Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Harga Seorang Usman Admadjaja

Usman minta agar garansi pribadinya dilelang untuk melunasi utang. Sebuah usulan ajaib yang kemungkinan diloloskan pemerintah.

31 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Harga Seorang Usman Admadjaja
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pertemuan penting itu mendadak dibatalkan. Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntoro-Jakti, yang sedianya memimpin sidang, tiba-tiba harus terbang ke luar negeri. Rapat Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang dijadwalkan Rabu pekan lalu itu terpaksa ditunda, entah sampai kapan.

Agenda sidang siang itu sebenarnya terlalu genting untuk diabaikan. Menurut rencana, KKSK akan memutuskan strategi penyelesaian utang bankir besar Usman Admadjaja sebesar Rp 12,5 triliun, yang telah jatuh tempo November tahun lalu. Keputusan tim Dorodjatun akan menjadi pegangan bagi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang selama ini tak kunjung berhasil menjual aset-aset yang dijaminkan Usman karena pelbagai sebab.

Beberapa waktu lalu, BPPN gagal melelang Hotel Nikko di Bali dan gedung megah Puri Imperium di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Begitu juga rencana lembaga ini menjual Wisma Danamon, menara beton setinggi 33 lantai di Jalan Sudirman, Jakarta, yang kini menjadi markas BPPN. "Semua rencana mentok karena diblokir Usman," kata seorang sumber di pemerintahan, setengah jengkel.

Apa yang sesungguhnya terjadi, tak jelas benar. Deputi Kepala BPPN Taufik Ma'roef mengaku Usman keberatan jika aset-aset yang telah dijaminkannya itu dijual secara ketengan. "Usman tak memberikan surat kuasa menjual," kata Taufik. Sebagai ganti, Usman mengajukan usulan agar pemerintah melelang promissory notes (promes alias surat sanggup bayar) yang telah diserahkannya kepada BPPN.

Sepintas, usulan Usman masuk akal. Ini mirip dengan penyelesaian utang para pengusaha yang menanggung beban kredit macet. Untuk memaksimalkan pengembalian utang macet ini, BPPN menjual hak tagihnya melalui lelang yang biasa disebut Program Penjualan Aset Kredit (PPAK). Tingkat pengembalian utang (recovery rate) dari lelang seperti ini biasanya kurang dari 25 persen.

Yang menjadi soal, pinjaman Usman bukan berasal dari tagihan kredit yang kemudian macet. Hikayat utang bankir kampiun ini bermula pada 1998, ketika Bank Danamon miliknya limbung dihantam krisis. Bank papan tengah yang belakangan ketahuan lebih banyak mengucurkan kredit kepada kelompok sendiri sehingga melanggar aturan perbankan itu dapat diselamatkan setelah pemerintah menyuntikkan bantuan likuiditas dan injeksi modal hingga puluhan triliun rupiah.

Sebagai ganti, Usman harus menyerahkan Danamon dan melunasi sejumlah kewajiban. Berdasarkan perjanjian utang yang diteken November 1998, direktur utama sekaligus pemilik Kelompok Usaha Bentala itu diwajibkan membayar Rp 12,5 triliun dalam tempo empat tahun.

Berbeda dengan Liem Sioe Liong (kala itu pemilik BCA), Sjamsul Nursalim (BDNI), atau Bob Hasan (BUN), yang menyerahkan ratusan perusahaan sebagai alat pembayaran, Usman memilih jalan lain. Bersama tiga bankir lain, Kaharudin Ongko (pemilik BUN), Samadikun Hartono (Bank Modern), dan Hokiarto (Bank Hokindo), ia menerbitkan promes yang disertai jaminan aset (sebagian besar berupa properti) plus personal guarantee (jaminan pribadi).

Di sini persoalannya tambah rumit. Garansi pribadi selama ini dikenal sebagai "jaminan-telak" karena yang dipertaruhkan bukan hanya seluruh harta pribadi, tapi juga kekayaan istri dan anak keturunan. Dengan personal guarantee, negara punya jaminan seluruh utang empat serangkai ini terbayar lunas 100 persen, sonder diskon—kecuali jika harta benda debitor dan keluarganya (termasuk pakaian yang menempel di badan) benar-benar tak cukup untuk menutup utang.

Pendek kata, dengan memberikan jaminan pribadi, mustahil bagi Usman untuk tetap tinggal di rumahnya yang mewah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, atau mondar-mandir ke luar negeri, jika utangnya belum lunas. Bahkan sekadar wara-wiri dengan mobil pribadi pun, di atas kertas, tidak mungkin.

Usulan Usman makin tak masuk akal karena ia meminta promesnya dijual dalam satu paket bersama jaminan pribadi. "Jelas," kata seorang bankir yang tahu persis soal ini, "Ini akal-akalan Usman untuk kabur, lari dari tanggung jawab membayar utang."

Kabur mungkin istilah yang terlalu keras. Tapi paling tidak, dengan siasat lelang promes dan personal guarantee, Usman berharap ia bisa melunasi kewajibannya dengan biaya murah—mungkin hanya 25 persen dari total utang, seperti yang dinikmati para pembeli lelang PPAK.

Menghadapi permintaan yang ajaib ini, mestinya BPPN tinggal bilang, "No way." Apalagi Komite Pengawas BPPN dengan tegas sudah pula memberi rekomendasi agar lembaga keuangan pemerintah yang powerful itu tetap berpegang pada perjanjian utang yang sudah disepakati. Jual jaminan Usman. Kalau masih kurang, kejar jaminan pribadinya. Habis perkara!

Anggota Tim Bantuan Hukum BPPN, Luhut Pangaribuan, juga pernah mengingatkan bahwa pemerintah akan kesulitan menarik tagihan dari Usman jika jaminan pribadi pengusaha kelahiran Lampung ini dijual. "Personal guarantee tak boleh dijual," kata Luhut tegas.

Namun, bukan BPPN namanya kalau bisa setegas itu. Taufik memang membantah selentingan bahwa lembaganya berniat meluluskan permintaan Usman dengan melelang jaminan pribadinya. Tapi ia tak menyanggah bahwa penjualan promes, bagi BPPN, jauh lebih mudah. "Pengembaliannya lebih cepat dan optimal," katanya terus terang.

Taufik memperkirakan, dengan menjual promes Usman, BPPN akan langsung mendapatkan uang kontan Rp 2 triliun sampai Rp 2,5 triliun, atau 16-25 persen dari total tagihan. Lumayan, tak jauh berbeda dengan penjualan melalui lelang PPAK.

Apalagi, begitu Taufik mengingatkan, sisa waktu yang dimiliki BPPN amat terbatas. Beberapa bulan lagi lembaga ini akan tutup buku alias dibubarkan. "Kita tak ingin menyerahkan bom waktu ke lembaga lain," katanya seraya menegaskan keinginannya untuk segera membereskan soal ini.

Sikap Taufik yang tampak "condong" ke arah kepentingan Usman tak pelak menuai kritikan pedas. Ekonom Faisal Basri menyatakan BPPN sebenarnya punya waktu melimpah jika benar-benar berniat menyelesaikan kemelut utang Usman. Awal tahun lalu, pemerintah sudah menunjuk konsultan penjualan aset milik Grup Bentala. Namun, celakanya, tim konsultan ini dibubarkan Ketua BPPN Syafruddin Temenggung. Tak mengherankan jika Faisal begitu geram.

Sayang, hingga tulisan ini diturunkan, Usman tak dapat dimintai komentarnya tentang persoalan ini. Surat yang dikirim majalah ini sama sekali tak dijawab. Ketika didatangi ke kantornya di lantai 17 Gedung Aetna Wisma Danamon, petugas pengamanan mengatakan Usman tak ada di tempat. Melalui telepon, sekretarisnya, Nilasari, menambahkan bahwa majikannya sedang berada di luar negeri.

Tapi, di pelataran parkir, satpam mengatakan bahwa mobil Usman baru saja meninggalkan kantor. Di depan lobi gedung kembar yang megah-gagah itu, kendaraan yang menjadi tumpangan Usman mendapat tempat parkir khusus bersama mobil milik Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi dan Kepala BPPN Syafruddin Temenggung.

Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus