Sudah dapat diduga, pasti suatu saat B.J. Habibie akan ikut berseru: saya juga! Dalam soal pencalonan presiden, kini Habibie menyatakan kesediaannya dengan kata-kata pembukaan "kalau rakyat menghendaki...," yang sebenarnya justru ingin berpesan agar dia tidak dilupakan: inga-inga pa kitorang!
Bahwa Habibie berkeinginan untuk terus duduk di kursi kepresidenan, itu sudah tercium baunya dari sejak hari pertama. Dalam zaman keterbukaan ini sebetulnya sikap pura-pura ogah gaya Soeharto dulu ("apabila rakyat meminta melalui MPR nanti") sudah tak laku dipakai lagi. Dulu hal itu diterima sebagai tanda kerendahan hati bapak pemimpin. Sekarang orang tak akan ragu-ragu lagi menilai yang demikian sebagai kemunafikan belaka.
Sebaiknya dalam sistem politik demokratis "rakyat yang meminta" bukan lagi dihasilkan dengan rekayasa kekuasaan ("kebulatan tekad mendukung calon tunggal Soeharto"), melainkan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dengan sah melalui pemilihan umum. Pemimpinlah yang harus "meminta" rakyat agar mau mendukungnya dalam pemilihan presiden nanti. Dalam persaingan terbuka, seharusnya dengan jujur ditunjukkan bahwa calon pemimpinlah yang membutuhkan bantuan rakyat pemilih. Adapun rakyat yang "meminta" melalui MPR tak lain ialah rakyat yang lebih dulu "dipinta" melalui pemilu.
Tapi pemilihan umum di Indonesia bukan khusus diadakan untuk memilih presiden, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di Amerika Serikat, pemilihan umum untuk presiden dilakukan secara khusus, tapi dengan cara yang sebetulnya juga tidak langsung. Resminya, rakyat memilih anggota dewan pemilih (electoral college) dari tiap negara bagian dulu, dan pada gilirannya dewan pemilih yang terbentuk itu memungut suara untuk menetapkan presiden terpilih. Jadi sebenarnya secara resmi dan teoretis pemilihan presiden Amerika dilakukan secara bertingkat; secara praktis, karena kampanye yang dilakukan berpusat pada diri calon-calon presiden, maka tampak seperti diselenggarakan secara langsung.
Di Indonesia pemilihan presiden juga boleh dikatakan bertingkat, dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan bertindak sebagai semacam dewan pemilih. Bedanya ialah anggota MPR tidak berfungsi tunggal untuk memilih presiden saja. Pemilihan umum untuk presiden pun tidak dilakukan terpisah, tetapi diadakan untuk memilih anggota badan legislatif, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang merupakan sebagian besar dari keanggotaan MPR. Namun, harus diakui bahwa peristiwa yang terpenting letaknya tetap ada di ujung proses pemilihan, yaitu penentuan presiden dalam sidang MPR. Dan untuk mewujudkan gagasan "rakyat meminta karena rakyat dipinta", wajarlah kalau dalam kampanye Pemilu untuk DPR ini setiap partai juga membujuk rakyat pemilih untuk mau menyetujui calon presiden masing-masing yang akan diajukan di MPR nanti.
Sekarang, Presiden Habibie sudah menyatakan harapannya agar rakyat "memintanya" nanti. Tetapi persoalannya, siapa saja rakyat yang akan diandalkannya untuk mendukung keinginannya itu. Banyak pihak, termasuk majalah ini, yang berpendapat bahwa Habibie tidaklah lebih dari presiden untuk masa transisi saja, dan cukup sekian saja. Di luar dari itu, masih ada dua rintangan lain yang harus diatasi Habibie. Pertama, apakah memang partainya, Golongan Karya, akan menjadikannya sebagai calon utama. Kedua, apakah Partai Golkar sendiri berpeluang memperoleh cukup suara dalam pemilihan akan datang, sedemikian sehingga masih ada partai lain yang berminat untuk bersekutu dengannya.
Sebagai presiden yang tengah berkuasa, tentu Habibie mempunyai posisi yang memberi beberapa kelebihan padanya. Banyak yang menjadi bergantung pada kedudukannya, dan di tengah-tengah mereka yang pada dasarnya bersifat oportunistis, mudah baginya untuk memperoleh dukungan. Walaupun begitu, resminya sampai sekarang masih belum ada ketetapan Golkar untuk menjadikan Habibie sebagai calon satu-satunya. Masih ada ambisi tersembunyi, yang mencoba bergerilya di tingkat pimpinan partai untuk mengajukan calon lainnya. Nama Akbar Tandjung, Jenderal Wiranto, Sultan Hamengku Buwono X masih belum hilang sama sekali.
Habibie tidak pernah dikenal sebagai seorang yang terampil berpolitik praktis. Tapi akhir-akhir ini segerombolan operator politik yang reputasinya mirip soldiers of fortune bergerak membangun mesin politik untuk memenangkan kedudukan sang presiden. Dengan kecukupan dana dan fasilitas, memang tidak sulit bagi Habibie untuk menyingkirkan saingan lainnya di dalam Golkar. Sebab, bukan rahasia lagi, Golkar terdiri dari orang-orang yang mudah berbalik sesuai dengan arah tiupan angin.
Kedudukan Habibie diperkuat kalau dua faktor lain ikut diperhitungkan: dukungan kesetiaan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan apa yang disebut sebagai orang-orang dari Timur, khususnya asal Sulawesi, seperti yang dimotori oleh Baramuli. Ditambah dengan bala bantuan dari "luar", seperti Partai Daulat Rakyat yang dekat dengan Menteri Adi Sasono, gerakan barisan Habibie akan semakin lincah. Demikian juga dengan sokongan—besar kecilnya tergantung kesepakatan tentang imbalan politiknya—dari beberapa unsur yang ada dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tapi yang lebih menentukan ialah sikap ABRI, khususnya Jenderal Wiranto. Kalau mereka memutuskan berpihak pada Habibie, hampir pasti calon Golkar untuk presiden ialah Habibie seorang.
Rintangan lain yang lebih sulit ialah kemungkinan Golkar sendiri untuk memenangkan pemilu. Kalau tidak menang, atau tidak meraih suara cukup banyak, bagaimana mungkin mendapat suara terbanyak dalam MPR nanti? Menggalang koalisi dengan partai-partai lain memang masih bisa diusahakan, walau kemungkinannya kecil sekali. Koalisi pun baru akan berarti kalau Golkar sendiri bisa menyumbangkan 40 persen dari jumlah suara di MPR. Jadi, meskipun dengan bantuan mesin politiknya Habibie bisa jadi calon Golkar, dia terpaksa mengucapkan salam perpisahan kepada kursi kepresidenannya kalau Golkar tidak mampu meraih jumlah suara 40 persen dalam pemilu nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini