Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya. Kejahatan bisa terjadi karena ada kesempatan. Waspadalah! Waspadalah!
Itu perkataan Bang Napi, yang sering muncul dalam program berita kriminal di televisi. Ucapan itu tampaknya relevan dengan bom yang meledak di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton, Solo, 25 September lalu. Teror itu terjadi tidak hanya karena niat keji pelakunya, tapi juga karena ada ruang gerak yang memungkinkannya.
Pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bereaksi keras atas bom itu. Menurut Presiden, bom yang melukai 27 anggota jemaat itu diduga tak diantisipasi petugas keamanan, padahal informasi rencana peledakan itu sebelumnya telah disuplai Badan Intelijen Negara. Intelijen bahkan mengatakan sudah mengetahui rencana teror itu empat hari sebelumnya.
Seharusnya, jika polisi menanggapi pasokan informasi dari BIN, mereka masih bisa menangkap calon pelaku, minimal mencegah peledakan. Tentu saja polisi membantah anggapan bahwa mereka tidak merespons informasi dari BIN tersebut. Dalam istilah polisi, laporan itu sudah 86—artinya dimengerti. Hanya, menurut polisi, hingga saat aksi itu terjadi, polisi—terutama pasukan antiteror Densus 88—tidak berhasil menemukan para pelaku. Sepintas lalu, alasan ini bisa dimaklumi, karena polisi hanya punya empat hari untuk berburu. Terlalu mepet.
Namun, jika kasusnya dirunut dari awal, waktu yang dimiliki polisi tidak sesempit itu. Ahmad Yosepa alias Hayat—pelaku bom bunuh diri Solo itu—merupakan satu dari lima buron peledakan di Masjid Az-Zikra, kompleks Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon, 15 April lalu. Ia diketahui sempat mengantarkan Syarif (pelaku bom bunuh diri) melakukan aksinya. Artinya, polisi punya waktu lima bulan untuk memburu Hayat dan kelompoknya.
Bagaimanapun, dua peledakan yang dilakukan satu kelompok teroris dalam satu semester amat jarang terjadi. Mereka biasanya tiarap cukup lama untuk memastikan pantauan polisi tak lagi ketat. Dua ledakan dalam satu semester itu hanya bisa terjadi jika pelaku benar-benar merasa tidak diawasi. Hanya ada—meminjam kata-kata Bang Napi—"karena ada kesempatan".
Jika itu benar, betapa kacaunya kinerja polisi. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan lemahnya perundang-undangan, seperti dikatakan Kepala BIN Sutanto. Ia mengatakan, polisi tidak bisa menangkap calon teroris, meski sudah mengantongi informasi dari BIN. Ini karena informasi intelijen bukanlah alat bukti yang sah menurut hukum. Tanpa alat bukti, polisi tak boleh menangkap orang yang dicurigai.
Tujuan dari pernyataan Sutanto adalah disahkannya Undang-Undang Intelijen. Dengan undang-undang tersebut, polisi bisa menyadap atau menangkap orang tanpa harus mengumpulkan bukti yang kuat terlebih dulu. Tapi menghubungkan gagalnya polisi menangkap Hayat dengan tidak adanya Undang-Undang Intelijen adalah alasan tak berdasar. Bukankah selama ini, tanpa undang-undang tersebut, polisi berhasil menangkap dan menghabisi gembong teroris seperti Imam Samudra, Dr Azahari, dan Noor Din M. Top.
Seperti kata mantan wakil presiden Jusuf Kalla, ini murni soal kinerja. Kinerja yang menentukan keselamatan orang banyak. Pekerjaan polisi mengawasi teroris seperti pilot yang mengawasi cuaca. Silap sedikit, banyak orang menjadi korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo