ADA persamaan antara para mahasiswa dan Soeharto: keduanya ragu bahwa pemilihan umum Juni nanti akan jujur dan adil. Demonstrasi para mahasiswa pekan lalu di Jakarta dan wawancara mantan kepala negara itu dengan sebuah harian Jepang menunjukkan satu persamaan penilaian. Bukan mustahil kedua-duanya ingin agar pemilihan umum ditunda saja.
Jika demikian, keduanya akan berada satu garis. Dan itu artinya bertentangan dengan partai-partai politik—atau sebagian dari mereka—yang menghendaki agar pemilihan umum itu diselenggarakan tepat waktu. Pekan lalu pula Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan, misalnya, dengan dikelilingi oleh bendera merah berkepala banteng, lambang yang kini muncul di mana-mana, menegaskan agar pemilu tidak bisa ditunda-tunda lagi. Dia menangkal pendapat Soeharto.
Pemilu Juni nanti memang merisaukan, dan mungkin sulit menghindar untuk tidak jorok dan tidak rusuh. Setelah lebih dari 40 tahun tidak pernah dijalankan dengan semestinya, memang tidak akan aneh jika pelbagai cacat terjadi. Tetapi pilihannya kemudian: pemilu akan diteruskan atau tidak, akan diakui atau tidak.
Ini sudah bulan April. Menunda pemilu yang sudah disiapkan hanya akan tambah merisaukan, dan tetap menunda persoalan dasar yang menggendoli pemerintahan Habibie sekarang, yakni sejauh mana rakyat menyetujuinya. Sebagian mahasiswa menuntut agar pemerintahan sekarang dibubarkan saja dan segera dibentuk "komite rakyat" atau "pemerintahan transisi", yang bisa menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil. Tapi gagasan ini mengasumsikan bahwa "pemerintahan transisi" itu akan lebih diterima rakyat dan akan lebih adil—satu klaim yang tanpa jaminan, sebenarnya.
Sementara itu, untuk membubarkan pemerintahan sekarang perlu sebuah revolusi. Tak cukup dengan demonstrasi spontan. Setidaknya sebuah gerakan yang perlu strategi, organisasi, mobilisasi kekuatan, kalau perlu senjata, dan juga dana. Ini mustahil dicapai dalam waktu tiga bulan, terutama oleh mereka yang tanpa pengalaman organisasi. Maka kenapa tidak dipilih cara yang lebih cepat dan sedikit ongkosnya: mengganti pemerintahan Habibie dengan cara mengalahkan Golkar dalam pemilu yang akan datang sebentar lagi?
Untuk itu kekuatan partai pesaing Golkar yang ada harus diperkuat. Terutama partai yang potensial menang, dan punya program jelas ke arah demokratisasi dan perbaikan ekonomi. Untuk itu, sikap yang "partai-fobi" harus ditinggalkan. Dewasa ini para aktivis prodemokrasi banyak bergabung dalam sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tak sedikit yang memandang partai politik dengan sikap yang merendahkan atau sebagai sesuatu yang sia-sia. Ini bisa dimengerti jika dilihat kualitas personel dan manajemen partai yang ada—satu kekurangan yang umum di Indonesia, juga di kalangan LSM sendiri. Jika ini berkelanjutan, partai akan kekurangan kader yang bagus, dan jika partai kekurangan kader yang bermutu, bagaimana nanti demokrasi harus diperkukuh?
Sejarah sedang berubah, dan ada jalan untuk mengubah itu. Jalan itu mungkin tak menarik, tapi harus dicoba. Kalau salah, setidaknya sudah ada pengalaman tambahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini