Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang wanita paruh baya mengurangi kecepatan kendaraannya perlahan-lahan hingga berhenti sama sekali, persis di muka sebuah loket parkir gedung perkantoran. Dengan senyumnya yang khas, petugas itu menyebut tarif yang harus dibayar. Si wanita membalasnya dengan sebuah senyuman pula, tapi terasa ada kegetiran yang mendalam di wajahnya.
Itulah kisah Tini Hadad, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yang punya pengalaman parkir selama lebih dari tujuh jam di gedung Bursa Efek Jakarta. Ia mengaku agak keberatan juga ketika harus membayar sewa parkir sebesar Rp 14 ribu, atau setiap jam banderolnya Rp 2.000.
Keberatan itu lantas disampaikan Tini saat berdialog dengan anggota DPRD DKI Jakarta, yang antara lain juga dihadiri oleh PT Securindo Packatama Indonesia, salah satu perusahaan jasa pengelolaan parkir swasta, 10 November silam.
Sekadar catatan, sistem "secure parking" yang dikelola swasta tarifnya memang melonjak-lonjak. Saat ini, hanya beberapa gedung saja yang menetapkan tarif Rp 1.000 per jam. Sebagian besar mematok sewa Rp 2.000 per jam. Sebutlah gedung-gedung perkantoran sepanjang Jalan Thamrin dan Sudirman. Kawasan wisata Taman Ria Senayan termasuk wilayah yang menetapkan tarif parkir yang melebihi ketentuan. Sesuai peraturan daerah yang dikeluarkan Pemda DKI, tarif parkir cuma Rp 300 per jam.
Karena dianggap melanggar aturan dan bagi konsumen terasa mencekik leher, Badan Pengelola (BP) Parkir langsung merespons keberatan itu dengan melakukan ekspos di hadapan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Rabu pekan silam.
Pada rapat yang dihadiri anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta itu, digodoklah tarif parkir swasta yang baru. Bila tak meleset, tarif masuk akan diseragamkan menjadi Rp 1.000, dan Rp 500 untuk kelipatan setiap jamnya.
Menurut Tini, masyarakat sendiri barangkali tak mempersoalkan betul bila tarif parkir ditetapkan Rp 2.000 per jam sekalipun, asalkan dibarengi dengan jaminan keamanan yang memadai. Sebab, dari kutipan itu, pengelola parkir seharusnya mampu menyisihkan sebagian pendapatannya untuk membayar premi asuransi.
Terlepas dari itu, DPRD DKI sendiri tengah memperjuangkan kembalinya setoran parkir swasta kepada BP Parkir. Sesuai dengan Peraturan Daerah Tahun 1987, pengelola wajib menyisihkan 25 persen pendapatannya ke kas BP Parkir.
Setoran itu kini dihentikan, seiring dengan dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri Tahun 1998. Padahal, menurut catatan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Aliwongso H. Sinaga, setoran itu bisa menutupi jebloknya pendapatan BP Parkir.
Dari sekitar 300 gedung parkir yang dikelola swasta, menurut perhitungan Aliwongso, tersedia 84.401 petak parkir. Dari lahan ini, Ali memperkirakan dana yang diserap dalam setahun mencapai Rp 78,49 miliar. Andai saja tak ada instruksi dari Pak Menteri, BP Parkir bisa tersenyum dengan setoran yang diterima sebesar Rp 20 miliar.
Hanya saja, bukan urusan mudah untuk merealisasi angan-angan Aliwongso. Dengan tarif parkir lama, para pengelola parkir swasta mengaku lebih banyak tekor ketimbang untungnya. "Pendapatan kami Rp 40 juta, tapi pengeluarannya sebulan Rp 180 juta," kata Ir. Lanny Dharmawan, Manajer Operasi PT Langgeng Ayomlestari, pengelola parkir Mal Blok M, Jakarta Selatan.
Hal senada diungkapkan pula oleh Stefanus Ridwan, General Manager PT Pakuwon Subentra Anggreini, pengelola parkir Blok M Plaza, Jakarta Selatan. Dengan perolehan Rp 40 juta sebulan, jelas besar pasak daripada tiang bila dibandingkan dengan biaya operasional yang harus dikeluarkan.
Sebuah alasan yang masuk akal, tapi bukan berarti tak patut dipertanyakan. Sebab, secara bisnis, bila tak menguntungkan, kenapa dipertahankan? Ini yang perlu diuji oleh BP Parkir bila berniat merebut kembali kue yang hilang. Caranya, dengan melakukan survei dan auditing secara serius.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo