Ladang yang kering, sungai yang sat, hutan yang terbakar, ribuan orang yang mati karena suhu yang menyengat, tenaga listrik yang gagal…. Hampir bersamaan, dunia dipukul oleh galaknya Alam dan gagalnya teknologi, ketika kemarau begitu terik dan musim panas begitu ganas. Seakan-akan Eropa, Amerika, Asia, Afrika mendadak serentak "terkebelakang". Seakan-akan di semua tempat itu hidup manusia kembali dikungkung Nasib dan Kebetulan yang tak bisa ditangkal.
Pada saat seperti ini umumnya kita akan mendengar orang berkata tentang datangnya "balasan" bagi ketakaburan manusia. Dan Tuhan pun akan disebut.
Tapi benarkah ketakaburan manusia selalu bertentangan dengan kesadaran akan Tuhan? Manusia memang bisa memaklumkan, bahwa ia tak ditentukan oleh hakikat atau esensi; ia "menjadi" dalam eksistensi. Ia bisa menunjukkan bahwa ia, yang menurut "hakikat" (apa itu?) tak bisa terbang, ternyata kemudian bisa mengarungi angkasa. Kini jenis kelamin bisa diubah, kematian bayi bisa dicegah, harapan untuk hidup bisa diperpanjang. Berangsur-angsur, kodrat atau nature, begitu juga Nasib dan Kebetulan, jadi barang yang ganjil.
Ada yang mengatakan bahwa keadaan itu keliru, sebab ia "asing". Banyak yang mengatakan bahwa "mengalahkan Alam" ini adalah tema utama kesadaran Eropa. Pada tahun 1930-an, penyair Sanusi Pane (juga Sjahrir, aktivis politik) mengibaratkan Eropa ("Barat") sebagai Faust. Dalam drama yang ditulis Goethe, terutama di buku kedua, Faust memang manusia yang menghimpun pengetahuan, menaklukkan bumi, dan membangun peradaban.
Tapi ada yang dilupakan Sanusi Pane dan Sjahrir ketika menggunakan Faust sebagai alegori: sosok yang seperti itu sebenarnya baru pada abad ke-19, lewat karya Goethe. Jauh sebelumnya, dalam legenda rakyat, tokoh Faust adalah seorang peramal nasib dan ahli sihir—satu bagian dari imajinasi yang dibentuk oleh kepercayaan tentang Nasib dan Kebetulan. Ia bukan sosok modern.
Dengan kata lain, tampaknya tak ada satu jenis Faust. Juga tak ada satu jenis Arjuna.
Sanusi Pane—yang memuja apa yang dibayangkannya sebagai "Timur" dengan model apa yang dibayangkannya sebagai "India"—mengemukakan sebuah ibarat tandingan: Arjuna. Agaknya bagi Sanusi, kesatria Pandawa dalam epos Mahabharata ini seorang yang hidup bersatu ke dalam Alam dan menyerap dunia dalam kontemplasi.
Tapi bisakah kita lupa bahwa setidaknya separuh dari sosok Arjuna adalah seorang penakluk? Bahkan ketika ia memutuskan untuk bertapa, sebagaimana dikisahkan dalam cerita wayang Begawan Mintaraga. Sebab bertapa punya dua momen yang berkait. Momen pertama adalah ketika manusia merunduk, menyerahkan diri kepada sebuah adidaya yang berada di atas keterbatasan insani. Momen kedua ketika ia menaklukkan alam dalam raganya (ia, Mintaraga) dan menjadi diri yang éling lan waspada, yang "sadar dan waspada". Dengan kata lain, ketika ia mengambil posisi sebagai satu subyek, atau kesadaran, yang kukuh dan mandiri, mengatasi carut-marut dunia. Ia sepenuhnya identik dengan Karsa. Dalam kisah Mintaraga, ia adalah Karsa untuk mendapatkan sebuah senjata yang amat sakti—buat mengalahkan liyan, "yang-Lain".
Dalam posisi itu, bertapa bukanlah momen Sidharta Gautama yang bermeditasi di bawah pohon Bodhi. Dalam mencapai sunyata, setiap "kini" Gautama adalah keabadian yang menggetarkan. Sebaliknya Mintaraga: ia tak melibatkan diri dalam "kini". Ia melihat ke masa depan. Ia melakukan investasi: kelak, setelah pengorbanan pada hari ini, kekuasaan (senjata "Pasopati") akan bisa diperoleh dan digunakan. Arjuna adalah seorang modern.
Ia menempuh sebuah laku yang produktif. Ia lebih dekat kepada yang disebut Aristoteles sebagai techne¯, bukan theoria, bukan pula praxis. Dengan theoria manusia membentuk teori, dengan praxis ia menjalankan laku moral dan politik. Melalui proses menjadi Mintaraga dan dengan bantuan para dewa, Arjuna memproduksikan kekuasaan, seperti Faust yang dibantu Mefistoteles.
Sering terpikir oleh saya, jangan-jangan tak ada perpisahan yang radikal antara yang modern dan yang pra-modern: antara Faust si peramal yang hendak menggapai masa depan dan Faust si penakluk alam yang hendak membangun masa depan. Atau antara Arjuna pada momen pertama bertapa dan Mintaraga pada momen berikutnya.
Sering terpikir oleh saya, jangan-jangan pelbagai ajaran agama yang menampik pandangan sekuler, yang meletakkan manusia di atas semuanya, pada dasarnya mengulang sekularisme itu dalam cara lain—terutama ketika tiba saatnya agama berniat menghasilkan manusia yang teguh beriman secara dahsyat: manusia yang selalu di "jalan lurus", sesuai dengan sebuah desain, cocok dengan akidah.
Dengan kata lain, ketika akidah menjadi teknik (dari kata techne¯) yang merancang manusia agar tak tergantung kepada Nasibnya yang lemah dan mudah berdosa, dan agar manusia siap menghadapi Kebetulan, godaan yang memergokinya di jalan. Hukum dan fikih mungkin sebuah teknologi penyelamatan.
Tapi tiap hukum, sebagaimana teknologi, mereduksi hidup, menyederhanakannya, agar bisa mengendalikannya. Padahal kita tahu dalam hidup selalu ada yang tak bisa dikendalikan, bahkan tak seluruhnya bisa diungkap, dirumuskan, dan diukur. Dalam hidup selalu terkandung "bumi"—setidaknya dalam pengertian Heidegger. "Bumi menghantam tiap usaha untuk menembusnya," kata pemikir ini, yang mengecam humanisme lama ini. "Bumi menampilkan diri hanya ketika ia tetap tak terungkap dan tak terjelaskan."
Saya ingat kata-kata itu sekarang: ladang yang kering, sungai yang sat, hutan yang terbakar…. Mesin, dan pelbagai "jalan lurus" lain, tampaknya tak bisa terus-menerus mencegahnya.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini