Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Stop Kriminalisasi Pimpinan KPK

2 Februari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI kepala negara, Presiden tidak boleh berlarut-larut membiarkan kriminalisasi terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sikap tegas harus diambil. Tak bertindak cepat sama artinya mempertontonkan lunturnya komitmen pemerintah pada pemberantasan korupsi. Tak sekadar mengkhianati janji kampanye Joko Widodo, aksi ini membuyarkan harapan rakyat akan Indonesia yang lebih baik.

Harus diakui, drama berbabak-babak ini berawal dari Joko Widodo yang keliru membuka langkah penentu langgam permainan. Presiden layak dikritik karena sembrono dan menyerah terhadap desakan berbagai pihak, antara lain Ketua Umum PDI Perjuangan dan Ketua Umum Partai NasDem, sehingga mengajukan sosok kontroversial Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian RI. Sesuai dengan catatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, rekening gendut Komisaris Jenderal Budi menampung uang yang jumlahnya tak sesuai dengan profilnya sebagai perwira polisi. Lalu lintas transaksi rekening jumbo itu, seperti berulang kali dilaporkan majalah ini, memang mencurigakan dan diramaikan aliran dana tak jelas. Jokowi, yang biasanya tak mudah percaya kepada laporan formal, mendadak berkelu lidah terhadap klarifikasi Badan Reserse Kriminal Polri yang menyatakan rekening Budi tak bermasalah.

Seperti dibakar bara api, panggung politik nasional memanas oleh pencalonan Budi sebagai Kepala Polri. Beramai-ramai pejabat kepolisian, petinggi partai, pengusaha, dan legislator Senayan memaksa Jokowi tetap melantik Budi. Walau publik menentang, Dewan Perwakilan Rakyat tanpa malu melanjutkan proses uji kelayakan dan kepatutan meski Budi sudah ditetapkan sebagai tersangka. Jokowi ketika itu sebetulnya bisa saja menarik surat rekomendasi setelah mengetahui penetapan KPK. Tapi, alih-alih membatalkan, ia malah membiarkan proses berlanjut hingga sidang paripurna.

Menolak melantik Budi bisa diartikan sebagai menghina DPR. Jika itu dilakukan, sempat muncul ancaman, Jokowi bakal dimakzulkan. Patut dicatat: pemakzulan bukanlah sesuatu yang gampang. Sesuai dengan konstitusi, pemakzulan hanya bisa diusulkan DPR apabila presiden melakukan pengkhianatan negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lain.

Trunojoyo, markas besar Polri, merupakan pemain utama dalam kegaduhan ini. "Serangan balasan" ditujukan ke Kuningan, kantor Komisi. Polisi menetapkan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai tersangka kasus dugaan memerintahkan sumpah palsu. Kasus lama, saat Bambang menjadi pengacara dalam sengketa pemilihan kepala daerah Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, diolah dan diarahkan untuk melumpuhkan Komisi. Bambang diketahui sebagai salah satu "roh" Komisi yang sebelumnya telah "pincang" akibat berhentinya Busyro Muqoddas sebagai komisioner.

Serangan balik Trunojoyo tak berhenti pada Bambang Widjojanto. Jajaran petinggi Komisi-Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnain-diganggu dan diadukan ke polisi. Mudah diduga: rentetan gebrakan "mempolisikan" pimpinan Komisi ini bertujuan membikin KPK tak berdaya mengusut dugaan korupsi Budi Gunawan.

Patut disayangkan, serangan polisi terhadap KPK diikuti upaya membentuk opini bahwa ada kesetaraan posisi antara kasus Budi Gunawan dan Bambang Widjojanto. Jika Bambang dikriminalisasi, Budi dipersepsikan mengalami hal serupa-ditetapkan sebagai tersangka saat diproses menjadi Kepala Polri. Logika sesat ini-antara lain diyakini Wakil Presiden Jusuf Kalla-diarahkan pada "win-win solution" yang menghina rasa keadilan. Jika kasus Bambang dihentikan, misalnya melalui mekanisme praperadilan, hal yang sama harus dilakukan terhadap Budi. Jika kasus-kasus itu tak dilanjutkan, skor 0-0 buat keduanya. Bambang kembali ke KPK, Budi dilantik menjadi Kapolri, negara aman damai sentosa.

Cara pandang ini tak boleh diteruskan. Sikap Jokowi menunggu putusan hakim praperadilan-yang akan memutus legalitas penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka-sebelum mengambil sikap, karena itu, tak tepat. Undang-undang mengatur, praperadilan tak bisa mempersoalkan penetapan tersangka dalam sebuah kasus. Dengan kata lain, jikapun Budi memenangi gugatan, perkaranya tetap harus diusut sehingga ia tak boleh dilantik sebagai Kepala Polri.

Berpihak pada penegakan hukum, pada gerakan antikorupsi, merupakan sikap negarawan yang harus dipilih seorang presiden. Jangan risau terhadap ancaman partai politik. Yakinlah bahwa orang ramai di belakang Presiden jika ia tak ragu melangkah. Jika berani bersikap tegas, Jokowi akan dicatat sejarah sebagai presiden yang memihak konstitusi, memihak rakyat, berkomitmen kuat melawan korupsi, dan tidak bisa disetir oleh kekuatan politik mana pun. l BERITA TERKAIT DI HALAMAN 28

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus