Seusai menyebut nama itu, Menteri Keuangan Bambang Subianto langsung bersandar ke kursi. Satu beban berat tampak lepas. Dan tepuk tangan pun membahana di ruang dengar pendapat Komisi VIII DPR itu pekan lalu.
Bambang—seperti tahu benar apa yang telah ditunggu-tunggu—menunjuk hidung Ketua DPA Ahmad Arnold Baramuli sebagai tokoh yang menekan BPPN untuk mengucurkan dana ke Bank Bali. Adalah Baramuli pula, menurut Bambang, yang berupaya mendongkel Glenn Yusuf, ketua badan pemulihan perbankan Indonesia itu, dan menggantinya dengan Pande Lubis, wakil Glenn yang lebih bisa diajak main mata.
Pengungkapan Bambang itu menyiratkan dua hal—Glenn dan BPPN yang tanpa dosa. Lebih dari itu, Bambang juga menyediakan perisai andal untuk menangkis komentar kritis tentang kinerja BPPN yang kian hari kian mengundang tanya itu. Setelah skandal Bank Bali, kini mereka punya dalih ampuh bahwa intervensi politiklah, terutama oleh orang-orang di seputar Presiden B.J. Habibie, yang membuat BPPN sejauh ini gagal memenuhi tugas mahapenting yang diembannya.
Intervensi politik memang salah satu kendala, yang boleh jadi signifikan. Namun, bukan satu-satunya. Dan untuk mengetahuinya, orang perlu menelusur sejak BPPN dilahirkan.
BPPN dibentuk pemerintahan Soeharto pada awal 1998, ketika krisis moneter menggila dan perbankan nasional rontok. Tidak orisinal, badan itu diilhami oleh lembaga independen serupa di Thailand—negeri pemicu krisis Asia. Seperti pendahulunya di Thailand, BPPN punya tugas sangat serius: memulihkan sektor perbankan yang sakit. Caranya? Membedah bank-bank itu untuk kemudian mengamputasi (likuidasi) saja yang sudah tak ada harapan serta menyuntik modal (rekapitalisasi) yang masih bisa diselamatkan.
Dalam praktek, program restrukturisasi sektor perbankan itu tidak sederhana. Bank yang kolaps atau setengah kolaps itu umumnya didera oleh kredit macet besar-besaran; dan ironisnya, kebanyakan kredit tak terbayar tadi diutang oleh perusahaan besar yang sama sakitnya. Itu sebabnya, BPPN tak hanya mengurusi bank, tapi juga mengasuh aset-aset milik konglomerat dengan harapan suatu ketika kelak mereka bisa mengembalikan utangnya, yang kini ditanggung negara.
Dengan tugas yang penting itu, dan ongkos besar yang ditanggung rakyat, program ini layak dilakukan oleh "dokter bedah" berpisau tajam yang tepercaya, lugas, obyektif, dan dingin. BPPN, sayangnya, tidak banyak bisa memenuhi syarat itu. Konflik kepentingan menghantui, intervensi politik menyelewengkannya, dan budaya korup yang berurat-akar menjadi latarnya.
BPPN pertama-tama dipimpin oleh Bambang Subianto. Iwan Prawiranata lalu menggantikannya pada April 1998. Dan satu bulan kemudian, setelah Soeharto jatuh, wajah BPPN pun berubah dengan masuknya Glenn Yusuf sebagai ketua. Ia merombak BPPN dengan mengurangi personel Bank Indonesia (BI) di BPPN. Langkah ini disebut sebagai penyingkiran orang-orang Iwan yang diduga tidak bersih.
Saat itu memang beredar kabar, para bankir lebih senang bila BPPN tetap dipimpin Iwan karena dianggap lebih bisa main mata. Namun, Iwan membantah hal ini. "Tidak benar itu," katanya. "Orang-orang yang disebut dibersihkan Glenn itu sebenarnya ditarik kembali ke BI karena dulu memang dipinjamkan ke BPPN."
Gejolak itu tidak banyak menarik perhatian, sampai setahun kemudian, ketika BPPN memperoleh pisau baru yang lebih tajam. Peraturan Pemerintah No. 17/1999, yang diterbitkan pada Februari 1999, memberi BPPN kewenangan besar seperti layaknya lembaga peradilan: membatalkan kontrak, melakukan eksekusi sita, mengosongkan, menerbitkan surat paksa, dan serangkaian kesaktian lain.
Kendati menyeramkan, pisau tajam itu memang diperlukan untuk menjamin kembalinya uang negara yang dikeluarkan untuk menalangi utang para bankir dan debitur. Namun, itu membuat BPPN menemukan musuh-musuh baru.
Pertama-tama adalah para debitur. Menurut sumber TEMPO di BPPN, siasat yang dipakai para debitur untuk lolos dari kewajiban membayar utang adalah menolak rencana restrukturisasi BPPN. Caranya macam-macam, mulai dari enggan datang ke pertemuan, menolak menandatangani surat kesepakatan, maupun berkelit dari kesepakatan yang akhirnya diteken.
Para pengutang—yang kebanyakan tergabung dalam organisasi Real Estate Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, dan Kamar Dagang Indonesia—juga mencari cara untuk bisa berkelit dari kendali BPPN. Belum lama ini mereka dikabarkan melobi Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng untuk membentuk Assets Management Company, yang mengurusi aset para debitur, tapi tidak berhasil. "Saya tidak ada urusan dengan aset-aset yang ada di BPPN itu," kata Tanri kepada TEMPO. "Jangankan mengambil, terpikirkan saja tidak pernah."
Musuh kedua BPPN adalah para bankir. Jika bank sampai ditutup atau diambil alih, BPPN bisa menagih sampai aset pribadi pemilik bank hingga kewajibannya lunas. Bahkan, bukan tidak mungkin, pintu bui pun terkuak bila kedok praktek kotor perbankan mereka dibuka BPPN. Maka, jangan heran, ketika banyak usaha dilakukan para bankir untuk menunda pengumuman rekapitulasi perbankan beberapa waktu yang lalu. Pergerakan bankir besar dipimpin Aburizal Bakrie, sementara laskar bankir gurem dipimpin The Tji Min dari Bank Hastin.
Dalam kaitan dengan para bankir inilah, Bank Indonesia tidak merasa nyaman dengan kehadiran BPPN. Masalahnya, hulu kebusukan perbankan adalah kebijakan yang dikeluarkan BI, dan sudah berlangsung sejak liberalisasi perbankan dikumandangkan oleh J.B. Sumarlin pada 1988.
Ketika persaingan kian keras, BI disebut-sebut menggunakan Asosiasi Advokat Indonesia untuk menggoyang BPPN lewat judicial review terhadap PP No. 17/1979. Namun, pengacara Denny Kailimang dari AAI menolak tuduhan berkongsi dengan kalangan BI. Dia menyatakan, pengajuan judicial review dikarenakan kewenangan BPPN memang banyak bertabrakan dengan perundangan di atasnya. "Jangan atas nama penyelamatan ekonomi negara, hukum dikorbankan, hak-hak nasabah dilanggar," ujarnya.
Namun, BPPN tak cuma punya wajah menyeramkan—karena kedigdayaannya itu. Dia juga guci madu yang teramat manis. Hitung punya hitung, aset yang akhirnya jatuh ke pangkuan BPPN dari 1.689 debitur bermasalah berjumlah sekitar Rp 600 triliun. Lembaga ini juga merupakan pintu gerbang mengucurnya dana rekapitalisasi. Tak mengherankan bila banyak pihak yang ingin mencelupkan jari atau kalau bisa memboyong gucinya sekalian. Caranya? Menyetir awak BPPN—kalau bisa. Masuknya Pande Lubis disebut sebagai keberhasilan penyusupan pihak-pihak yang ingin menangguk untung.
Dalam suasana perebutan seperti itu, banyak suara bisa muncul, antara lain tentang personalitas "orang dalam" BPPN juga. Misalnya, tentang Glenn Yusuf, yang mempunyai karir yang panjang di dunia keuangan. Sebelum di BPPN, ia tercatat pernah menjadi Direktur Utama Danareksa dan Dirjen Lembaga Keuangan Departemen Keuangan. Nah, di Danareksa itulah Glenn disebut-sebut bertanggung jawab terhadap kerugian senilai Rp 500 miliar.
Sementara itu, Eko S. Budianto, Kepala Divisi Assets Management Unit (AMU) Credit, disebut gagal saat mengelola Bank PDFCI. Adapun Christovita Wibowo, agency secretary, juga dianggap tak berhasil mencegah Bank Tiara ambruk. Personel lapis di bawahnya kebanyakan punya kaitan dengan para pimpinan sehingga unsur perkoncoan dalam perekrutan ini juga jadi gunjingan. Apalagi, bila persoalan gaji awak BPPN, yang memang besar, disinggung (gaji Glenn diperkirakan Rp 40 juta ke atas per bulan), kecaman pun makin sumbang.
"Mereka ini mengurus bank sendiri saja tidak becus, kini kok mengurus BPPN, yang asetnya jauh lebih besar," kata Denny Kailimang. Suara yang senada cukup banyak terdengar. Bahkan, jika cerdas, beberapa dari personel BPPN sulit dinilai bebas dari konflik kepentingan karena mereka memiliki kaitan dengan bank-bank yang harus mereka tangani, dibina dan dijewer jika perlu.
Direktur Riset SG, Lin Che Wei, sepakat bila dikatakan awak BPPN kurang becus. Tapi ia meyakini integritas mereka. "Kemampuan bisa dipelajari, integritas tidak," ujar Che Wei. Sayangnya, kekurangmahiran ini, menurut Che Wei, memang cukup parah. Ibarat BPPN adalah mobil formula satu, sopir di BPPN hanya memegang lisensi mengemudi bemo.
Namun, Pradjoto, pengamat hukum perbankan, menolak bila BPPN gagal karena ketidakbecusan personelnya. Menurut Pradjoto, biang permasalahan BPPN adalah sistem kerja BPPN yang amburadul. Artinya, badan itu tak lebih dari kantor jawatan pemerintah yang sibuk melayani permintaan kanan-kiri. Hal ini tak lepas dari posisinya sebagai badan subordinat dari kekuasaan yang lebih tinggi, Departemen Keuangan. Akibatnya parah, "Mental mereka jadi mirip mental pegawai kecamatan," kata Pradjoto.
Lebih jauh, ia menilai BPPN juga terjebak dalam pemahaman teknis. Debitur yang bermasalah karena krisis atau karena bandit tidak dibedakan. Seharusnya, dengan melihat catatan kolektibilitas (kelancaran pembayaran utang) pada akhir tahun 1997, mana yang loyang dan mana yang emas sudah bisa dibedakan. Artinya, debitur yang baik sebelum krisis pembayaran utangnya lancar, sementara debitur busuk sudah macet pembayarannya jauh sebelum krisis tiba. "Konyolnya, BPPN merasa sudah cukup menilai itikad baik debitur berdasarkan kesediaannya menandatangani surat kesepakatan," kata Pradjoto.
Lantas, apakah dengan demikian BPPN harus bubar? Pradjoto menolak usul ini. Menurut pengamat yang meledakkan kasus Bank Bali itu, bila BPPN bubar, aset ratusan triliun rupiah akan jadi ajang kenduri konglomerat alias petualang lama. Jadi? "BPPN harus dijadikan lembaga yang independen," kata Pradjoto. Penjabarannya, sistem dalam lembaga ini harus direvisi total. Untuk ini, reorganisasi pun diperlukan dengan menempatkan orang-orang yang tepat. Pertanggungjawabannya pun tak lagi ke Departemen Keuangan, tetapi ke DPR.
Selain itu, secara teknis ada beberapa hal mendasar yang harus dilakukan BPPN. Misalnya, transaksi antarbank harus dibereskan sehingga tidak muncul calo-calo yang memungkinkan terjadi kasus seperti Bank Bali. Soalnya, piutang dalam jumlah besar yang macet bisa dipastikan akan segera melumpuhkan bank yang paling sehat sekalipun. Yang lain, rekapitalisasi perbankan harus berjalan serta-merta dengan sektor riil.
Tanpa ini, mimpi tentang perbankan dan perkonomian kita akan sembuh akan terus saja tergantung di awan. Dan, rakyat tak bisa menagih triliunan rupiah ke langit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini