Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mahathir Mulai Menuai Badai

Pro-kontra vonis Anwar Ibrahim membuat politik Malaysia tak akan seperti dulu lagi.

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mahathir Mohamad bukan Soeharto. Malaysia bukan Indonesia. Kerusuhan yang melanda Kuala Lumpur pekan lalu jauh pula dari skala kekacauan Jakarta pada Mei 1998. Tapi bisakah Mahathir—dan Malaysia—mengelak dari badai politik yang kian mendekat? Kerusuhan pekan lalu dipicu oleh demonstrasi menentang vonis terhadap Anwar Ibrahim. Mantan wakil perdana menteri ini dijatuhi hukuman enam tahun penjara untuk tuduhan korupsi dan perzinaan (lihat halaman 64). Anwar mungkin bukan malaikat seperti yang dia tunjukkan di depan publik (dia dikenal sebagai muslim yang taat). Mungkin pula dia tidak sebersih seperti yang diagungkan para pendukungnya. Namun, pengadilan Malaysia—salah satu institusi hukum relatif paling independen di Asia Tenggara—sulit pula mengelak dari kemungkinan bias, seperti antara lain dituduhkan oleh Amnesti Internasional. Dukungan simpati kepada Anwar yang datang bertubi-tubi tak bisa lain kecuali memperkuat tudingan itu: Malaysia telah mencincang dewi keadilan di altar kepentingan politik Mahathir untuk menyingkirkan Anwar. Demonstrasi di Kuala Lumpur merupakan salah satu yang terbesar sejauh ini. Kecaman internasional datang dari Inggris, Filipina, Selandia Baru, dan Amerika Serikat. Pengacara Anwar melakukan banding atas vonis itu. Tapi ancaman terbesar bagi Mahathir kini bukanlah dari lapangan hukum itu. Mengatakan tidak terlalu berharap dari pengadilan banding, Wan Azizah, istri Anwar, meluncurkan Partai Keadilan Nasional dan secara terbuka menantang kubu Mahathir dalam pemilihan umum tahun depan. Hanya sedikit yang percaya bahwa partai baru ini bisa menjungkirkan Koalisi Barisan Nasional pimpinan Mahathir—dengan UMNO sebagai pilar utamanya. Koalisi ini cukup mengakar di kalangan tiga kelompok etnis Malaysia—Melayu, Cina, dan India. Keuntungan lain Mahathir: kerusuhan rasial menyertai kejatuhan Soeharto di Indonesia membuat demonstrasi dan oposisi tidak populer di Malaysia. Satu-satunya musuh yang mungkin tersisa bagi Mahathir: sang waktu. Yang pertama adalah usianya sendiri, 73 tahun, yang telah membuatnya sakit-sakitan. Keluar dari rumah sakit pekan lalu, dia menunda seluruh kegiatan kampanyenya sampai waktu tak terbatas. Yang kedua adalah usia UMNO. Sejak 1957, partai ini mendominasi Malaysia. Dan tak ada yang abadi di bawah kolong langit. Seperti PRI di Meksiko, Front Nasional di Aljazair, dan Golkar di Indonesia, UMNO yang kian beruban itu punya potensi kehilangan kepekaan dan grip terhadap konstituennya. Bahkan kaum Melayu yang selama ini diuntungkan oleh Kebijakan Ekonomi Baru (NEM) mulai meneriakkan kata "reformasi". Tak semua dari mereka otomatis pendukung Anwar. Mereka lebih melihat pengadilan dan vonis Anwar sebagai katalis yang memperkental frustrasi mereka terhadap ketidakadilan, korupsi, dan nepotisme dalam pemerintahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus