Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Perkenalkan, Indonesia Jones

Mereka hidup dari bisnis artefak—seperti cerita film Indiana Jones. Tergiur untung besar, ancaman hukuman kecil.

29 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI kisah tentang Nandisawahanamurti. Dia satu dari enam arca batu koleksi Museum Radya Pustaka yang dipalsukan Heru Suryanto. Sang Nandi atau Siwa yang sedang menunggang lembu itu dijual Heru kepada Hugo Kreijger sebelum akhirnya berlabuh di tangan pengusaha Hashim Djojohadikusumo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lambang Babar Purnomo, arkeolog dari Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, adalah orang yang mengambilnya dari rumah Hashim untuk dikembalikan ke Radya Pustaka, Januari lalu. Tak lupa ia memotret arca yang dibuat pada abad ke-8 itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi ada yang aneh. Informasi yang diperoleh Tempo menunjukkan Nandi yang ini berbeda dengan foto Nandi yang dibuat pada 1962. Pada foto produksi 1962, wajah Siwa lebih ayu dan anggun dengan rahang lembut. Pada foto yang dipotret Lambang, Nandi tampak bertangan buntung, rahangnya lebih keras, dan pipinya lebih tembam.

Di kalangan para kolektor memang telah beredar informasi, arca Nandi yang asli sudah raib dari Radya Pustaka sejak 30 tahun silam. Walhasil, seorang sumber curiga, arca Nandi yang diserahkan Hashim itu pun palsu. Bukan mustahil, Nandi yang asli kini tengah tersimpan di ruang koleksi orang kaya di Eropa, Amerika, atau entah di mana.

Indonesia memang salah satu magnet dalam jaringan internasional perdagangan barang purbakala. Saban tahun ada 200-an benda cagar budaya raib dari berbagai situs di Indonesia. Jenisnya beragam: dari tulang-belulang, arca, hingga keramik. "Sebagian besar lari ke pasar gelap," kata seorang sumber.

Toh, pasar itu sesungguhnya tak benar-benar gelap. Mampirlah ke Pasar Tri Windu, Sriwedari, Solo. Di tengah tumpukan arca imitasi, Anda bisa menjumpai artefak asli berumur ratusan tahun. Seorang pedagang barang antik menuturkan, "Banyak pejabat pusat berburu barang antik di sini, terutama pada 1970-an dan 1990-an. Kolektor dari Amerika pun tak jarang mampir."

Situasi di situs purbakala Sangiran, Jawa Tengah, juga tak jauh berbeda. Jual-beli barang kuno di sana nyaris terang-terangan. "Mereka berkedok art shop," ujar dosen arkeologi Universitas Gadjah Mada, Daud Tanudiredjo, yang sudah lama meneliti situs Sangiran.

Mata rantai paling hulu dari bisnis ini adalah warga pemilik artefak. "Saya sering didatangi mereka untuk menilai benda yang mereka temukan," kata Daud. Asal-usul benda biasanya diaku sebagai warisan, bukan penemuan atau hasil perburuan. "Mereka tahu jual-beli itu pelanggaran pidana," katanya.

Pemilik artefak pun tak perlu bersusah payah mencari pembeli. Di Sangiran, atau di Besuki, Jawa Timur, dan tempat-tempat yang kaya artefak di Indonesia berkeliaran para informan. Mereka pasang mata dan telinga untuk para makelar barang itu, biasa disebut runner. "Para informan itu adalah orang binaan runner dan mendapat upah dari info yang diberikan," ujar sumber Tempo di Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Dalam mata rantai mafia purbakala, kelompok runner berada di tengah di antara pemilik barang, galeri, kurator, balai lelang, dan kolektor. Runner bertugas membereskan berbagai kendala di lapangan, menjamin benda kuno sampai di tangan penadah dan kolektor dengan bersih, aman, sentosa. Urusannya terentang dari menyiapkan surat keterangan aspal, kuitansi pembelian, sampai "membungkam" siapa pun yang mengganggu. Untuk mengangkut barang dari Jember ke Bali, misalnya, sang runner berbekal 15 amplop untuk menyuap polisi di berbagai titik. "Awal 1990-an, waktu saya bertugas, setiap amplop itu berisi Rp 200-an ribu," kata sumber Tempo.

Penadah lazimnya berkedok pemilik art shop, tapi bisa juga dia cuma punya gudang penampungan. Para penadah, menurut sumber, banyak berpangkalan di Bali. Kuta, Legian, atau Seminyak.

Nah, oleh para penadah, barang kerap diterbangkan ke luar negeri. "Artefaknya disamarkan sebagai barang suvenir untuk mengelabui duane," ujar Daud. Bagaimana jika tertangkap?

Tenang, biasanya kasusnya tak akan berlanjut ke meja hijau. Kalaupun sampai ke pengadilan, vonisnya biasanya ringan. Beberapa tahun lalu penegak hukum memergoki penjualan barang purba kepada Donald E. Tyller, peneliti asal Amerika. Penjualnya adalah Subur alias Sadiman, warga Desa Krikilan, Sangiran, seorang pemilik art shop. Kini kasus itu berhenti begitu saja.

Memang, pada Agustus lalu Subur kembali ditangkap. Tapi ini untuk kasus yang lain, yaitu berusaha menjual beberapa fosil: dari rahang atas gajah purba jenis stegodon, rahang atas kuda nil, dan rahang bawah buaya purba. Nah, 27 Agustus lalu, dia dan teman-temannya divonis penjara enam bulan oleh Pengadilan Negeri Sragen, Jawa Tengah.

Itu jelas hukuman yang ringan dibanding keuntungan yang bisa didapat dari bisnis haram ini. Ambil contoh fosil tengkorak manusia purba asal Sangiran. Harga belulang itu dibeli dari penemu cuma Rp 2 juta. Begitu sampai di pasar internasional, harganya melambung ribuan kali hingga menjadi US$ 100 ribu (hampir Rp 1 miliar). "Harga ini memang harga kesepakatan saja. Penentunya biasanya: ciri-ciri, keunikan, dan nilai estetikanya," ujar Daud.

Tersihir oleh potensi keuntungannya yang besar, museum pun tak luput dijarah. Mula-mula orang-orang hanya membuat duplikat barang museum. Duplikat itu yang dijual. Modus ini sudah marak sejak 1980-an. Belakangan, yang marak dijual justru artefak aslinya. Sementara itu, duplikatnya dipajang di museum untuk mengelabui.

Kasus paling mutakhir soal ini terjadi di Museum Radya Pustaka, Keraton Solo. Lima arca batu dan 52 arca perunggu malih rupa, tidak sesuai dengan katalog. Tapi, kata salah satu terpidana kasus ini, pedagang barang antik Heru Suryanto, "Sebagian besar koleksi sudah palsu saat saya datang."

Memang, banyak kolektor datang ke Radya Pustaka. Sebagian bahkan pemain besar. Sebutlah Samuel Eilenberg, profesor matematika dan fisika dari Columbia University. Eilenberg dikabarkan membeli banyak koleksi perunggu dan emas dari Solo pada masa 1990-an. Heru Suryanto pun mengaku belajar lika-liku bisnis benda kuno dari seorang runner yang memasok barang untuk Eilenberg.

Eilenberg meninggal pada 1998. Konon dia menyumbangkan 67 koleksi patung emas dan perunggu terbaik dari berbagai negara Asia, termasuk Indonesia, ke Metropolitan Museum, New York. Koleksi itu antara lain berasal dari periode besi dan perunggu, pada tahun 500 sebelum Masehi hingga abad ke-3.

Ada sebuah nama lagi yang harus disebut di sini. Dia adalah James Singer, orang London. Dia disebut-sebut sebagai kolektor yang memperkenalkan artefak imitasi asal Indonesia ke Eropa. Ketika Tempo meng-googling nama James Singer di Internet, muncul ini:

PADMAPANI
INDONESIA; SAMBAS, WEST BORNEO
CA 9TH CENTURY
SILVER; WITH BRONZE BASE AND GOLD HALO
H: 11 CM

Iklan ini nampang di Asianart.com. James Singer menjual Padmapani itu.

Dalam kepercayaan Buddha Vajrayana, Boddhisatva Padmapani—yang tangan kirinya sedang memegang sekuntum bunga seroja—adalah Sang Penyelamat dan Pembebas yang dimintai berkah oleh para pedagang, pelaut, hingga para biksu. Tapi bukan soal tuahnya yang menarik. Arca dari abad ke-9 itu berasal dari Sambas, Kalimantan Barat. Lha, bagaimana bisa benda bersejarah itu ada di tangan Singer?

Tempo mengirim koresponden ke London untuk menemui Singer dua pekan lalu. Eh, dia ternyata sudah lama meninggal. Pada 9 Maret 2004, ia bunuh diri dengan melompat dari jembatan.

Tak hanya laku keras di pasar dunia, komoditas ini juga punya pasar di dalam negeri. Para kolektor lokal ini pun tak gentar dengan harga tinggi.

Di Internet, sejumlah nama kolektor lokal benda kuno beredar. Ada Daeng Iskandar dan Wahyono Martowikrido—namanya disebutkan dalam situs seni Made Gede Putrawan, pemilik museum di kawasan Ubud. Sementara itu, dari sumber Tempo di Direktorat Purbakala diperoleh nama lain: Rusdi Iskandar, kerabat Daeng Iskandar, dan Munir Djody, pemilik galeri seni di Jakarta. "Tapi mereka bukan kolektor murni. Mereka juga menjual artefak," katanya.

Munir Djody, yang disebut-sebut sebagai "pemain lama" di bisnis ini, sayangnya menolak berbagi cerita. Wahyono Martowikrido, pensiunan direktorat arkeologi, juga menolak bicara. Hanya Rusdi Iskandar yang membenarkan bahwa dia memiliki bisnis jual-beli benda kuno. Tapi, katanya, "Bisnis saya legal."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Bagja Hidayat dan Bernarda Rurit berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Perkenalkan, Indonesia Jones"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus