Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah Perempuan Bermarga Li

Aturan kewarganegaraan yang lama merusak tradisi kaum Tionghoa di negeri ini. Perlu petunjuk pelaksanaan yang jelas.

17 Juli 2006 | 00.00 WIB

Kisah Perempuan Bermarga Li
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

LI Pok Ni namanya. Perempuan 42- ta-hun itu berjualan es sirup di Kam-pung Kosambi, Tangerang. Kulitnya sawo matang dan matanya lebar. Hanya nama Pok Ni yang jadi tanda dia berdarah Tionghoa. ”Saya lahir di si-ni,” katanya. ”Tapi mengurus surat-surat masih selalu dipersulit.” Bukan nada prihatin, melainkan lebih kental amarah yang terasa dalam kata-katanya itu.

Dua tahun lalu, Pok Ni mencoba meng-u-rus pembuatan akta kelahiran untuk ke-enam anaknya. Bukan apa-apa, ketika- itu anaknya yang tertua bersiap masuk sekolah menengah pertama. ”Sekarang, kalau anak mau masuk sekolah, selalu ditanya akta kelahiran,” kata Pok Ni pelan. Masalah muncul karena Pok Ni tidak punya surat kawin resmi. Suami-nya, yang juga Tionghoa, tidak punya- su-rat bukti kewarganegaraan Republik- Indonesia (SBKRI), penanda untuk kaum Tionghoa di Tanah Air sejak 48 tahun lalu.

Pok Ni terpaksa datang ke Pengadil-an Negeri Tangerang, membawa anak-anaknya dan seorang saksi dari kelurahan. Untungnya, dia punya selembar SBKRI milik ibunya. Tapi sang hakim- tetap curiga. ”Dia tanya apa benar ke-enamnya anak saya, atau ada anak se-lundupan,” kata Pok Ni ketus. ”Oh, saya ma-rah sekali.”

Setelah ia bersitegang, baru akta ke-lahiran didapat. Tapi status pernikahan- Pok Ni tetap gelap di mata hukum. Akhir-nya, dalam akta, anak-anak Pok Ni di-tu-lis lahir dari hubungan di luar nikah.

Tak berhenti sampai di situ. Ka-rena si papa tak diakui oleh negara, nama anak-anak Pok Ni jadi mengikuti mama-nya, bermarga Li. ”Padahal marga suami saya Wi. Kalau mengikuti adat, anak-anak seharusnya bermarga Wi,” kata Pok Ni. Tapi, dia tak peduli. Baginya, mau bernama Wi atau Li, yang penting anak-anaknya bisa diterima bersekolah.

Kisah macam Li Pok Ni dan keenam anaknya jamak terdengar dalam komunitas Cina Benteng di Tangerang dan Jakarta Barat. Meski menurut sejarawan- kaum keturunan Tionghoa sudah bermukim di sana sejak lebih dari empat abad lalu, perlakuan negara terhadap mereka masih bernuansa diskriminatif.

Kampung Kosambi, tempat Pok Ni ting-gal, tak ubahnya kampung-kampung k-umuh lain di Ibu Kota. Di kampung yang berjarak sekitar lima kilometer dari bandara internasional Soe-karno-Hatta itu, rumah berdinding- tembok bisa dihitung dengan jari. Selebihnya berdinding kayu berlantai tanah.- Jalan kampungnya juga tanah, becek kalau hujan.

Lima puluh kepala keluarga di sana mencari peruntungan dengan meng-ojek, menjadi buruh pabrik, atau mem-buka warung kecil. Sedangkan sebagian kaum perempuannya mengupas kerang untuk dijual ke pasar. Upahnya Rp 3.000 per hari.

Tak semua orang Cina Benteng seberuntung Li Pok Ni, bisa mengurus- ak-ta kelahiran anak-anaknya. Tetangga-nya, Tan Seng Moi, 45 tahun, malah tak punya selembar pun surat bukti- ke-war-ganegaraan. ”Daripada dia susah, sa-ya pinjamkan surat saya,” kata Pok Ni ringan. Pinjam-meminjam SBKRI adalah siasat yang umum ditempuh kaum Cina Benteng karena hampir semua tak mampu menghamburkan duit, menyuap petugas catatan si-pil atau kelurahan. Akibatnya, keluarga Tan pun—di atas kertas—beralih marga jadi Li. Aneh tapi nyata.

Kesulitan tak hanya dialami pasangan- Tionghoa di kampung itu. Menikah de-ngan pria Cina Benteng, Yuyun Haria-ni, 29 tahun, tahu betul sengsaranya me-ng-u-rus surat kewarganegaraan. Dia sendiri orang Betawi dari Cengkareng. ”Ada saja yang kurang,” kata Yuyun, mengenang pengalamannya bolak-balik ke kantor catatan sipil. Akta kelahir-an keempat anaknya baru beres setelah ia meminta ”surat keterangan pribumi”- dari kelurah-an setempat. Caranya, Yuyun menyetor kartu tanda penduduk milik ayah dan ibunya ke petugas kelurahan. ”Saya juga harus mengurus surat kete-rangan ’luar kawin’ yang mene-rangkan bahwa saya tidak punya akta nikah,” katanya.

Improvisasi surat-surat kewarganega-raan semacam itulah yang membuat Li-liana, relawan dari Lembaga Anti-Dis-kriminasi Indonesia, tak yakin penerap-an Undang-Undang Kewarga-negaraan yang baru bisa mulus di lapangan. Dia aktif mendampingi perempuan-pe-rem-puan Kampung Kosambi mengurus surat kewarganegaraan keluarga mereka,- selama enam bulan terakhir. ”Sebagi-an besar warga kampung di sini buta hu-ruf,” kata Liliana. ”Kalau petunjuk pe-laksanaannya tak jelas, aturan baru ini tak ada artinya untuk mereka.”

Wahyu Dhyatmika

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus