WAHAI para pemalsu obat, ber hati-hatilah. Sejak September lalu, pemerintah telah menge luarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72/1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. Ancaman hukuman atas pelanggaran peraturan ini tidak tanggung-tanggung: kurungan 15 tahun dan denda maksimal Rp 300 juta.
Pemerintah merasa perlu menerapkan aturan keras karena persoalan ini menyangkut nyawa manusia. Dan nyatanya, pemalsuan dan penjualan obat ilegal yang mulai marak sekitar 5-6 tahun lalu itu berjalan terus sampai sekarang. Departemen Kesehatan yang berkali-kali melakukan peringatan bahkan cuma dianggap angin lalu.
Sepanjang 1998, misalnya, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM) masih menemukan beberapa obat palsu, di antaranya Supertetra (yang aslinya buatan Darya Varia), kapsul Dumocyclin (Dumex), tablet Daonil (Hoescht), dan tablet Voltaren (Ciba Geigy).
Repotnya, memberantas obat palsu sama susahnya dengan membasmi tikus di sawah. Lebih-lebih, ketika krisis ekonomi mengamuk seperti sekarang, harga obat-obatan makin tak terjangkau. Sedangkan harga obat palsu, juga yang ilegal, bisa lebih murah 30 persen atau lebih dibandingkan dengan obat asli.
Obat-obatan itu juga gampang ditemukan di jalur tidak resmi. Untuk itulah Ditjen POM mengeluarkan surat edaran kepada kepala kanwil Departemen Kesehatan dan balai POM di seluruh Indonesia untuk mewaspadai agar obat itu tidak beredar di jalur resmi seperti di apotek, toko obat berizin, dan pedagang besar farmasi (PBF).
Kepada apotek dan PBF pun Dirjen POM, Sampurno, mengeluarkan ancaman keras. "Apabila ditemukan ada PBF, apotek, atau toko berizin melakukan pelanggaran berkaitan dengan obat palsu, izin mereka dapat dicabut selamanya. Selain itu, akan dilakukan tindakan pro-justicia karena hal itu merupakan pelanggaran yang dapat dipidana," kata Sampurno.
Apakah ancaman ini akan didengar? Entahlah. Yang jelas, peraturan pemerintah bahwa apotek atau toko obat hanya membeli obat di PBF ternyata dianggap sepi oleh sebagian penyalur resmi obat-obatan. Menurut pengakuan seorang pedagang obat di Pasar Pramuka, Jakarta, konsumennya bukan hanya perorangan, tapi juga apotek, toko-toko obat, dan bahkan dokter. Kenapa mereka tak membeli di PBF tapi di pasar yang disinyalir Dirjen POM mengedarkan obat palsu ini, alasannya sederhana saja: harganya lebih murah.
Pedagang yang menolak disebut namanya itu juga tidak mengelak bahwa di Pasar Pramuka memang ada obat-obatan palsu yang dijual dengan leluasa. "Tapi jumlahnya sangat kecil," ujarnya. Kalau banyak apotek dan toko obat kulakan dari pasar ini, siapa menjamin bahwa obat-obatan palsu?yang terkadang sulit dibedakan dari aslinya?tidak ikut terbawa ke jalur resmi?
Menurut si pedagang, meski ia tahu ada beberapa pedagang memperdagangkan obat palsu, ia sama sekali tidak mau ikut-ikutan. Soalnya, tanpa itu pun ia sudah bisa menjual murah. Bagaimana caranya? Ini dia anehnya. Katanya, ia mendapatkannya dari PBF. Dari situ ia membeli dengan harga grosir dan hanya mengambil untung sekitar 2,5-5 persen. "Orang-orang apotek yang mengambil obat di sinilah yang mengambil keuntungan lebih besar daripada yang saya peroleh. Mereka bisa untung sampai 30-50 persen," kata pedagang itu.
Susahnya, konsumen sendiri sulit mendapatkan kejelasan informasi soal palsu tidaknya obat yang beredar di pasaran. Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi, Anthony Sunarjo, pun pernah terkecoh. Saat diminta untuk memilih kemasan obat yang asli, ia justru memilih yang palsu. "Karena yang palsu kemasannya lebih bagus," ujar Anthony.
Selain itu, para produsen obat keberatan mengeluarkan daftar obat buatannya yang dipalsu. Alasannya, mereka khawatir, kalau produk yang dipalsukan itu sampai diketahui masyarakat, justru akan mempengaruhi penjualan versi yang asli. Masyarakat jadi tidak berani membeli.
Walhasil, yang bisa dilakukan hanya langkah pencegahan. Beberapa produsen tertentu telah melindungi kemasan produknya dengan hologram. "Kami juga mengimbau konsumen untuk berhati-hati dalam membeli obat yang diimpor dari luar negeri. Sebab, tidak jarang ada yang palsu," ujar Mr. Powis, Manajer Umum Divisi Pemasaran PT Bayer Indonesia.
Gabriel Sugrahetty, Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini