Lukito Sutanto, bos "valet parking" Le Gong, yang menguasai 11 gedung perkantoran, pertokoan, dan restoran internasional. Satu perusahaan ini saja punya laba bersih Rp 75 juta per bulan.

Singkatnya, tak ada bisnis jalanan yang semeriah perparkiran. Perkembangannya seiring dengan populasi kendaraan yang terus meningkat. Menurut M.U. Fathommy Asaari, S.H., Wakil Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, jumlah kendaraan di Ibu Kota saat ini mencapai 2 juta unit.

Taruhlah dari angka itu cuma 800 ribu unit yang menyewa lahan parkir setiap harinya. Bila tarifnya mengacu pada peraturan daerah (perda) sebesar Rp 300 per jam, dalam setahun dana yang berpindah tangan dari pemilik kendaraan ke juru parkir mencapai lebih dari Rp 86 miliar.

Padahal, di tangan juru parkir, tarif bisa menggelembung bak bola salju. Ada yang memasang banderol Rp 500 per jam, tak sedikit pula yang memaksa pemilik kendaraan untuk membayar seribu rupiah. Di Pasarbaru, misalnya, sekali parkir bisa Rp 2.000. Artinya, bisa berlipat-lipat dari tarif perda tadi yang dimaksudkan untuk melindungi konsumen parkir.

Semakin malam, tarifnya semakin "semau gue". Yadi, 24 tahun, yang menguasai lintasan parkir di diskotek Tanamur, Tanahabang, tak sungkan-sungkan untuk menarik bayaran Rp 3.000 kepada pemilik kendaraan. Di pusat-pusat hiburan malam di Jakarta Kota, tarif Rp 5.000 sudah menjadi pasaran.

Di ITC Manggadua, misalnya, tarif parkir ditetapkan Rp 1.000 per jam. Di Atrium Senen atau gedung Bursa Efek Jakarta lebih mahal lagi, yakni Rp 2.000 per jam. Hitung sendiri bila sekali parkir menyita waktu lima jam. Ringkasnya, membuang uang Rp 10 ribu untuk parkir adalah hal yang jamak dan bukan sesuatu yang mengejutkan.

Karena itu, bila mengacu pada kenyataan di lapangan, masih kata Fathommy, duit masyarakat yang berputar dari ladang parkir dalam setahun bisa menggelembung sampai Rp 100 miliar. Nah, siapa yang tak tergiur?

Bagi Badan Pengelola (BP) Perparkiran DKI Jakarta, angka itu tak cuma kerap menerbitkan air liur, tapi bisa juga merepotkan bila harus ditangani sendiri. Sebab, kantor pemerintah yang dipimpin Sumaryono itu cuma punya 768 karyawan yang diterjunkan khusus menangani masalah perparkiran, khususnya di ruas-ruas jalan.

Karena itu, BP Parkir merekrut masyarakat setempat untuk menjadi juru parkir. Bagai gayung bersambut, peminatnya membeludak. Organisasi massa sekelas Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan ABRI (FKPPI) tercatat ikut bermain. Hal ini diamini Indra Bambang Utoyo, Sekretaris Jenderal FKPPI. Menurut Bambang, kendati usaha parkir bukan bisnis utama organisasi yang dipimpin Bambang Trihatmojo ini, toh diakui mampu mengatasi persoalan ekonomi sebagian anggotanya. "Karena anak ABRI juga banyak yang susah," katanya.

Hanya saja, ia tak paham betul wilayah yang diplot kelompoknya, begitu pula total dana yang berhasil dihimpun dari ladang ini. Yang pasti, agar tak terjadi senggolan dengan "akamsi" (anak kampung situ) maupun organisasi massa yang lain, pihaknya membuat semacam pembagian teritorial. "Antara lain dengan Pemuda Pancasila," ujarnya.

Itu yang terorganisasi. Yang perorangan juga banyak. Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) pimpinan Anto Baret, misalnya, mengaku sudah sejak lama menguasai Jalan Bulungan, terutama bahu-bahu jalan di depan sekolah di kawasan itu.

Pada lahan sepanjang sekitar seratus meter itu, ia menerjunkan tiga juru parkir non-organik serta 20 orang yang tak terdaftar. Urusan pendapatan, Anto tampak malu-malu untuk mengungkapkan angkanya. "Tak banyak. Cuma habis buat makan saja," kata pengarang lagu Lonteku yang dinyanyikan Iwan Fals itu.

Di daerah Senen, Jakarta Pusat, juru parkir yang bersinergi dengan BP Parkir juga menyebar di mana-mana. Di Gelanggang Remaja Senen, misalnya, bercokol Erwin Bambang. Pria Surabaya berkulit sawo matang itu membawahi enam juru parkir yang mampu menghasilkan dana segar Rp 90 ribu per hari.

Di Jakarta Kota, nama Sudi Bule identik dengan dunia perparkiran. Wilayah yang dikuasainya lumayan luas, dari Manggabesar hingga Lokasari. Ada selusin pasukan yang diterjunkannya. Setiap pasukan dikawal dua anak buah. Mereka inilah yang mengatur arus parkir sekaligus mengutip dananya.

Dengan tarif lima ratus hingga seribu rupiah, anak buah Sudi mengantungi Rp 30 ribu per hari. Ia sendiri kebagian Rp 100 ribu. Angka ini jelas lumayan. Makanya, ia selalu siap pasang badan bila ada yang berniat merebutnya.

Tak usah heran. Dari hasil parkir saja, Sudi mengaku hidupnya mapan. Dua tahun lalu ia menunaikan ibadah haji, dan sejak 1995 ia bisa bersantai di villa pribadinya di Puncak, yang dibeli seharga Rp 350 juta.

Singkatnya, sistem kerja yang dilakukan BP Parkir bersama masyarakat setempat menghasilkan sinergi positif. Dari lahan yang ada, BP Parkir dapat menyumbang retribusi untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Masyarakat setempat pun ikut menikmati hasilnya.

Hanya saja, BP Parkir selalu kedodoran untuk mengontrolnya. Menurut Ir. Bubung Burhana, Wakil Kepala BP Parkir Pemda DKI Jakarta, dana parkir tak bisa sepenuhnya mengalir dan bocor di tengah jalan. Ia menuding, biang kebocoran terjadi di lapangan. Katanya, juru parkir non-organik itu tak pernah jujur mengungkap jumlah kendaraan yang menyewa lahan parkir. Sistem bagi hasil yang diberlakukan, belakangan, kerap dilanggar. "Ini persoalan klasik yang dari dulu hingga sekarang tak pernah selesai," kata Bubung.

Betulkah? Soal itu tak ditampik Sudi. Pihaknya memang suka juga menunggak setoran. "Kalau tak dapat duit, ya, tak setor," katanya memberi alasan. Hal senada juga diakui Anto Baret. "Dulu bisa menyetor 80 persen dari pendapatan. Sekarang duit susah, ya, yang penting anak-anak bisa makan dulu," katanya.

Tini Hadad, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), punya jawaban tersendiri. Dari survei lapangan yang dilakukan, ia menemukan banyak kejanggalan. Selain menguap ke kantung juru parkir, penerimaan juga amblas di tangan penerima setoran.

Asumsinya begini. Selama ini, jumlah karcis yang beredar menjadi tolok ukur besarnya pendapatan. Pada prakteknya, tak semua pemilik kendaraan diberi karcis parkir. Jadi, juru parkir bisa saja mengaku kalau karcis yang laku cuma segelintir saja.

Menurut Tini, cerita akan menjadi lain kalau BP Parkir melakukan riset lapangan tentang perkiraan pendapatannya per hari, bulan, dan tahun. Bila hal itu dilakukan, bisa diketahui angka riil yang seharusnya diterima. "Jadi, bila melenceng, bisa diaudit dan diketahui di mana bocornya," ujar Tini.

Alhasil, target yang digenjot BP Parkir dari tahun ke tahun tak pernah kesampaian. Periode 1994 - 1995, misalnya, dari target Rp 13,6 miliar, cuma Rp 9,5 milar yang berhasil diselamatkan. Paling parah tahun lalu. Dari estimasi Rp 25 miliar, yang terealisasi hanya Rp 13,6 miliar.

Tahun ini target diturunkan menjadi Rp 7 miliar saja. Tapi dari catatan yang dikeluarkan BP Parkir, hingga November silam baru terkumpul Rp 4 miliar. Padahal, untuk membiayai dirinya sendiri saja, setiap tahun BP Parkir harus mengeluarkan dana Rp 11 miliar.

Korupsi? Mismanagement? Apa pun jawabannya, bisnis parkir merugikan publik dari dua sisi: pendapatan negara yang berkurang dan konsumen parkir yang tidak terlindungi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus