Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

'Kipas Cenderawasih' di Akademi Polisi

Banyak calon polisi menjadi korban penganiayaan. Pengelola Akademi tutup mata, dan para pelaku cuma diberi sanksi ringan.

3 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TRADISI kekerasan masih belum beranjak meninggalkan Akademi Kepolisian. Kejadian buruk turun-temurun itu ternyata bukan kabar burung. Dengan dalih mengajarkan kedisiplinan, para senior kerap menghukum adik kelasnya dengan berbagai bentuk penganiayaan yang brutal. Selain berbahaya, hukuman yang diberikan kerap merendahkan martabat taruna.

Gubernur Akpol Inspektur Jenderal Amin Saleh, yang baru saja menjabat, terbilang sigap mencegah agar kekerasan fisik itu tak terulang. Dua mobil provos disiagakan untuk berpatroli sepanjang malam hingga fajar menyingsing di asrama kampus. Para pengasuh taruna diinstruksikan menginap di asrama calon perwira polisi itu. Para senior juga dilarang memanggil junior, baik sebelum maupun sesudah tidur.

Namun tindakan itu tak cukup. Yang jauh lebih penting adalah mengganjar siapa pun pelaku penganiayaan dengan hukuman setimpal. Brigadir Satu Taruna Edi Saputro sebagai contoh. Ia yang terbukti menjadi biang urusan siksa-menyiksa juniornya ini ternyata cuma diberi hukuman ringan, yakni diturunkan pangkatnya satu tingkat. Padahal kekerasan yang dia lakukan tergolong perbuatan pidana dan harus ditangani pihak berwajib di luar kampus.

Dalam dokumen penyelidikan internal, Edi Saputro diberitakan kerap menghukum adik kelasnya untuk urusan sepele. Belasan adik kelas itu digiring ke koridor asrama. Mereka diperintahkan berposisi kayang: badan menghadap langit, kedua kaki dan tangan bertumpu di lantai, tak boleh bergerak hingga Edi menghitung sampai seratus. Ada yang diperintahkan membungkuk sampai kepala menyentuh lantai, tanpa tumpuan tangan—posisi ini disebut "sikap tobat". Kalau ada yang bergerak dipukuli dengan besi gantungan baju. Sanksi paling jamak berupa tamparan pipi kanan dan kiri bertubi-tubi—dinamai "kipas cenderawasih".

Memelonco junior atas nama kedisiplinan merupakan cara-cara primitif yang harus diakhiri. Apalagi jika dilakukan dengan cara kekerasan dan penganiayaan yang jelas-jelas melanggar hukum. Perbuatan pidana ini tak cukup hanya dihukum melalui mekanisme sidang akademis—yang sampai kini dianggap sebagai forum penghukuman tertinggi di kampus. Semua laporan awal penganiayaan itu harus ditindaklanjuti dengan penyelidikan yang dilakukan tim independen.

Tim ini tak boleh berisikan para hamba wet, yang dikhawatirkan bias kepentingan. Demi menjaga nama baik korps, mereka biasanya cenderung menutupi kasus-kasus gawat ini. Tim diharapkan bisa menyelidiki secara leluasa melalui pengakuan para korban, ihwal apa yang sesungguhnya terjadi di Akademi Kepolisian Semarang itu. Hasil temuan mereka kelak diserahkan ke pihak berwajib. Para pelaku kekerasan kudu diadili tanpa pandang bulu.

Manajemen kampus juga harus dibenahi. Mekanisme pengawasan internal semestinya dikembalikan ke para pendidik. Jangan lagi diserahkan ke taruna senior, sehingga rawan disalahgunakan. Pendidikan dasar bhayangkara juga tak boleh lagi diserahkan ke para taruna tingkat akhir. Peluang ini memicu kegiatan tambahan selepas apel malam, yang rawan kekerasan.

Para perwira menengah yang menjadi pendidik semestinya diberi insentif agar mereka termotivasi dan tak merasa dibuang di Akademi. Jangan sampai kenaikan pangkat mereka tertahan bertahun-tahun gara-gara mengajar di sini. Mendidik taruna tak kalah mulia dibandingkan dengan tugas di pos lain. Sebab di tangan merekalah masa depan kepolisian sangat ditentukan, melalui lulusnya calon perwira polisi dari Akademi yang peduli pada integritas dan berdisiplin tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus