Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NEGERI ini niscaya semakin runyam bila perilaku politikus Dewan Perwakilan Rakyat seperti empat pemimpin Badan Anggaran yang mengancam mogok membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012. Perilaku pentolan Badan Anggaran memprotes Komisi Pemberantasan Korupsi yang akan memeriksa mereka mencerminkan sikap picik yang berpotensi menghambat pengelolaan anggaran belanja negara. Sebagai legislator, pimpinan Badan Anggaran galibnya tahu persis bahwa memenuhi panggilan KPK—dalam perkara dugaan suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi—tak boleh ditawar-tawar.
Gertak untuk mogok—istilah mereka menyerahkan mandat kepada pimpinan DPR—bisa berakibat serius. Pembahasan anggaran belanja yang ditargetkan rampung bulan depan akan terhenti, program pembangunan setahun mendatang akan berantakan. Tindakan begini menunjukkan cara berpikir yang semrawut. Kewajiban membahas anggaran belanja untuk kepentingan publik jelas betul sengaja dipertukarkan dengan persoalan pribadi pimpinan Badan Anggaran.
Panggilan KPK bukanlah langkah berlebihan, apalagi pelecehan terhadap Badan Anggaran. Menurut Undang-Undang Nomor 30/2002, KPK memiliki wewenang melakukan penyelidikan terhadap dugaan korupsi di semua lembaga penyelenggara negara, tidak terkecuali Badan Anggaran. Lagi pula, KPK tidak bertindak atas dasar wangsit tapi berdasarkan sejumlah bukti. Misalnya tentang persetujuan Badan Anggaran dalam proses anggaran proyek infrastruktur di kawasan transmigrasi senilai Rp 500 miliar. Apalagi para tersangka dan saksi kasus ini mengungkapkan soal setoran kepada Badan Anggaran, melalui Tamsil Linrung, salah seorang wakil ketua.
Diduga keras proses pembahasan anggaran ini tidak melibatkan Komisi II DPR—yang selama ini merupakan mitra kerja Kementerian Transmigrasi. Anggaran Rp 500 miliar secara misterius "mendadak" muncul di pos anggaran transfer daerah yang sepenuhnya ditangani Badan Anggaran. Bila pimpinan Badan Anggaran tak merasa ada yang janggal, semestinya mereka menjelaskan kepada penyidik KPK tentang alasan Badan Anggaran memberikan persetujuan untuk anggaran Rp 500 miliar tadi pada 22 Juli lalu.
Bukan kali ini saja Badan Anggaran menjadi sorotan. Dalam kasus suap pembangunan wisma atlet, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin menuding ada setoran Rp 6 miliar untuk "Banggar Besar"—sebutan Nazar untuk petinggi Badan Anggaran.
Kalau punya komitmen terhadap pembasmian korupsi, pimpinan DPR seharusnya mendukung langkah KPK memeriksa petinggi Badan Anggaran. Mengundang pimpinan KPK menghadiri rapat konsultasi mekanisme pembahasan anggaran, dalam suasana begini, hanya mengesankan Senayan menebar teror. Bila pimpinan KPK akhirnya "mengalah" datang ke Senayan, perlu dipastikan tak ada pembahasan tentang kasus Badan Anggaran. Pimpinan KPK bisa didakwa melanggar undang-undang dan kode etik bila bertemu dengan orang-orang yang perkaranya sedang mereka tangani. Mestinya DPR memahami aturan ini. Andai tak paham, sebaiknya anggota DPR segera mengembalikan mandat yang diberikan konstituen mereka.
Pimpinan KPK tidak boleh surut. Seandainya pun kelak manuver politik akan dilanjutkan, umpamanya dengan ancaman pemotongan anggaran, KPK tak boleh ciut. Semakin kencang perlawanan Badan Anggaran dan DPR, semakin kuat pula dugaan memang ada "bunker" korupsi yang sedang sedemikian kuat ditutup-tutupi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo