Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Mahal-Murah Air Partikelir

Penswastaan badan-badan usaha daerah sebetulnya efektif dari segi kompetisi servis jasa kepada konsumen, sejauh dilakukan secara bersih—sesuatu yang tidak tercermin dalam proses penswastaan PAM Jaya.

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBELAS tahun bukan waktu yang singkat bagi Marietta Ursamsi bila air yang menjadi soal. Ia setia membayar iuran selama 11 tahun. Namun, cuma dua tahun pertama ia menerima air bersih. Setelah itu, Marietta—nama sebenarnya disamarkan—harus menghabiskan Rp 21.000 per hari untuk membeli air mineral guna keperluan makan dan minum—dan sesekali, membilas tubuh. Dan ini belum semuanya. Seluruh keluarga kena penyakit kulit gara-gara mandi dengan air leding penuh endapan zat besi. Marietta, suami, dan anak lelakinya mengeluarkan banyak ongkos untuk berobat ke dokter kulit. Biaya terus meningkat karena buduk di tubuh suaminya—selama dua tahun terakhir—hanya bisa hilang dengan olesan Marisone Combe, salep seharga Rp 35.000 per tube kecil. "Setiap salepnya habis, buduknya kumat lagi," ujar nyonya muda itu, prihatin. Marietta hanya satu contoh betapa tidak berdayanya konsumen air di Jakarta—dalam sebuah sistem usaha yang monopolistis. Selama 77 tahun—lahir pada 22 Desember 1922—Perusahaan Air Minum praktis menjadi badan usaha yang dikelola pemerintah: sebelum 1945, dengan nama Waterleidingen, berada di bawah pemerintah Hindia Belanda. Setelah 1945, ia beralih nama menjadi PAM Jaya. Setengah abad setelah merdeka, barulah PAM Jaya mencatat sebuah langkah yang, mestinya, fenomenal: bermitra dengan swasta untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada konsumen. Dua nama besar masuk ke gelanggang, Thames Water International (Thames PAM Jaya) dari Inggris, dan Lyonnaise des Eaux (PAM Lyonnaise Jaya alias Palyja) dari Prancis. Dari segi undang-undang, kehadiran kedua mitra ini sebetulnya melanggar Undang-Undang No. 1/1961, yang melarang penswastaan bisnis air minum. Namun, menurut Rama Boedi, Direktur Utama PAM Jaya, aturan ini boleh diabaikan sejauh ada kemitraan dengan pengusaha. Maka, kerja sama "model kroni Soeharto" lagi-lagi terjadi. Thames bermitra dengan PT Kekar Airindo milik Sigit Hardjojudanto. Lyonnaise menggandeng PT Garuda Dipta Semesta—saham terbesarnya milik Anthony Salim. Kedua mitra lokal ini terempas menyusul turunnya Soeharto pada Mei 1998. Pemda DKI mengambil alih dengan saham 10 persen—sementara Thames dan Lyonnaise sebagai pemilik saham mayoritas 90 persen. Mengingat prestasi internasional kedua mitra swasta asing ini, sebetulnya konsumen PAM boleh berharap ada perbaikan lewat penswastaan. Akan ada kompetisi yang lebih sehat, servis kepada konsumen meningkat, harga bersaing—seperti yang sudah terjadi pada BUMN Telkom dan Indosat. Syaratnya satu: fair trade. Sayang, praktek penswastaan PAM Jaya justru memperlihatkan semua ciri unfair trade. Thames dan Lyonnaise masuk ke PAM tanpa tender dan uji tuntas. Mereka sekadar berbekal instruksi menteri pada 1996. Dan setelah Sigit dan Salim tersingkir, kontrak kerja sama Thames dan Lyonnaise toh dilanjutkan tanpa revisi kontrak. "Mereka tidak menginvestasi, tapi mengambil begitu saja aset, manajemen, modal. Tidak ada transfer teknologi, tidak jelas berapa dana yang ditanam. Akhirnya, masyarakat juga yang menyubsidi. Ini semacam kejahatan korporasi," ujar Teten Masduki, Koordinator Indonesian Corruption Watch. Sementara itu, pihak PAM Jaya ibarat lebai malang di tengah dua raksasa swasta. Posisinya sangat lemah dalam menentukan harga air. Misalnya, untuk semester I tahun 1999, PT Thames PAM Jaya menetapkan harga Rp 2.400 per meter kubik, dan Palyja Rp 2.900 per meter kubik. Padahal, harga jual air PAM Jaya ke konsumen jauh di bawah itu, yakni Rp 2.130 per meter kubik. Alhasil, perusahaan daerah ini harus menutup kekurangannya. Artinya, defisit tahun 1999 yang harus ditanggung pemerintah adalah Rp 114 miliar. Pihak DPRD DKI memang membahas soal ini dalam sidang-sidang mereka. Namun, hasilnya jauh dari memuaskan. Hasil sidang Komisi D pada September 1998, misalnya, memutuskan antara lain: "...mendukung kerja sama PAM Jaya dengan kedua mitra swasta sepanjang saling menguntungkan semua pihak." Dukungan di atas praktis tidak berarti apa-apa karena kerja sama terus berjalan, sembari PAM Jaya terus merugi—bahkan dalam lima tahun ke depan. Namun, Rama Boedi berusaha optimistis: "Siapa tahu di tahun keenam bisa untung?" Kerugian ini sebetulnya ironis mengingat captive market dalam bisnis PAM Jaya sangat besar: 2,3 juta pelanggan, dan bisa terus meningkat. Lebih ironis lagi karena air, sesungguhnya, diberikan kepada manusia secara cuma-cuma oleh alam. Dan pemakaiannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat diatur dalam undang-undang tertinggi di negeri ini: Undang-Undang Dasar 1945.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus