Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TABRAKAN maut di Jalan Arteri Pondok Indah, dua pekan lalu, tak hanya menyisakan duka bagi keluarga empat korban tewas. Penjelasan polisi yang berubah-ubah tentang kemungkinan pemakaian narkotik oleh tersangka kasus "tabrak lari" itu pun mencurigakan.
Sehari setelah tabrakan itu, pada 21 Januari, juru bicara Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Martinus Sitompul, menyatakan si penabrak, Christopher Daniel Sjarif, positif memakai narkotik jenis lysergic acid diethylamide (LSD). Tanpa nada ragu sedikit pun, kala itu, Martinus menyebutkan narkotik berbentuk permen kertas dikonsumsi Christopher sekitar tiga jam sebelum tabrakan.
Sepekan kemudian, polisi seperti menjilat ludahnya sendiri. Menurut Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Wahyu Hadiningrat, Christopher tak terbukti memakai narkotik ketika mobil Outlander Sport yang dikemudikannya menghajar dua mobil dan sejumlah sepeda motor. Untuk meyakinkan publik, polisi menyebutkan kesimpulan terakhir itu didukung hasil tes urine di Badan Narkotika Nasional dan tes darah di Pusat Laboratorium Forensik Kepolisian RI.
Penjelasan polisi ketika meralat keterangan sebelumnya terdengar aneh. Menurut Martinus, dalam pemeriksaan awal, Christopher mengaku mengkonsumsi LSD. Tapi, ketika air kencing dan darahnya dites, hasilnya negatif. Katakanlah pengakuan Christopher itu benar adanya; polisi gagal menjelaskan satu hal: bagaimana mungkin seorang tersangka membuat pengakuan yang merugikan dirinya.
Secara logika Christopher semestinya sadar, status positif narkotik punya implikasi hukum yang serius bagi seorang tersangka. Di persidangan, jaksa lebih mudah membuktikan terdakwa pemakai narkotik sengaja mengemudi dengan cara yang membahayakan nyawa orang lain. Menurut Pasal 311 ayat 5 Undang-Undang Lalu Lintas, ancaman hukuman buat pengemudi seperti itu maksimal 12 tahun penjara. Bila digabungkan dengan pasal pidana lain, hukumannya bisa lebih tinggi.
Tengok saja kasus tabrakan yang menewaskan sembilan orang di dekat Tugu Tani, Menteng, Jakarta, pada awal 2012. Hakim memvonis Afriani Susanti 15 tahun penjara karena terbukti mengemudi di bawah pengaruh narkotik. Pengemudi "Xenia maut" itu bahkan sempat didakwa melakukan pembunuhan dan dituntut 20 tahun penjara-meski akhirnya tak terbukti.
Sebaliknya, status bebas narkotik bisa meloloskan tersangka dari hukuman yang lebih berat. Di persidangan, jaksa kemungkinan besar hanya mendakwa mereka "lalai"-bukan "sengaja"-mengemudi dengan cara yang membahayakan nyawa orang lain. Menurut Pasal 310 ayat 4 Undang-Undang Lalu Lintas, pengemudi lalai yang menabrak orang hingga tewas terancam hukuman enam tahun penjara.
Dalam kasus yang "istimewa", terdakwa bahkan bisa bebas dari hukuman. Kita masih ingat tabrakan di Jalan Tol Jagorawi yang melibatkan Rasyid Amrullah Rajasa, anak mantan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, pada akhir 2012. Menurut polisi, Rasyid bersih dari narkotik ketika mobil sport BMW X5 yang dia setir menabrak minibus Luxio hingga menewaskan dua penumpangnya. Mempertimbangkan perdamaian dengan keluarga korban, hakim hanya menghukum Rasyid lima bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan. Karena "lulus" di masa percobaan, Rasyid tak perlu menjalani hukuman penjara itu.
Tabrakan maut di Pondok Indah kembali mengingatkan kita bahwa pengemudi ugal-ugalan hingga kini masih menebar teror. Penyidikan yang transparan jelas diperlukan untuk mencegah peluang "jual-beli" hukuman yang lebih ringan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo