Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Peti Es Van Mook di Sulawe si Selatan

Sejumlah kejahatan perang oleh tentara Belanda di Indonesia diusut. Hasil akhirnya memalukan, tapi prosesnya patut disimak.

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LETNAN-Gubernur-Jenderal Van Mook cemas. Setiap hari orang membawa berita miring dari Makassar. Westerling suka menembak jari-jari kaki orang dalam interogasi, supaya mereka cepat mengaku, cepat dieksekusi, dan Sulawesi Selatan cepat bersih dari gerombolan pengacau keamanan (GPK). Ada pula berita tentang perempuan yang ditelanjangi dan disuruh berdiri di hujan lebat, di samping ayahnya yang juga ditelanjangi, supaya dia cepat memberitahukan tempat sembunyi suaminya.

Sore hari istana sepi. Letnan-Gubernur-Jenderal termenung sendirian di beranda belakang. Terlintas di benaknya kata-kata sarkastis seorang dekat: "En jangan lupa, he! Kowe lahir di Indie. Kerna itu cukup luitenant-gouverneur-generaal saja, bukan gouverneur-generaal!" Ia mencoba keluar dari renungan gelap itu, tapi terus saja diganggu suara di kepalanya: "Yang dikubur di Sulawesi Selatan bukan hanya ribuan ekstremis, mungkin juga karirmu!"

Selain itu, Van Mook merasa bahwa konsep-konsepnya yang lumayan progresif dihambat oleh kelambanan para politisi di Nederland dan kelemahan para pemimpin Indonesia dalam mengendalikan revolusi yang kian melebar basisnya. Revolusi sudah keluar dari rel borjuis, masuk ke dalam badai gerakan massa yang keras dan anarkistis. Analisis terakhir dari Sulawesi Selatan menunjukkan, kekerasan militer telah tidak hanya menggalakkan perlawanan, tapi juga memperluas basis perlawanan.

Ia merasa gagal di Indonesia Timur, gagal di Nederland, dan gagal di Indonesia. Dari Den Haag, dia menerima terlalu sedikit, terlalu lambat. Reaksi Indonesia terhadap semua itu adalah hilangnya kepercayaan pada niat baik Nederland, dan hanyutnya para pemimpin Indonesia dalam arus bawah rakyat. Perang pun mulai mengintip dari balik pintu.

"Panggil ajudan!" katanya kepada jongos pembawa limun. Sore itu, ajudan mengundang Panglima Perang, Jenderal Spoor, ke istana. Malam itu juga! Makan malam selesai. Rijsttafel biasa-biasa saja di meja makan Wakil Mahkota Oranye Nassau, pejabat tertinggi di Hindia Belanda. Para pelayan berpakaian setelan putih melayang-layang dari meja ke pintu, dari pintu ke meja, seakan kakinya tak menyentuh bumi.

Van Mook menunggu sampai mereka selesai membersihkan meja dan membawa taart dan kopi susu. Tiba-tiba, "Simon, apa sebaiknya yang saya lakukan?" Spoor sudah tahu apa masalahnya. Berita tentang sepak terjang Detasemen Pasukan Khusus sudah bocor ke mana-mana. Van Mook jadi senewen. Spoor juga sudah tahu jawabannya. Spoor selalu siap dengan jawaban. Dalam keadaan terpojok, seorang pejabat harus selalu berlindung di balik suatu komisi penyelidikan.

Pembentukan komisi mengesankan bahwa sang pejabat tidak tahu yang sebenarnya terjadi di lapangan. Dengan demikian, kesalahan sudah sedikit terlimpah pada pejabat lapangan. Ini merupakan perlindungan lapis pertama. Seorang pejabat yang membentuk komisi penyelidikan juga mengesankan "aktif", ia tampak bertindak, tidak bertopang dagu. Itu lapisan perlindungan kedua. Lapisan perisai terakhir dari sang pejabat yang membentuk komisi penyelidikan adalah kesan bahwa ia berupaya mengetahui kebenaran yang obyektif. Advis Jenderal Simon S. Spoor sederhana dan persuasif: "Bentuk komisi!"

Pada 9 April 1947, Letnan-Gubernur-Jenderal Van Mook mengeluarkan keputusan untuk membentuk komisi penyelidik. Agar hasil penyelidikannya "aman", sebagai ketua komisi, ditunjuk Meester K.L.J. Enthoven, penasihat luar biasa kabinet Van Mook.

Laporan Enthoven: Aman

Lebih dari satu tahun lamanya Enthoven menyelidiki kasus Sul-Sel. Hasil penyelidikan komisi diserahkan kepada Van Mook pada 13 April 1948. Laporan tersebut menggambarkan bahwa pemberontakan nasionalis di Sul-Sel sudah menjadi gerakan teror. Untuk menghadapi teror, tindakan konvensional pemerintahan memang sudah tidak cukup lagi. Tindakan keras militer, yaitu pengadilan kilat dan eksekusi di tempat terhadap oknum-oknum GPK yang paling jahat, dianggap kewenangan pemerintah untuk melawan teror serta memulihkan hukum dan keamanan.

Biasanya pemanfaatan polisi dan pemerintahan setempat sangat membantu untuk menangkap para penjahat. Seandainya hal ini dilakukan secara umum, ketepatan sasaran militer akan lebih terjamin. Menelanjangi orang untuk kemudian dipertontonkan seperti yang terjadi di Abokongeng sama sekali tidak bisa dibenarkan. Menjemput orang-orang dari tempat tahanan untuk kemudian dieksekusi di hadapan umum tidak dapat dibenarkan, walaupun tindakan seperti ini dilakukan di tempat-tempat yang diyakini ada anggota GPK-nya yang bersalah.

Peristiwa Pare-pare dan Mandar tidak mengesankan bahwa operasi dilakukan dengan cermat. Peristiwa Galung dapat dicegah bila pemimpin operasi menunjukkan ketangguhannya. Dalam hal ini, pemerintah tidak dapat berdiam diri dan harus mengambil tindakan.

Secara umum, komisi berpendapat bahwa wewenang luar biasa yang diberikan kepada pihak militer hanya dapat ditangani oleh orang yang sifat serta bakatnya sesuai dengan tanggung jawab yang dibebankan padanya. Ini tampak pada Westerling dalam operasi-operasinya di sekitar Makassar. Komisi akhirnya berpendapat bahwa tanpa tindakan-tindakan luar biasa seperti yang dilaksanakan di Sul-Sel, gerakan teror di sana tak akan bisa diatasi oleh pemerintahan setempat.

Letnan-Gubernur-Jenderal Van Mook puas dengan pelaksanaan tugas oleh Enthoven. Ia paling senang memisahkan kasus Westerling dari tindakan-tindakan perwira lain. Ini penting karena tanggung jawabnya secara langsung mencakup pengiriman Westerling dan Detasemen Pasukan Khususnya ke Makassar.

Beberapa waktu kemudian, Van Mook, pejabat Belanda tertinggi di Indonesia, mengeluarkan keputusan untuk tidak mengadili Kapitein Raymond Pierre Paul Westerling. Tak lama kemudian, atas undangan Westerling, Letnan-Gubernur-Jenderal Hubertus J. Van Mook dan Panglima Angkatan Perang KNIL, Jenderal Simon S. Spoor, datang menghadiri resepsi ulang tahun Korps Pasukan Khusus.

Pada 28 September 1950, Perdana Menteri Drees, juga atas nama Menteri Kehakiman Struycken dan Menteri Luar Negeri Stikker, memberikan jawaban tertulis atas pertanyaan seorang anggota Majelis Rendah Belanda apakah pemerintah bermaksud menuntut Westerling atas tindakan biadabnya di Sulawesi Selatan. "Tidak!" kata pemerintah.

Keputusan itu telah diambil dalam rapat Dewan Menteri pada 11 September 1950. Pertimbangannya, terhadap tindakan yang dilakukan di Sul-Sel pada 1946 tidak dapat dilakukan penuntutan dalam 8 bulan setelah penyerahan kedaulatan. Setelah itu, tragedi Sul-Sel tidak lagi dibicarakan di parlemen Belanda. Tapi siapa sangka masalah ini muncul lagi empat tahun kemudian.

Van Rij & Stam: Tidak Aman!

Pada 27 Agustus 1954, Meester C. van Rij dan Meester W.H.J. Stam menyampaikan laporan mereka tentang affair Sulawesi Selatan kepada Menteri Kehakiman, Menteri Peperangan, dan Menteri Jajahan. Walaupun hasilnya sama saja, isi laporan itu sangat berbeda dengan laporan Enthoven.

Para pejabat tidak merasa bahwa mereka menghadapi suatu perang dalam negeri ataupun perang gerilya. Yang mereka lihat adalah upaya mengacau kehidupan rakyat, dan kelumpuhan aparat pengadilan, serta ketidakmampuan aparat kepolisian, yang bahkan tak dapat dipercaya.

Karena itu, titik persoalannya bukan terletak hanya di bidang aksi militer, tapi terutama di bidang pengadilan. Dengan demikian, tugas pokok penguasa adalah mengembalikan kepercayaan rakyat pada negara hukum yang pernah mereka kenal di masa lalu.

Para penguasa telah memilih jalan pengadilan dan eksekusi di luar hukum. Jalan itu mutlak tidak sah, dan hanya dapat dibenarkan dalam suatu keadaan darurat yang tak memungkinkan jalan hukum yang sah, yaitu jalan penyidikan, pengadilan, dan eksekusi sesuai dengan ketentuan undang-undang. Pertanyaan yang timbul dalam hal ini adalah pertanyaan yang menyangkut kebijakan, karena kebijakan inilah yang telah mempengaruhi secara amat menentukan perilaku para perwira dan bintara di Sul-Sel. Alhasil, penilaian terhadap kebijakan tersebut tak dapat dihindarkan.

Para penguasa tertinggi di Hindia Belanda, baik sipil, militer, maupun pengadilan, telah menunjukkan sikap ragu-ragu. Mereka telah membiarkan dan membenarkan, bila bukan memerintahkan, suatu tugas yang tidak bersifat militer—yang dalam negara hukum diatur oleh serangkaian jaminan—dimasukkan ke dalam pengertian suatu aksi militer. Hal itu dilakukan atas pertimbangan hukum darurat.

Untuk pelaksanaan aksi militer, tidak diberikan pedoman tertulis dan pembatasan. Semuanya diserahkan kepada pandangan dan nurani pimpinan para pelaksana di lapangan, dengan sekadar pemberitahuan bahwa mereka harus bertanggung jawab jika ada pengaduan tentang pembunuhan. Syarat ini pun tidak diberitahukan kepada semua pemimpin pasukan. Karena itu, sebagian besar pelaku beranggapan bahwa mereka sekadar pelaksana kehendak pemerintah.

Dari dokumen-dokumen dan korespondensi, terbukti bahwa ketika Westerling berhasil dalam operasinya, kerja sama rakyat sudah pulih dan dinas kepenjaraan sudah diatur kembali. Tapi tiada upaya dari penguasa untuk mengembalikan suasana normal, bahkan sebaliknya yang terjadi. Kewenangan hukum darurat diperluas. Penguasa tertinggi di Batavia turut bertanggung jawab atas pemberian wewenang hukum darurat kepada Kapten Westerling.

Penguasa tertinggi tidak berkeberatan terhadap pemberian kewenangan tersebut kepada pihak-pihak lain. Penguasa tertinggi bahkan membenarkan eksekusi terhadap beberapa tahanan, dan dengan demikian mengesankan bahwa pembantaian terhadap para tahanan termasuk dalam wewenang hukum darurat para komandan. Untuk selanjutnya, laporan Van Rij dan Stam kurang lebih sama dengan laporan Enthoven dalam mengutuk tindakan brutal.

Pada pokoknya, yang dikemukakan dua penyelidik ini, mereka mengerti situasi yang dihadapi oleh para penguasa di Hindia Belanda, yakni ada keadaan darurat yang perlu diatasi dengan tindakan darurat. Namun, tindakan darurat itu tetap harus diberi batas-batas yang jelas dan dengan tegas diberitahukan kepada para pelaksananya. Kemudian, jika tampak bahwa tindakan darurat yang dilaksanakan sudah membawa hasil yang hendak dicapai, penguasa harus mengembalikan situasi menjadi normal kembali.

Van Rij dan Stam menyetujui anjuran Letnan Kolonel Paardekoper, hakim pengawas yang cuti selama 8 bulan: kalau diputuskan untuk menuntut tiga perwira yang dianjurkan untuk diadili, hendaknya pengadilan melangkah dengan sangat hati-hati. Benang pertanggungjawaban menjulang tinggi ke atas dan mencapai mantan para pejabat tertinggi di Hindia Belanda. Agak aneh bila tiga orang pelaksana diadili, sedangkan yang memberikan perintah bebas.

Intervensi Sipil

Menteri Kehakiman Belanda langsung memerintahkan pejabat-pejabat bawahannya meneliti secara yuridis laporan Van Rij dan Stam, sehubungan dengan kemungkinan penuntutan atas para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan di Sul-Sel. Pada 13 dan 27 September 1954, para pejabat bawahan itu melapor kepada Menteri. Lebih tegas dari Van Rij dan Stam, mereka menolak hukum darurat sebagai dasar pembenaran kejahatan. Hukum darurat sekadar meringankan hukuman.

Begitu menerima laporan dari bawahannya, Menteri Kehakiman segera menginstruksikan penjajakan kemungkinan mengadili Westerling. Jawaban yang diperolehnya: kalau Westerling jadi diadili, harus dipertimbangkan bahwa Komandan Kopassus tersebut sudah memperoleh keputusan seponering perkaranya (keputusan pemerintah untuk tidak mengadili) dari Letnan-Gubernur-Jenderal. Namun, tiga perwira lain yang diusulkan untuk diadili masih tetap dapat dituntut.

Setelah itu, Menteri Kehakiman berunding dengan Menteri Peperangan. Mereka setuju mengajukan masalah ini kepada Dewan Menteri. Dua rapat diadakan untuk memecahkan masalah ini, pada 20 dan 27 Desember 1954. Hasilnya, Westerling tidak akan diadili karena sudah dibebaskan dari tuntutan oleh pemerintah Hindia Belanda. Begitu pula tiga perwira yang lain, karena rasanya kurang adil kalau Westerling bebas, sedangkan tiga orang yang melakukan kejahatan serupa diadili. Habis perkara!

Pelajaran

Membongkar kembali kuburan-kuburan perkara lama bukan sekadar mengungkit masa lalu. Di sana-sini terlintas persamaan antara perjuangan kemerdekaan kita pada tahun 1945 dan perjuangan kemerdekaan sebagian rakyat Timor Timur. Pada pertengahan abad lalu, Belanda juga hancur namanya di mata dunia. Ketika itu, Australia mendukung kita. Amerika Serikat bahkan melangkah lebih lanjut. Kata AS, bila Belanda tidak mengakui kedaulatan RI, bantuan Marshall untuk Nederland akan dihentikan.

Yang berbeda adalah tersimpannya dokumen dan korespondensi secara rapi di arsip departemen dan kejaksaan. Yang berbeda adalah mutu laporan dan kecanggihan argumentasi hukum. Yang mengagumkan adalah kesungguhan pemerintah sipil dan intervensinya yang mengorek ke dalam sudut-sudut yang terpencil dari baju loreng pasukan khusus.

Walaupun hasil akhirnya patut memalukan, prosesnya pantas kita simak.

Nono Anwar Makarim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus