Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

"KKN" itu: Kita Ketiban Nahas

Sebuah megaproyek milik Keluarga Cendana menunggak kredit US$ 218 juta. Prospek bisnisnya suram. Bagaimana membereskannya?

12 April 1999 | 00.00 WIB

"KKN" itu: Kita Ketiban Nahas
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Kata "KKN" sudah mulai jadi slogan. Orang banyak mulai lupa apa sebenarnya itu, dan apa akibatnya jika diterjemahkan dalam angka. Untung, kini ada satu soal tiba-tiba disorot kembali: soal PT Chandra Asri. Perusahaan ini merupakan sebuah megaproyek untuk memproduksi olefin. Bintangnya Prajogo Pangestu, Henri Pribadi, dan, tentu saja, Bambang Trihatmodjo, sang putra kedua. Proyek itu pernah terhenti enam bulan karena melanggar ketentuan Tim PKLN (Pengendalian Pinjaman Komersial Luar Negeri) ketika para menteri ekonomi di kabinet mencoba "berani" mempersoalkannya. Tapi, berkat sawab Soeharto, akhirnya proyek boleh jalan terus. Dari sebuah perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN), Chandra Asri jadi perusahaan modal asing (PMA). Dengan ini, utang dari luar bisa dilakukan. Tapi perusahaan itu telanjur menerima kredit dari dua bank milik Republik Indonesia, Bank Bumi Daya (BBD) dan Bank Dagang Negara (BDN), sebesar US$ 218 juta. Jumlah itu, kini, ditambah dengan utang dari Bank Exim, diperkiarakan jadi US$ 2,7 miliar, atau hampir 10 kali lebih besar. Pada 1992, kepada TEMPO, Prajogo mengatakan pinjaman itu menggunakan sistem IDC (interest during construction), yang berarti bunga dan utang pokok dibayar setelah pembangunan proyek selesai, yakni pada 1995. Apa lacur, sampai tahun 1999, pinjaman itu ternyata belum lunas dibayar. Dan itulah beban Indonesia kini. Pemerintah harus dapat cara mendapatkan kembali dana yang telanjur dikucurkan. Harap dicatat: perusahaan yang punya merk Cendana diperkirakan sudah berutang sekitar Rp 28 triliun: selain Chandra Asri, juga PT Timor Putra Nasional, Kanindotex, dan BPPC. Ini berarti hampir 30 persen dari kredit macet bank-bank BUMN pada 1.200 perusahaan yang mencapai Rp 100 triliun. Dan Chandra Asri menguasai porsi terbesar. Bagaimana mencari solusi untuk kredit macet bank BUMN itu? Tiga alternatif paling banyak disebut-sebut, yaitu: utang dikonversi menjadi kepemilikan saham pemerintah, penyitaan aset, atau gugatan pailit pada debitur. Tapi semua jalan tidak mudah. Potensi Timor, Kanindotex, dan BPPC untuk mengembalikan utang bisa dikatakan nihil. Chandra Asri masih memiliki pabrik yang bisa dioperasikan, tapi sementara ini prospeknya diragukan. Obral perusahaan ke investor asing? Sang investor akan menunggu sampai harganya murah benar dan risikonya kecil. Sanksi lebih berat tergantung pada gugatan pailit yang diputus oleh Pengadilan Niaga. Tapi, selama integritas hakim-hakim di pengadilan itu sangat minim, debitur kakap seperti Prajogo, Bambang Tri, dan Tommy Soeharto diperkirakan tidak akan tersentuh, kendati aset mereka ludes. Maka, inilah arti KKN: Kroni-Kroni Nekat, Kita Ketiban Nahas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus