DULU, Usman Admadjaja memacu Danamon dengan semboyan ambisius: growth at all cost. Di tangan sang taipan, bank ini melesat bak meteor. Baru didirikan pada tahun 1988, brankasnya cepat menggelembung. Hanya dalam tempo 10 tahun, Danamon sudah punya 800 kantor dan 17 ribu karyawan.
Tapi sejarah membuktikan, harga dari kebut-kebutan itu harus dibayar kelewat mahal. Saat krisis datang menerpa, Danamon kolaps meninggalkan kewajiban senilai Rp 12 triliun yang lalu ditomboki negara. Dan aset Usman yang diserahkan untuk membayarnya ternyata jauh dari cukup. Nilainya ketika itu ditaksir hanya Rp 2 triliun.
Belakangan diketahui, jebol itu punya penyebab lain. Danamon ternyata telah disulap Usman bak lumbung pribadinya. Dokumen hasil uji tuntas Cooper Lybrand yang didapat majalah ini menunjukkannya dengan gamblang, betapa Usman dengan lihai telah menggerogoti kas banknya melalui berbagai akal-akalan, dari mengucurkan kredit ke perusahaan terkait, menyulap buku kas, sampai membayar berbagai jasa ke perusahaan miliknya sendiri dengan ongkos yang jauh lebih mahal.
Digelar tahun 1998, due dilligence itu juga mengungkapkan bahwa sebagian besar kredit Danamon dikucurkan begitu saja, tanpa analisis yang memadai, bahkan tanpa persetujuan bagian kredit terlebih dahulu. "Semua dilakukan atas instruksi Usman dan pemegang saham terbesar," kata sumber TEMPO.
Hasilnya, 80 persen dana masyarakat yang dihimpun Danamon dialirkan ke brankas perusahaan-perusahaan pribadinya. Kredit ke Bentala Group, kapal induk bisnis properti Usman, nilainya mencapai triliunan rupiah. Selain itu masih ada sejumlah kucuran dana yang tak jelas pertanggungjawabannya. Antara lain: Rp 187 miliar ke Danamon Finance Co., Rp 126 miliar untuk fasilitas kredit usaha tani, dan Rp 9,9 miliar ke BPR Delta.
Buntutnya, setelah diambil alih pemerintah, manajemen baru Danamon dihadapkan pada pilihan pahit: menghapusbukukan berbagai kredit siluman itu, atau harus mencadangkan dana provisi 100 persen.
Akal-akalan Usman yang lain adalah mendirikan perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki dia pribadi atau keluarganya. Setelah itu, Danamon "dipaksa" menjadi klien tetap perusahaan tersebut. Pengisapan ini terjadi dari segala penjuru, mulai penyewaan gedung kantor, peralatan kantor, jasa satelit komunikasi, mobil, sampai tenaga kerja. "Bisa dibilang 77 persen biaya sewa yang dikeluarkan Danamon setiap bulannya jatuh ke perusahaan terkait itu," kata sumber TEMPO lagi.
Sayang, Usman tak bersedia memberi penjelasan. Permohonan wawancara dari majalah ini sama sekali tak ditanggapinya. Berikut adalah berbagai jurus lihai Usman menggerogoti banknya.
PT Dana Usaha Gedung
Ini adalah perusahaan yang 99 persen sahamnya dimiliki Usman melalui PT Danamon Investama dan satu persen sisanya oleh Usman secara pribadi.
Di tahun 1997, Bank Danamon meneken perjanjian dengan PT Dana Usaha. Isinya sungguh "cemerlang": Dana Usaha membeli kantor-kantor cabang Danamon, dan untuk selanjutnya Danamon harus menyewanya dari Dana Usaha. Duit pembelian tak datang dari kantong Usman pribadi, tapi dari pinjaman kreditor lain dengan agunan uang sewa Danamon itu sendiri.
Tak cuma itu, Dana Usaha juga diberi hak mengatur semua penyewaan gedung yang dibutuhkan Danamon dari pihak ketiga. Untuk itu, Bank Danamon diharuskan membayar ongkos ke Dana Usaha sebesar 10 persen dari nilai sewa. Lebih hebat lagi, Danamon lalu memberi jaminan, setelah tahun ketiga, biaya sewa akan naik minimum 10 persen setahun.
PT Sanatel
Perusahaan satu ini juga merupakan milik pribadi Usman. Bidangnya: menyediakan jasa pelayanan satelit komunikasi. Pelanggannya tak perlu susah-susah dicari, ya Bank Danamon itu sendiri. Terbukti kemudian, layanan Sanatel penuh carut-marut. Satelit komunikasinya tak mampu menjangkau banyak wilayah di luar Jakarta.
Tapi, pada Maret 1998, satu bulan sebelum diganti, manajemen Danamon malah meneken perpanjangan kontrak Sanatel selama 15 tahun. Dalam perjanjian ditetapkan sebuah klausul pamungkas: jika kontrak dibatalkan, Danamon tetap harus membayar penuh uang jasa dan mengganti seluruh biaya yang sudah dikeluarkan Sanatel.
Untuk menutup gunungan utang Usman, Sanatel dilego Rp 900 miliar.
PT Dana Usaha Lestari
Bersamaan dengan kontrak sewa kantor di atas, di tahun 1997 Danamon juga mengikat perjanjian pembelian dan penyewaan perangkat komputer dengan perusahaan ini. Caranya persis seperti kontrak Dana Usaha Gedung. Komputer yang sebelumnya memang sudah menjadi milik bank dijual dulu ke Dana Usaha Lestari. Setelah itu, Danamon diharuskan menyewanya kembali. Ini termasuk kuasa untuk membeli perangkat baru untuk kemudian disewakan kembali ke Danamon.
Hasilnya, tiap bulan Danamon mesti merogoh kocek sekitar Rp 6,5 miliar untuk ongkos sewa. Pada Maret 1998, satu bulan sebelum turun dari kursinya, direksi Danamon memerintahkan pengucuran dana Rp 3,7 miliar dan US$ 9,2 juta kepada perusahaan tersebut. Alasannya, untuk membayar cicilan utang ke kreditor. Tapi, kenyataannya, tidak ada bukti apakah duit memang digunakan untuk membayar keperluan itu. Yang pasti, pengeluaran ini lalu menggelembungkan biaya rekapitalisasi Danamon.
PT Danamon Wahana Tenaga Kerja
Perusahaan ini didirikan untuk menyediakan karyawan kontrak bagi Bank Danamon. Dalihnya: melindungi bank dari kewajiban jangka panjang tertentu yang berkaitan dengan biaya tenaga kerja.
Yang terjadi adalah, ke perusahaan ini Danamon harus membayar ongkos 5 persen per bulan atau 60 persen per tahun dari nilai gaji karyawan. Ini berlaku untuk daerah Jakarta. Di luar Jakarta, Danamon harus membayar 2 persen tiap bulan atau 24 persen per tahun.
Danamon nyaris tidak mendapatkan jasa apa pun dari perusahaan ini, karena praktis seluruh proses administrasi karyawan sudah dilakukan Danamon sendiri melalui kantor regionalnya. Di tahun 1999, Danamon total menyetor Rp 21,3 miliar untuk pengeluaran ajaib ini.
Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini