Tamrin Amal Tomagola
Sosiolog, dosen Pascasarjana UI, dan Dekan FISIP Universitas Terbuka
Huhate, huhate bae-bae, jangan sampe dapat kulit durian, kulit durian sio ba... du... ri.... Demikian nona- nona Ambon, Patty Bersaudara, berdendang dengan merdu dalam lagu yang riang ini. Kini, citra riang, teduh, dan sejuk tiba-tiba terbekap gelaga kerusuhan antarwarga Kota Ambon. Ironisnya, gelegak nafsu amarah yang menelan korban 40-an jiwa, benda, dan rasa aman ini justru pecah pada hari penuh maaf, Idul Fitri, 19 Januari lalu.
Dalam keterhenyakan, masyarakat berusaha memahami bencana sosial yang memprihatinkan ini. Menurut saya, jerami kering bahan bakar kerusuhan di Ambon ini, selain berasal dari tingkat lokal, juga ada dari tingkat nasional. Huru-hara Ambon ini adalah salah satu hasil godokan proses sejarah selama era pembangunan Orde Baru, tempat faktor lokal bertemu dengan faktor supralokal, yang kemudian mengendap dan tersumbat dalam selokan dan lorong-lorong sosial permukiman kumuh dan pengap dalam Kota Ambon.
Faktor lokal tersebut dapat dirunutkan sebagai berikut. Pada saat para penjajah menginjakkan kakinya di pasir putih Maluku?dimulai oleh bangsa Portugis dan kemudian diikuti oleh Spanyol dan Belanda?di Maluku Utara telah berdiri dengan kukuh empat kerajaan Islam, yaitu Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Dari keempat kerajaan Islam ini, Kerajaan Ternatelah yang terkuat dan terlama berjaya. Hampir seluruh daerah pantai di Maluku Utara, sebagian Pulau Seram, daerah Gorontalo di Sulawesi Utara, dan Filipina Selatan, diislamkan oleh Kerajaan Ternate. Bangsa penjajah, terutama Belanda, tidak punya pilihan selain berusaha menanamkan pengaruhnya di luar wilayah Kerajaan Ternate, yaitu di daerah pedalaman Halmahera dan Maluku Selatan. Misi Kristen Protestan diizinkan Belanda berkiprah di daerah-daerah tersebut. Jadilah Maluku terbagi dua: bagian utara mayoritas Islam, sedangkan bagian selatan dominan Kristen Protestan.
Sejalan dengan kebijakan memecah belah, Belanda secara diskriminatif mendorong pembangunan pendidikan di Maluku Selatan yang Protestan. Sejak saat itu, terbentuklah suatu segregasi wilayah berbasis agama di Maluku. Warga Protestan Maluku Selatan yang berpendidikan banyak yang terserap ke dalam birokrasi Belanda, sedangkan yang tidak berpendidikan bergabung dengan tentara kolonial Belanda.
Wujud segregasi sosial berbasis agama bahkan terus berlanjut ke tingkat satuan wilayah yang lebih kecil. Di tingkat desa dan kelurahan dalam suatu kecamatan yang sama, dapat ditemukan dengan mudah apa yang disebut "kampung Islam dan kampung Kristen"?pola permukiman semacam ini disebut segregated pluralism; lawan dari integrated pluralism. Warga cenderung bermukim dengan sesama umatnya. Pada masa-masa awal Republik, segregasi tempat tinggal ini diperkuat lebih lanjut oleh perbedaan pendidikan dan jenis pekerjaan yang akhirnya berbuntut pada perbedaan tingkat kesejahteraan antara warga kampung Islam dan warga kampung Kristen. Di kota-kota kabupaten di Maluku, misalnya, jelas terlihat kesenjangan ini dalam wujud-wujud sebagai berikut. Kampung Kristen biasanya ada di pusat kota, warganya berpendidikan, bekerja di perkantoran, dan rumahnya berlistrik dan berair PAM. Sebaliknya, kampung-kampung Islam ada di pinggiran kota, warganya mayoritas kurang berpendidikan, bekerja sebagai petani, nelayan, atau pedagang ikan dan sayuran di pasar tradisional, dan rumahnya berlampu petromaks dan berair sumur galian.
Puji Tuhan, warga Maluku Selatan, terutama di Ambon, Seram, dan pulau sekitarnya, mempunyai suatu sistem peredam ketegangan sosial yang dikenal dengan nama sistem pela gandong. Sistem ini memungkinkan warga yang berbeda agama ataupun suku mengangkat sumpah?melalui suatu upacara khusus?berjanji untuk saling setia serta saling membantu dan membela dalam suka dan duka seperti layaknya terhadap saudara kandung sendiri dalam semua urusan secara tulus sepenuh hati. Sistem sosial ini melahirkan cross-cutting affiliation and loyalty di antara pihak-pihak yang berbeda latar belakang. Seperti diketahui, walaupun orang Maluku?khususnya orang Ambon?dikenal temperamental seperti orang Aceh dan Madura, sekali mereka berjanji, janji itu akan dipegang seteguh-teguhnya, apa pun akibatnya. Inilah watak asli Maluku. Saling membantu antarkampung yang berbeda agama dalam membangun rumah ibadah dan bergantian membersihkan lingkungan masing-masing adalah pemandangan yang biasa ditemukan di kampung-kampung pedesaan Maluku.
Di kampung-kampung kelurahan perkotaan, ceritanya menjadi lain sekali dalam 20 tahun terakhir ini. Di wilayah perkotaan, ikatan sistem pela gandong secara perlahan tapi pasti mulai memudar. Retaknya ikatan solidaritas sosial ini berhubungan erat dengan perkembangan Kota Ambon sendiri. Sebagaimana diketahui, Kota Ambon bersama-sama dengan Kota Balikpapan merupakan dua kota di Indonesia Timur yang pertumbuhan penduduknya per tahun melebihi angka pertumbuhan penduduk nasional sepanjang dasawarsa 1970 dan 1980. Hal ini berakibat pada makin sempitnya ruang kehidupan kota. Dan ini dapat terlihat pada padatnya permukiman, kurangnya ruang belajar sekolah, dan semakin langkanya lowongan pekerjaan. Kecenderungan bertempat tinggal dengan sesama umat semakin memperbesar konsentrasi kelompok umat ke dalam kotak-kotak permukiman berbasis agama, yang pada gilirannya semakin mempertajam segregasi agama. Hal ini diperparah oleh perlombaan antarumat dalam mendirikan rumah ibadat.
Pesatnya pertumbuhan penduduk Kota Ambon berdampak langsung pada relasi antarumat beragama. Kota Ambon, yang pada awalnya didominasi oleh umat Protestan, keseimbangan proporsional antarumatnya dalam dua dasawarsa terakhir ini telah bergeser. Pergeseran itu disumbang oleh dua hal. Pertama, oleh pertumbuhan penduduk Kota Ambon dan, kedua, oleh arus migran Islam dari luar Pulau Ambon. Warga kampung-kampung Islam, yang berpendidikan relatif lebih rendah, pertumbuhan penduduk alamiahnya relatif lebih tinggi daripada kampung Protestan. Pada saat yang sama Kota Ambon mulai dibanjiri migran Islam dari Bugis, Jawa, dan dari pulau-pulau di Maluku Utara. Suku Bugis terutama berusaha dalam perdagangan tekstil dan kelontong tingkat menengah dan kecil, migran Jawa bergiat di sektor informal dengan membuka warung, rumah makan, serta abang-abang pendorong gerobak, sedangkan migran dari utara kebanyakan datang sebagai pelajar dan mahasiswa. Perubahan keseimbangan proporsional antara dua umat ini sangat berpengaruh pada wujud konflik yang terjadi. Secara sosiologis dapat dikatakan bahwa bila dalam suatu lingkungan permukiman ada kelompok mayoritas-tunggal yang mutlak, jenis konflik cenderung berupa konflik yang laten (latent conflict), terdesak ke alam bawah-sadar atau paling banter terbatas dalam gerutuan pribadi. Tapi bila perimbangan proporsional berubah menjadi kurang-lebih sama kuat (contoh: kasus Libanon), wujud konflik yang tadinya terpendam berubah menjadi telanjang (manifest conflict).
Di atas jerami lokal yang telah kering-kerontang inilah faktor-faktor supralokal dari tingkat nasional datang menindih. Faktor supralokal yang pertama, faktor politik pemerintahan yang sangat sentralistik. Karena pemerintah pusat sedemikian perkasanya terhadap pemerintah daerah, bukan saja banyak sumber daya ekonomi yang tersedot ke pusat, tapi juga konsentrasi perhatian dan komitmen pemerintah daerah lebih terborong untuk menyenangkan pusat. Kegiatan turun ke bawah ke pelataran rumah rakyat jarang sekali. Akibatnya, kebutuhan daerah, terutama kebutuhan rakyat akan fasilitas hidup yang mendasar seperti permukiman yang sehat, jalan-jalan yang terurus, jalur perhubungan laut yang teratur, rumah sakit dan puskesmas yang genah, serta pasar yang memadai, banyak yang terbengkalai. Keterbengkalaian fasilitas umum terutama sekali dirasakan di kampung-kampung Kota Ambon, yang telah demikian sesak, kumuh, dan pengap. Kesumpekan hidup di perkampungan Kota Ambon dirasakan baik oleh kampung Islam maupun kampung Kristen. Birokrasi yang angker dan karena itu jauh dari rakyat sehingga komunikasi terputus. Cara-cara mobilisasi Golkar yang Fasistik-Machievalis menambah gundukan kedongkolan rakyat daerah kumuh.
Gundukan kedongkolan itu makin membukit oleh ulah faktor yang kedua, yaitu intrusi sistem ekonomi kapitalisme pinggiran Orde Baru ke kota menengah dan kecil, termasuk Ambon. Itulah sebabnya mengapa aksi massa perusakan ini tidak terbatas di kota besar, tetapi telah menyebar merata baik ke kota menengah maupun kecil. Intrusi itu masuk berupa mal-mal pusat belanja yang menjamur, yang membutuhkan ruang dalam kota yang sudah sempit, dan secara kasar menggusur permukiman penduduk, tempat usaha, dan pasar tradisional. Penduduk Ambon melihat bahwa bukan saja fasilitas umum untuk mereka tidak terurus, tapi juga rumah dan tempat usaha mereka tergusur oleh modal yang berkolusi dengan pemda setempat. Selama 32 tahun mereka hanya dapat menggerutu dalam diam.
Tanggul ketakutan ini jebol setelah rangkaian demonstrasi dan kerusuhan Mei di Jakarta dapat memaksa "Sang Prabu" minggir. Kenyataan ini menyentak kesadaran rakyat akan kemampuan mereka dan mengembalikan keyakinan diri bahwa mereka dapat berbuat sesuatu. Inilah yang memarakkan berbagai aksi main hakim sendiri dalam hampir setahun terakhir ini. Hanya, ekspresi kepercayaan diri rakyat yang anarkhis ini memang telah kebablasan.
Kalau memang benar ada provokator yang disebarkan, para provokator itu pasti tidak dapat berbuat apa-apa bila tidak ada tumpukan jerami kering lokal yang tindih-menindih dengan jerami supralokal/nasional tersebut. Karena itu dalam mencari solusi, kita perlu membedakan faktor pemicu sesaat dari kondisi-kondisi dasar dalam bidang ekonomi, politik, dan hukum yang menumpuk jerami kering huru-hara. Terhadap unsur provokator dan perusuh perlu ada dua cara penanganan. Pertama, tegakkan hukum secara lugas dan konsisten. Kedua, libatkan tokoh masyarakat untuk menenangkan umatnya masing-masing dan setelah berusaha menggairahkan kembali sistem pela gandong yang telah diterima secara budaya. Sedangkan untuk menanggulangi kondisi-kondisi dasar dalam bidang ekonomi, politik, dan hukum diperlukan suatu usaha pembenahan jangka panjang yang mengundang dan mendorong partisipasi rakyat dalam setiap tahap pembenahan tersebut di semua jenjang pemerintahan.
Ya Allah, ya Rabbi, semoga Dikau berkenan menjauhkan bangsa dan negara ini dari Balkanisasi model Yugoslavia. Amin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini